Selidik Getir Kopi Pedagang Arab, Penyambung Lidah di Jalur Rempah

By National Geographic Indonesia, Minggu, 13 Juni 2021 | 19:32 WIB
Dallah adalah teko yang dipakai untuk memasak dan menyajikan kahwa, seduhan kopi rempah gaya Arabia. Di masa lalu, dallah terbuat dari tembikar, kini lebih lazim berbahan ku­ningan. Bagian dari tradisi tembikar Julfar, Ras Al Khaimah, produsen tembikar di UAE sejak abad ke-10 hingga abad ke-19. (Mohammed Sabir Keyamparambil/RAK DAM)

Perkenalan yang cukup ekstrem ini mengubah secara drastis kehidupan masyarakat dan keas­lian alam Nusantara. Ingatan akan kahwa yang hangat dan ramah, tergantikan dengan akses instan ke kafein. Pun, seringkali tersaji dalam balutan gula, yang juga menjadi komoditi utama kolonial, atau dicampur variasi produk susu.

Bagaimana kopi bisa sampai ke Nusantara? Ini sebuah teka-teki. Namun, saya akan mendekatkannya dengan Jalur Rempah yang membentang antara tanduk Afrika dan pelabuhan Suzhou, Tiongkok.

Pengetahuan navigasi laut dan perdagangan maritim menjadi kuasa pelaut Nusantara, Arabia, India, dan Tiongkok. Pengetahuan itu sudah ada jauh sebelum Portugis memulai pencarian sumber rempah-rempah berharga murah.

Di kisaran satu abad Sebelum Masehi, area kepulauan Nusantara dihuni oleh pengguna bahasa Malayo-Polynesia. Para pelaut ini telah piawai bernavigasi di lautan. Mereka membaca ombak, awan, angin, dan perilaku fauna baik di atas atau di bawah permukaan laut. Sumber sejarah Tiongkok dari abad ke-3 Masehi me­rekam keberadaan pelaut-pelaut Melayu dari kepulauan “Kunlun” yang mereka gambarkan sebagai kepulauan vulkanik dan misterius.

Baca Juga: Sisik Melik di Balik Aksara Cina di Papan 'Kopi Es Tak Kie' Glodok

Jalur Rempah bukan arus searah. Jalur ini tidak hanya lintasan perdagang­an hasil kebun Nusantara, tetapi juga arus kopi dan komoditi lain yang dibawa para pedagang Arabia. (Septianjar Muharram)

Rempah yang pada saat itu hanya didapatkan dari pelaut Melayu, terbukti mampu mencapai pasar jauh ke timur tengah dan sisi timur Afrika. Situs Pelabuhan Berenike yang berlokasi di pesisir barat laut merah, dibangun oleh Ptolemy II pada 275 Sebelum Masehi.

Pada 30 Sebelum Masehi, pelabuhan ini menjadi salah satu titik pertukaran dagang yang besar. Komo­diti rempah-rempah seperti myrrh (“mur”, resin aromatik dari pohon genus Commiphora), kemenyan, mutiara dari Teluk Arabia, tekstil dari Tiongkok, manik-manik kaca baik dari India atau Jawa Timur ditemukan di situs ini.

Temuan rempah terbesar di situs arkeologi ini adalah lada hitam asal India yang beratnya mencapai sekitar 8 kilogram. Komoditi rempah lain yang cukup siginifikan adalah cengkih. Sebelum 1600, cengkih hanya tumbuh di kepulauan vulkanik di pesisir barat Halmahera, sementara pala hanya tumbuh di Kepulauan Banda.

Penemuan cengkih tertua berada di situs Terqa, kini masuk wilayah modern Suriah, de­­ngan penanggalan karbon 1721 Sebelum Masehi. Cengkih juga disebutkan di dalam teks pengobatan dari abad ke-2 Masehi yang berasal dari Kushan, India Utara. Sementara manik-manik kaca Arikamedu, India, dari kisaran periode 200 SM – 200 M adalah salah satu komo­diti yang ditemukan, baik di situs Romawi atau di Nusantara—contoh: situs Batujaya, Jawa Barat.