Selidik Getir Kopi Pedagang Arab, Penyambung Lidah di Jalur Rempah

By National Geographic Indonesia, Minggu, 13 Juni 2021 | 19:32 WIB
Dallah adalah teko yang dipakai untuk memasak dan menyajikan kahwa, seduhan kopi rempah gaya Arabia. Di masa lalu, dallah terbuat dari tembikar, kini lebih lazim berbahan ku­ningan. Bagian dari tradisi tembikar Julfar, Ras Al Khaimah, produsen tembikar di UAE sejak abad ke-10 hingga abad ke-19. (Mohammed Sabir Keyamparambil/RAK DAM)

 

Sumber sejarah Tiongkok dari abad ke-12 Masehi menempatkan Sriwijaya di rangking ketiga dalam urutan prioritas mitra dagang mereka, setelah pedagang Arabia (Ta-shis) di peringkat pertama dan Jawa di peringkat kedua.

Pedagang Arabia dan Persia menjadi mitra utama bangsa Tiongkok karena kepiawaian mereka dalam navigasi kelautan. Mungkin ini kenapa hubungan dunia Arab-Islam dengan keletakan geografis Tiongkok begitu dalam. Salah satu kata bijak yang sangat populer di kalangan muslim: “Tuntutlah Ilmu (sejauh mungkin) hingga ke negeri Cina”.

Vasco da Gama yang digaungkan oleh warisan kolonial sebagai pelopor dalam penjelajahan samudra, hanya mampu mencapai India pada 1498. Itu pun setelah merekrut pelaut Arabia yang memakai petunjuk navigasi yang ditulis Ibn Majid. Buku petunjuk navigasinya berjudul Kitāb al-Fawā’id fī usūl ‘ilm al-bahr wa-al-qawā’id. Kini kita bisa membacanya secara digital di Library of Cong­res, Amerika Serikat.

Akan tetapi hubungan antara tanah kelahiran Ibn Majid di Ras Al Khaimah dengan Tiongkok sudah terjalin jauh sebelumnya. Penggalian di situs-situs pelabuhan di Ras Al Khaimah sudah dilakukan melalui kolaborasi tim UEA dan tim arkeologi asing sejak 1977.

Dua tahun terakhir, penelitian mendalam dan ekskavasi lanjutan hasil kerjasama antara Palace Museum, Forbidden City, Beijing, Tiongkok bersama Departemen Arkeologi dan Permuseuman Ras Al Khaimah, memperlihatkan bahwa hubungan antara kedua pesisir sudah terjalin sejak paling tidak abad 8-9 Masehi. Seladon buatan Myanmar dan Thailand juga ditemukan di Ras Al Khaimah.

Baca Juga: Mengapa Kita Lebih Kreatif dan Produktif Saat Bekerja di Kedai Kopi?

Kata 'kahwa' berakar dari 'qahweh', kata dalam bahasa Arab yang berarti minuman anggur atau kopi. Saat kahwa dipopulerkan oleh para pedagang Arabia sebagai komoditi ke wilayah Ottoman, orang Turki menyebutnya 'kahveh'. Kata ini kemudian berubah menjadi 'cafe' atau 'coffee' di Eropa. Kemudian kita menyerapnya ke dalam bahasa Indonesia menjadi 'kopi'. (Maryam Lehlaili/RAK DAM)

Kekuatan-kekuatan kolonial mulai mendesak untuk mendominasi perdagangan di Samudra Hindia. Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) memperkenalkan tumbuhan kopi ke Indonesia pada 1690. Kongsi dagang ini me­mulai sistem tanam paksa pada 1725 di Jawa Barat kemudian di Sumatra. Pada masa inilah kata Java mulai dipopulerkan menjadi kata alternatif dari kopi.

Ekspansi penanaman paksa kopi terus dilakukan oleh pemerintah kolonial pada abad ke-19. Cakupannya 22 wilayah karesidenan di seluruh Jawa, Bali, Timor, Sumatra, Celebes, dan Kalimantan. Inilah asal ragam kopi Nusantara, yang meramaikan kedai-kedai langganan kita.

Sebelum orang-orang Eropa memperkenalkan kopi, barangkali lidah Nusantara sudah terbiasa mencecapi getirnya bubuk hitam ini. Saya sadar, tidak ada bukti yang kuat soal ini. Namun, kata kopi dan kahwa terlanjur menjadi jejak “tak benda” dari pergerakan manusia yang meng­ubah alam, sensitifitas lidah, standar nilai kemanusiaan, dan asal-usul pondasi sistem perdagangan global. Konsep keduanya telah membentangkan cerita ratusan tahun, yang secara alami me­libatkan kepahitan yang mendalam dari secangkir kopi tubruk pekat tanpa gula.

Cerita panjang mengenai hubungan manusia dengan getirnya rasa kopi seakan-akan menjadi hal yang kompleks dan aneh. Kecanduan akan kafein mampu membuat kita tidak peduli de­­ngan apa yang terjadi sebelumnya atau pilihan variasi seduhan lain yang bisa jadi memberikan nilai lebih dan meninggalkan kesan daripada tampak luarnya. Seperti sebuah ujaran di film Filosofi Kopi: “Persahabatan kita itu kayak kopi tubruk, permukaannya kasar. Tapi ketika lu cium, terus kenal lebih dalam, lu ngga akan bisa melupakan itu”.

Baca Juga: 6.000 Tahun Silam, Manusia Prasejarah di Arab Saudi Menyukai Anjing