Selidik Getir Kopi Pedagang Arab, Penyambung Lidah di Jalur Rempah

By National Geographic Indonesia, Minggu, 13 Juni 2021 | 19:32 WIB
Dallah adalah teko yang dipakai untuk memasak dan menyajikan kahwa, seduhan kopi rempah gaya Arabia. Di masa lalu, dallah terbuat dari tembikar, kini lebih lazim berbahan ku­ningan. Bagian dari tradisi tembikar Julfar, Ras Al Khaimah, produsen tembikar di UAE sejak abad ke-10 hingga abad ke-19. (Mohammed Sabir Keyamparambil/RAK DAM)

 

Oleh Annissa Maulina Gultom Director of Ras Al Khaimah National Museum; Manager of Museum Department, Ras Al Khaimah Government Department of Antiquities and Museums, UEA

 

 

Nationalgeographic.co.id—Kopi tidak hanya seduhan berkafein yang aromanya membangunkan jiwa manusia, tetapi kini juga menjadi bagian identitas diri. Rapat di pagi hari tidak lengkap tanpa hadirnya kopi.

Di ruang budaya yang lebih santai, kopi menjadi rekan duduk berlama-lama. Seduhan itu dinikmati perlahan, sembari berjumpa teman, atau bertemu dengan kesempatan pekerjaan. Semangat itu dibawa oleh kedai-kedai kopi yang bertebaran di Medan dan Aceh.

Konsep kedai kopi ini mirip dengan yang berkembang pada masa kerajaan Ottoman di Turki. Saat itu kelompok militer elit Janessary membuka jaringan “Rumah Kopi” sebagai tempat mereka bersosialisasi dan, tentunya, melakukan lobi politik.

Konon, Hassan Al Banna, pendiri partai politik Muslim Brotherhood di Mesir (1906 – 1949) membangun jejaringnya dari sering nongkrong di warung kopi.

Fungsi penting dari “duduk sambil ngopi” ini tampaknya seperti yang dimaksud Dono-Kasino-Indro dari Trio WarKop (Warung Kopi) saat mereka bersenandung: “Ngobrol di Warung Kopi, nyentil sana dan sini, sekedar suara rakyat kecil, bukannya mau usil”.

 

Warung kopi adalah satu dari sekian ruang tempat masyarakat untuk berinteraksi, bercengkrama, dan mencari inspirasi.

Dalam beberapa kasus, warung kopi juga menjadi jalur pewarisan budaya lisan. Kisah-kisah jenaka “Yong Dollah” di kalangan orang Melayu Bengkalis adalah salah satu tradisi lisan yang diserbarluaskan dan diwariskan ke generasi muda, di kedai kopi, di waktu senggang.

Aktivitas waktu senggang ini populer dikenal sebagai “kahwe”. Di kalangan orang Melayu di Sumatra Barat, kata serupa dikenal sebagai nama minuman: “Kahwa Daun” atau “Air Kawa”. Teh herbal yang merupakan produk pangan kearifan lokal ini dibuat dari daun kopi yang dikeringkan dengan cara didiang dan kemudian diseduh dengan air panas di tempat penyimpanannya yang berupa “perian bambu” bertutup ijuk. “Air Kawa” disajikan dengan tempurung kelapa sebagai cangkir. “Kahwe”, “Kahwa”, dan “Kawa” berasal dari kata kahwa—bahasa Arab yang pada masa kini dipahami sebagai Arabic Coffee.

Berbeda de­­ngan kopi “standar”, kahwa (Arabic Coffee) diseduh de­­ngan memasak kopi dan air di atas bara, lalu dicampur dengan pilihan rempah seperti kapulaga atau safron. Untuk menambahkan rasa manis, bukan gula yang tersedia, tetapi buah kurma matang biasanya dihidangkan bersama untuk dimakan setelah meminum kopi.

Fenjan, cang­kir kopi dengan kapasitas minim seperti cangkir espresso. Bagian dari tradisi tembikar Julfar, Ras Al Khaimah, satu-satunya produsen tembikar di UAE sejak abad ke-10 hingga abad ke-19. Koleksi Ras Al Khaimah National Museum. (Mohammed Sabir Keyamparambil/RAK DAM)

Tradisi penyajian kahwa sebagai bagian untuk menyambut tamu menjadi bagian dari tradisi berkelanjutan di negara-negara Teluk Persia, atau Teluk Arabia.

