Asal Usul Festival Peh Cun, Hari Mendayung Perahu dan Makan Bakcang

By Eric Taher, Senin, 14 Juni 2021 | 17:00 WIB
Lomba dayung perahu naga di Hong Kong. Perlombaan seperti ini biasanya diadakan pada hari raya Peh Cun. (Hong Kong Tourism Board)

 

Nationalgeographic.co.id—Setiap tanggal 5 bulan 5 Imlek, orang-orang Tionghoa akan merayakan Peh Cun. Di hari ini, mereka akan menjalankan berbagai tradisi, seperti menyelenggarakan lomba dayung perahu naga dan memakan bakcang. Lantas mengapa hari raya ini diperingati? Bagaimana sejarahnya?

Topik inilah yang dibahas dalam webinar "Asal Oesoel Pehtjoen dan Makan Batjang". Webinar ini diselenggarakan oleh Museum Benteng Heritage dan Persaudaraan PERTIWI pada 13 Juni 2021. Melalui webinar ini, budayawan Udaya Halim mencoba menjawab awal mula dari hari raya Peh Cun dan tradisinya.

Menurut Udaya, asal usul Peh Cun dapat ditelusuri dari kisah seorang negarawan bernama Qu Yuan. Ia merupakan seorang menteri dari negara Chu, yang hidup pada Zaman Negara Berperang (Warring States Period).

 

 

"Qu Yuan adalah seorang menteri yang jujur dan setia," tutur Udaya. Ia bercerita, bahwa pejabat-pejabat Chu pada masa itu merupakan orang-orang yang lalim. Mereka suka bermabuk dan tidak segan untuk memfitnah.

Namun, mereka sangat cerdik dalam mempengaruhi raja. Bahkan hingga pada suatu hari, para pejabat lalim itu berhasil menghasut raja untuk mengusir Qu Yuan dari istana.

Qu Yuan amat bersedih. Ia kecewa karena sang raja tidak menghargai kesetiaannya, dan lebih suka mendengar fitnah dan kebencian. Dalam pengasingannya, ia menulis banyak puisi dan berkelana ke desa-desa. Para warga pada saat itu sudah mengenal Qu Yuan sebagai sosok yang jujur, dan mereka turut iba dengan pengasingannya.

Kesedihan Qu Yuan semakin merana dari hari ke hari. Hingga pada suatu ketika, Qu Yuan merengkuh sebongkah batu besar, dan menceburkan dirinya ke Sungai Miluo.

Para nelayan pun panik. Mereka mencari-cari tubuh Qu Yuan yang seketika hilang di kedalaman air. "Mereka tidak percaya bahwa seorang menteri yang begitu gagah dan bijaksana telah bunuh diri," ujar Udaya.

Baca Juga: Kisah Teladan Para Tokoh yang Menginspirasi di Balik Festival Peh Cun

Ilustrasi dari sosok Qu Yuan. Ia merupakan seorang menteri negara Chu pada Zaman Negara-negara Berperang. (David Schroeter)

Hari demi hari berganti, dan para nelayan masih menyisir sungai untuk mencari Qu Yuan. "Mereka mencari dengan menaiki perahu naga karena kepercayaan adat bahwa sang naga bisa membantu pencariannya," jelas Udaya, "mereka  juga melempar bakcang ke sungai agar tubuh Qu Yuan tidak dimakan binatang buas."

Dari legenda itulah tradisi Peh Cun bermula. Menurut cerita, hari di saat Qu Yuan melakukan bunuh diri jatuh pada tanggal lima bulan lima kalender Imlek. "Jadi, hari itulah yang kita kenang sebagai hari kejujuran dan kesetiaan," ungkap Udaya.

Selain mengupas sejarah Peh Chun, Udaya juga menjelaskan mengenai filosofi bakcang yang dimakan di setiap hari raya ini. "Filosofi Bakcang berdasar pada bentuknya yang menyerupai piramida," jelasnya.

Udaya melanjutkan, bahwa setiap sudut piramida bakcang mempunyai maknanya tersendiri. Sudut puncak melambangkan Tuhan, sementara tiga sudut bawah melambangkan tiga unsur alam, yakni air, bumi, dan udara.

"Bakcang ini bila dilempar akan selalu menjulang ke atas, artinya Tuhan akan selamanya paling tinggi," tutur Udaya, "kemudian manusia sebagai makhluk berjiwa berada di tengah-tengah piramida tersebut."

Seiring waktu, bakcang pun mulai menyebar ke berbagai daerah di Tiongkok. Alhasil, bentuk dan isi bakcang semakin bervariasi, mengikuti budaya dan filosofi masing-masing tempat.

Baca Juga: Mengenal Tionghoa Padang dan Proses Asimilasinya di Sumatra Barat

Ragam bentuk bakcang dari masing-masing daerah di Tiongkok. Masing-masing memiliki isi dan filosofinya sendiri-sendiri. (Juliana Loh/Chicken Scrawlings)

Bakcang juga kemudian dibawa oleh orang-orang Tionghoa ke Nusantara. Persebaran orang Tionghoa membuat isi bakcang menjadi beragam di setiap daerah.

"Kami di Tangerang menggunakan bakcang yang isinya beras, tetapi di Sumatra, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan itu isinya macam-macam," jelas Udaya. "Bakcang juga bisa pedas," katanya sambil tersenyum.

Dalam perkembangannya, bakcang mulai terakulturasi dan menjadi penganan bagi masyarakat Indonesia. Mulai dari lemper, arem-arem, burasa, hingga sekubal.

 

Tak lupa, tradisi dayung perahu naga juga dibawa oleh orang Tionghoa. Lomba perahu ini diselenggarakan di berbagai kota di setiap tahunnya, dari Palembang, Yogyakarta, Jakarta, hingga Tangerang.

"Dulu pas saya kecil, ada ratusan bus yang datang ke Tangerang. Puluhan ribu orang datang dari Jakarta, dari mana-mana, untuk nonton Peh Cun," kenang Udaya.

Baca Juga: Orang Cina dalam Cerita Sebutir Kacang di Jalur Rempah Nusantara

Salah satu perahu dalam perayaan Festival Cisadane di Tangerang pada tahun 2019. (Ng Putu Wahyu Rama)

Meskipun sempat dilarang pada zaman Orde Baru, lomba perahu naga saat ini tetap mengundang banyak pengunjung. Banyak orang dari berbagai kalangan yang turut berpartisipasi dalam lomba ini.

Di masa kini, Peh Cun telah menjadi bagian dari keberagaman Indonesia. Baik perahu naga dan bakcang berakulturasi dan menjadi tradisi bagi banyak orang. Hari kepedihan sang menteri kini menjadi peringatan yang abadi.

Baca Juga: Menerka Gagasan Giuseppe Racina, Sang Arsitek Mausoleum Khouw Oen Giok