Selidik Getir Kopi Pedagang Arab, Penyambung Lidah di Jalur Rempah

By National Geographic Indonesia, Minggu, 13 Juni 2021 | 19:32 WIB
Dallah adalah teko yang dipakai untuk memasak dan menyajikan kahwa, seduhan kopi rempah gaya Arabia. Di masa lalu, dallah terbuat dari tembikar, kini lebih lazim berbahan ku­ningan. Bagian dari tradisi tembikar Julfar, Ras Al Khaimah, produsen tembikar di UAE sejak abad ke-10 hingga abad ke-19. (Mohammed Sabir Keyamparambil/RAK DAM)

 

Sumber lain berpendapat bahwa kata “kahwa” berakar dari “qahweh”, kata dalam bahasa Arab yang berarti minuman anggur atau kopi. Saat kahwa dipopulerkan oleh para pedagang Arabia sebagai komoditi ke wilayah Ottoman, orang Turki menyebutnya “kahveh”. Kata ini kemudian berubah menjadi “café” atau “coffee” di Eropa. Kemudian kita menyerapnya ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kopi”.

Menariknya, keberadaan kahwa dan kopi dalam leksografi kita, seakan-akan mencerminkan tibanya gelombang-gelombang kafein dalam ruang budaya dan waktu yang berbeda.

Konsep mendasar dari cara menyeduh keduanya pun berbeda. Kahwa lebih dekat pada konsep Semenanjung Arabia yang menyeduh atau menjerang kopi disertai racikan rempah-rempah yang menguatkan rasa bubuk kopi. Sementara itu minuman “kopi” lebih dekat de­­ngan konsep peracikan bubuk kopi yang populer di Eropa dengan variasi kandungan air, gula, krim, dan metode peracikan.

Di Semenanjung Arabia, jika kita ingin “kopi”, bukan kahwa, kata yang dipakai adalah “Nescafe”. Kahwa bisa jadi diperkenalkan oleh peda­gang Arabia melalui hubungan yang didasari pemahaman nilai tukar perdagangan yang berlangsung cukup harmonis selama berabad-abad. Pilihan rempah-rempah yang menjadi bagian dari kahwa memperlihatkan hubungan Afrika dan Arabia dengan belahan dunia lain, seperti kapulaga dari India atau safron dari Iran, juga kayu manis atau akar manis.

Baca Juga: Untold Flores: Ritual Adak Pua Kopi di Colol Manggarai Timur

Dallah. Bagian dari tradisi tembikar Julfar, Ras Al Khaimah, satu-satunya produsen tembikar di UAE sejak abad ke-10 hingga abad ke-19. Koleksi Ras Al Khaimah National Museum. (Mohammed Sabir Keyamparambil/RAK DAM)

Variasi kahwa tidak hanya berkembang di Indonesia. Di Kashmir terdapat sedikitnya enam variasi resep tradisional “kahwa” yang menjadi minuman stimulan dan pengobatan tradisional yang mumpuni untuk permasalahan kesehatan.

Gelombang yang membawa kahwa datang melalui masa yang lama dan perlahan telah memberikan ruang pengembangan Kehangatan yang disediakan oleh racikan rempah-rempah di dalam segelas kahwa menjadi bagian yang tak terpisahkan dari konsep keramahtamahan menyambut tamu.

Sementara itu konsep minuman “kopi” yang berkembang di Eropa mungkin tiba di masa yang lebih mutakhir. Kopi baru memasuki Eropa di kisaran abad ke-17. Dan, baru di pertengahan abad ke-17 kekuatan ekonomi kolonial Inggris dan Belanda memulai sistem pertanian, termasuk menanam kopi di wilayah-wilayah yang mereka tundukkan.

Tradisi kolonial yang mengambil biji asli dan memulai penanaman dalam skala yang lebih besar ini yang sepertinya membawa konsep “kopi” yang populer di Eropa. Pada awalnya, konsumsi kopi di Eropa adalah konsumsi eks­klusif dan terbatas.

Namun, melonjaknya persediaan di pasar setelah abad ke-18, akses meminum kopi lebih meluas ke berbagai lapisan. Gelombang “kopi” ini hadir di ber­bagai belahan dunia melalui proses yang sangat cepat, kasar, dan ekstrem. Sistem Tanam Paksa yang diterapkan Belanda di Nusantara memperkenalkan “kopi” sebagai komoditi dalam konsep mendasar kapitalisme.