Kata “kopi” diperkirakan berakar dari nama lokasi asal kopi, yaitu daerah bernama Kaffa di Etiopia. Konsensus di antara para sejarawan cenderung menyimpulkan Etiopia sebagai asal asli tanaman kopi. Mereka juga bersepakat bahwa perkebunan-perkebunan kopi tertua di Yaman merupakan hasil ekspansi yang dilakukan oleh pedagang Arabia.

Potensi komersial dari biji-biji kopi Etiopia ini kemungkinan “ditemukan” para pedagang dari pesisir barat Semenanjung Arab, seperti para Hadramaut dari Yaman yang berlokasi tepat di seberang Etiopia. Daerah pelabuhan Muza (Mocha) di Yaman tercatat dalam dokumen romawi sebagai pelabuhan internasional besar. Sampai abad ke-17 pun masih menjadi pelabuhan utama distribusi kopi dari Yaman ke seluruh dunia.

Biji kopi ini diduga meru­pakan yang tertua di dunia, ditemukan di dalam konteks temuan dari abad ke-12 di situs Kush, Ras Al Khaimah. Adrian Parker, paleontolog dari Oxford University, menemukan bebijian ini dalam misi ekskavasi Bri­tish Museum yang dipim­pin arkeolog Derek Kennett pada 1990-an. (Maryam Lehlaili/RAK DAM)

 

Sumber lain berpendapat bahwa kata “kahwa” berakar dari “qahweh”, kata dalam bahasa Arab yang berarti minuman anggur atau kopi. Saat kahwa dipopulerkan oleh para pedagang Arabia sebagai komoditi ke wilayah Ottoman, orang Turki menyebutnya “kahveh”. Kata ini kemudian berubah menjadi “café” atau “coffee” di Eropa. Kemudian kita menyerapnya ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kopi”.

Menariknya, keberadaan kahwa dan kopi dalam leksografi kita, seakan-akan mencerminkan tibanya gelombang-gelombang kafein dalam ruang budaya dan waktu yang berbeda.

Konsep mendasar dari cara menyeduh keduanya pun berbeda. Kahwa lebih dekat pada konsep Semenanjung Arabia yang menyeduh atau menjerang kopi disertai racikan rempah-rempah yang menguatkan rasa bubuk kopi. Sementara itu minuman “kopi” lebih dekat de­­ngan konsep peracikan bubuk kopi yang populer di Eropa dengan variasi kandungan air, gula, krim, dan metode peracikan.

Di Semenanjung Arabia, jika kita ingin “kopi”, bukan kahwa, kata yang dipakai adalah “Nescafe”. Kahwa bisa jadi diperkenalkan oleh peda­gang Arabia melalui hubungan yang didasari pemahaman nilai tukar perdagangan yang berlangsung cukup harmonis selama berabad-abad. Pilihan rempah-rempah yang menjadi bagian dari kahwa memperlihatkan hubungan Afrika dan Arabia dengan belahan dunia lain, seperti kapulaga dari India atau safron dari Iran, juga kayu manis atau akar manis.

Baca Juga: Untold Flores: Ritual Adak Pua Kopi di Colol Manggarai Timur

Dallah. Bagian dari tradisi tembikar Julfar, Ras Al Khaimah, satu-satunya produsen tembikar di UAE sejak abad ke-10 hingga abad ke-19. Koleksi Ras Al Khaimah National Museum. (Mohammed Sabir Keyamparambil/RAK DAM)

Variasi kahwa tidak hanya berkembang di Indonesia. Di Kashmir terdapat sedikitnya enam variasi resep tradisional “kahwa” yang menjadi minuman stimulan dan pengobatan tradisional yang mumpuni untuk permasalahan kesehatan.

Gelombang yang membawa kahwa datang melalui masa yang lama dan perlahan telah memberikan ruang pengembangan Kehangatan yang disediakan oleh racikan rempah-rempah di dalam segelas kahwa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari konsep keramahtamahan menyambut tamu.

Sementara itu konsep minuman “kopi” yang berkembang di Eropa mungkin tiba di masa yang lebih mutakhir. Kopi baru memasuki Eropa di kisaran abad ke-17. Dan, baru di pertengahan abad ke-17 kekuatan ekonomi kolonial Inggris dan Belanda memulai sistem pertanian, termasuk menanam kopi di wilayah-wilayah yang mereka tundukkan.

Tradisi kolonial yang mengambil biji asli dan memulai penanaman dalam skala yang lebih besar ini yang sepertinya membawa konsep “kopi” yang populer di Eropa. Pada awalnya, konsumsi kopi di Eropa adalah konsumsi eks­klusif dan terbatas.

