Nationalgeographic.co.id - Pagebluk mengancam banyak jiwa dalam sejarah peradaban manusia, seperti Covid-19 saat ini dan Black Death pada pertengahan abad ke-14. Pada masa Black Death, pagebluk itu menewaskan sekitar 40--60 persen populasi di Eropa.
Akan tetapi, membuktikan kejadian Black Death bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, pagebluk membunuh begitu cepat dan tak meninggalkan jejak pada kerangka. Situasi itu cuma terekam dalam catatan sejarah. Sedangkan berdasarkan bukti arkeologis hanya bisa teridentifikasi lewat jenazah yang dikubur secara massal dari penanggalan waktu kejadian.
Walau demikian, sebenarnya tak menutup kemungkinan bila sebagian besar korban pagebluk dikubur secara individual, meski masih sulit dikonfirmasi kebenarannya.
Terbatas pada masalah itu, para ilmuwan pun tak begitu saja menyerah sehingga dapat menemukan bukti proses pemakaman korban pagebluk di penghujkung abad pertengahan itu.
Para ilmuwan dari Department of Archaeology at Cambridge University, telah mengidentifikasi keberadaan Yersina Pestis, patogen penyebab Black Death. Penemuan itu berdasarkan penelitian terhadap DNA dari gigi beberapa jenazah di pemakaman umat paroki sekitar Cambridge dan Clopton, Inggris.
Studi ini juga menunjukkan bahwa beberapa korban Black Death di Cambridge memang menerima penguburan massal.
"Secara keseluruhan, dari total 197 individu yang diskrining, sepuluh sampel dinyatakan positif Y. pestis, ditambah tiga kemungkinan lainnya (kemungkinan positif tetapi tidak memiliki cukup data untuk memastikan keberadaan patogen)," tulis para ilmuwan European Journal of Archaeology, Kamis (17/06/2021).
Baca Juga: Gereja Gotik Ini Berhias Tulang Belulang 30.000 Manusia Korban Wabah Hitam
"Delapan identifikasi positif dan dua sementara berasal dari pemakaman tunggal di pemakaman paroki normal dan tempat-tempat keagamaan, termasuk pemakaman paroki All Saints by the Castle, baik pemakaman dan rumah kapitel Biarawan Augustinian, dan paroki pedesaan Clopton."
Secara signifikan, diidentifikasi adanya Yersina Pestis pada beberapa jenazah umat paroki dari St Benedictus yang berdiri sekitar1000-1050. Mereka dikuburkan secara massal di parit besar di halaman gereja yang digali, dan diletakan secara hati-hati pada proses pemakamannya.
"Ada kemungkinan bahwa penguburan massal ini berhubungan dengan Maut Hitam karena kemungkinan terjadi sebelum awal/pertengahan 1350-an, tetapi kemungkinan terkait dengan wabah pada 1361–1362, 1369 dan 1374," tulis Craig Cessford dan tim.
Baca Juga: Mengapa Sepanjang Jalur Sutra Bisa Menyebarkan Pagebluk Antarbenua?
Sedangkan di gereja All Saints by the Castle—gereja paroki yang didirkan sekitar 940-1150, ditemukan 49 kerangka dari kuburan sebagai sampel. 22 di antaranya diperkirakan tewas pada wabah kedua Black Death, dan mayoritas sekitarnya yang sudah meninggal terlebih dahulu sebelum wabah kedua.
Mereka menyimpulkan, selama pandemi kedua Black Death, jenazah orang yang meninggal karena pagebluk dikebumi dengan berbabgai cara. Sebagain pemakaman massal dilakukan secara khusus, dan sebagian besar dilakukan secara normal.
"Mungkin sekitar 2300–3500 orang meninggal karena wabah dalam beberapa bulan pada tahun 1349 di Cambridge dan dikuburkan di tujuh belas gereja paroki, sebuah biara, dua biara, dan empat biara, baik sebagai pemakaman individu maupun pemakaman massal," papar para ilmuwan.
Baca Juga: Black Death dan Wabah Mematikan Bisa Terjadi Akibat Perubahan Iklim
Dalam pemakaman massal, terang para ilmuwan, setidaknya ada lima orang di dalamnya. Ini menandakan bahwa komunitas masyarakat kewalahan dan tidak mampu mngatasi melalui pengubural normal. Tetapi mereka masih memperlakukan mayat sebanyak mungkin dengan rasa hormat.
Baik rohaniawan maupun kaum awam yang tewas akibat Black Death, dikeburukan dengan cara biasa, termasuk biarawan berstatus tinggi. Kadang-kadang, mereka dikebumikan di jantung arsitektur lembaga komunitas.
Hal ini menunjukkan kepedulian lembaga dengan menandai status mereka yang membutuhkan usaha yang berat, maupun pada korban pagebluk maupun tidak. Orang yang meninggal karena pagebluk, dikebumikan di tempat lain di biara, sesuai dengan status mereka.
Cressford dalam rilis mengatakan, "Pekerjaan kami menunjukkan kalau sekarang [adalah saat yang] memungkin untuk mengidentifikasi individu yang meninggal karena wabah dan menerima penguburan individu."
"Ini sangat meningkatkan pemahaman kita tentang wabah dan menunjukkan bahwa bahkan di masa yang sangat traumatis, selama pandemi masa lalu, orang berusaha sangat keras untuk menguburnya dengan sangat hati-hati."
Baca Juga: Setahun Pagebluk Covid-19. Apa saja yang Bisa Kita Pelajari?