Namun, melonjaknya persediaan di pasar setelah abad ke-18, akses meminum kopi lebih meluas ke berbagai lapisan. Gelombang “kopi” ini hadir di ber­bagai belahan dunia melalui proses yang sangat cepat, kasar, dan ekstrem. Sistem Tanam Paksa yang diterapkan Belanda di Nusantara memperkenalkan “kopi” sebagai komoditi dalam konsep mendasar kapitalisme.

 

Perkenalan yang cukup ekstrem ini mengubah secara drastis kehidupan masyarakat dan keas­lian alam Nusantara. Ingatan akan kahwa yang hangat dan ramah, tergantikan dengan akses instan ke kafein. Pun, seringkali tersaji dalam balutan gula, yang juga menjadi komoditi utama kolonial, atau dicampur variasi produk susu.

Bagaimana kopi bisa sampai ke Nusantara? Ini sebuah teka-teki. Namun, saya akan mendekatkannya dengan Jalur Rempah yang membentang antara tanduk Afrika dan pelabuhan Suzhou, Tiongkok.

Pengetahuan navigasi laut dan perdagangan maritim menjadi kuasa pelaut Nusantara, Arabia, India, dan Tiongkok. Pengetahuan itu sudah ada jauh sebelum Portugis memulai pencarian sumber rempah-rempah berharga murah.

Di kisaran satu abad Sebelum Masehi, area kepulauan Nusantara dihuni oleh pengguna bahasa Malayo-Polynesia. Para pelaut ini telah piawai bernavigasi di lautan. Mereka membaca ombak, awan, angin, dan perilaku fauna baik di atas atau di bawah permukaan laut. Sumber sejarah Tiongkok dari abad ke-3 Masehi me­rekam keberadaan pelaut-pelaut Melayu dari kepulauan “Kunlun” yang mereka gambarkan sebagai kepulauan vulkanik dan misterius.

Baca Juga: Sisik Melik di Balik Aksara Cina di Papan 'Kopi Es Tak Kie' Glodok

Jalur Rempah bukan arus searah. Jalur ini tidak hanya lintasan perdagang­an hasil kebun Nusantara, tetapi juga arus kopi dan komoditi lain yang dibawa para pedagang Arabia. (Septianjar Muharram)

Rempah yang pada saat itu hanya didapatkan dari pelaut Melayu, terbukti mampu mencapai pasar jauh ke timur tengah dan sisi timur Afrika. Situs Pelabuhan Berenike yang berlokasi di pesisir barat laut merah, dibangun oleh Ptolemy II pada 275 Sebelum Masehi.

Pada 30 Sebelum Masehi, pelabuhan ini menjadi salah satu titik pertukaran dagang yang besar. Komo­diti rempah-rempah seperti myrrh (“mur”, resin aromatik dari pohon genus Commiphora), kemenyan, mutiara dari Teluk Arabia, tekstil dari Tiongkok, manik-manik kaca baik dari India atau Jawa Timur ditemukan di situs ini.

Temuan rempah terbesar di situs arkeologi ini adalah lada hitam asal India yang beratnya mencapai sekitar 8 kilogram. Komoditi rempah lain yang cukup siginifikan adalah cengkih. Sebelum 1600, cengkih hanya tumbuh di kepulauan vulkanik di pesisir barat Halmahera, sementara pala hanya tumbuh di Kepulauan Banda.

Penemuan cengkih tertua berada di situs Terqa, kini masuk wilayah modern Suriah, de­­ngan penanggalan karbon 1721 Sebelum Masehi. Cengkih juga disebutkan di dalam teks pengobatan dari abad ke-2 Masehi yang berasal dari Kushan, India Utara. Sementara manik-manik kaca Arikamedu, India, dari kisaran periode 200 SM – 200 M adalah salah satu komo­diti yang ditemukan, baik di situs Romawi atau di Nusantara—contoh: situs Batujaya, Jawa Barat.

 

 

Sumber sejarah Tiongkok dari abad ke-12 Masehi menempatkan Sriwijaya di rangking ketiga dalam urutan prioritas mitra dagang mereka, setelah pedagang Arabia (Ta-shis) di peringkat pertama dan Jawa di peringkat kedua.

Pedagang Arabia dan Persia menjadi mitra utama bangsa Tiongkok karena kepiawaian mereka dalam navigasi kelautan. Mungkin ini kenapa hubungan dunia Arab-Islam dengan keletakan geografis Tiongkok begitu dalam. Salah satu kata bijak yang sangat populer di kalangan muslim: “Tuntutlah Ilmu (sejauh mungkin) hingga ke negeri Cina”.

Vasco da Gama yang digaungkan oleh warisan kolonial sebagai pelopor dalam penjelajahan samudra, hanya mampu mencapai India pada 1498. Itu pun setelah merekrut pelaut Arabia yang memakai petunjuk navigasi yang ditulis Ibn Majid. Buku petunjuk navigasinya berjudul Kitāb al-Fawā’id fī usūl ‘ilm al-bahr wa-al-qawā’id. Kini kita bisa membacanya secara digital di Library of Cong­res, Amerika Serikat.

Akan tetapi hubungan antara tanah kelahiran Ibn Majid di Ras Al Khaimah dengan Tiongkok sudah terjalin jauh sebelumnya. Penggalian di situs-situs pelabuhan di Ras Al Khaimah sudah dilakukan melalui kolaborasi tim UEA dan tim arkeologi asing sejak 1977.

Dua tahun terakhir, penelitian mendalam dan ekskavasi lanjutan hasil kerjasama antara Palace Museum, Forbidden City, Beijing, Tiongkok bersama Departemen Arkeologi dan Permuseuman Ras Al Khaimah, memperlihatkan bahwa hubungan antara kedua pesisir sudah terjalin sejak paling tidak abad 8-9 Masehi. Seladon buatan Myanmar dan Thailand juga ditemukan di Ras Al Khaimah.

Baca Juga: Mengapa Kita Lebih Kreatif dan Produktif Saat Bekerja di Kedai Kopi?

Kata 'kahwa' berakar dari 'qahweh', kata dalam bahasa Arab yang berarti minuman anggur atau kopi. Saat kahwa dipopulerkan oleh para pedagang Arabia sebagai komoditi ke wilayah Ottoman, orang Turki menyebutnya 'kahveh'. Kata ini kemudian berubah menjadi 'cafe' atau 'coffee' di Eropa. Kemudian kita menyerapnya ke dalam bahasa Indonesia menjadi 'kopi'. (Maryam Lehlaili/RAK DAM)

Kekuatan-kekuatan kolonial mulai mendesak untuk mendominasi perdagangan di Samudra Hindia. Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) memperkenalkan tumbuhan kopi ke Indonesia pada 1690. Kongsi dagang ini me­mulai sistem tanam paksa pada 1725 di Jawa Barat kemudian di Sumatra. Pada masa inilah kata Java mulai dipopulerkan menjadi kata alternatif dari kopi.

Ekspansi penanaman paksa kopi terus dilakukan oleh pemerintah kolonial pada abad ke-19. Cakupannya 22 wilayah karesidenan di seluruh Jawa, Bali, Timor, Sumatra, Celebes, dan Kalimantan. Inilah asal ragam kopi Nusantara, yang meramaikan kedai-kedai langganan kita.

Sebelum orang-orang Eropa memperkenalkan kopi, barangkali lidah Nusantara sudah terbiasa mencecapi getirnya bubuk hitam ini. Saya sadar, tidak ada bukti yang kuat soal ini. Namun, kata kopi dan kahwa terlanjur menjadi jejak “tak benda” dari pergerakan manusia yang meng­ubah alam, sensitifitas lidah, standar nilai kemanusiaan, dan asal-usul pondasi sistem perdagangan global. Konsep keduanya telah membentangkan cerita ratusan tahun, yang secara alami me­libatkan kepahitan yang mendalam dari secangkir kopi tubruk pekat tanpa gula.

Cerita panjang mengenai hubungan manusia dengan getirnya rasa kopi seakan-akan menjadi hal yang kompleks dan aneh. Kecanduan akan kafein mampu membuat kita tidak peduli de­­ngan apa yang terjadi sebelumnya atau pilihan variasi seduhan lain yang bisa jadi memberikan nilai lebih dan meninggalkan kesan daripada tampak luarnya. Seperti sebuah ujaran di film Filosofi Kopi: “Persahabatan kita itu kayak kopi tubruk, permukaannya kasar. Tapi ketika lu cium, terus kenal lebih dalam, lu ngga akan bisa melupakan itu”.

Baca Juga: 6.000 Tahun Silam, Manusia Prasejarah di Arab Saudi Menyukai Anjing