Saat Soeharto menjadi presiden, pintu budaya Barat kembali di buka. Akibatnya, banyak disko bergaya Barat bertebaran di mana-mana, termasuk Jakarta oleh Gubernur Ali Sadikin untuk membuka ladang investasi.
Budayawan David Tarigan, dilansir dari Vice Indonesia, mengatakan bahwa munculnya budaya populer di Indonesia dianggap keterbukaan dari yang sebelumnya dilarang.
"Jadi yang terjadi adalah shock ini kan. Jadi anak-anak muda [jadi] gondrong, tiba-tiba ngomongin drugs, film atau segala macam, walaupun dia enggak paham sebenarnya itu apa," ujarnya.
Virginia Matheson Hooker dari Australian National University dalam buku Indonesia Beyond Soeharto (2001), pada 1988 muncul pula beberapa jaringan televisi swasta di samping TVRI. Hiburan yang disajikan media menjadi bisnis besar dan memberikan pengaruh budaya populer ala Barat.
Baca Juga: Label Bimbingan Orang Tua: Keprihatinan Ibu pada Gaya Musik Rok
Tetapi bagi kalangan moralis, budaya populer seperti rok tidak mencerminkan Pancasila. Budaya--khususnya pada musik dan gaya berpakaian--menggambarkan budaya individualis, spontanitas, hingga berjiwa pemberontak.
Alasan mengapa budaya populer diterima masyarakat setelah dibukanya keran keterbukaan, Hooker menjelaskan, karena jumlah masyarakat yang berpendidikan tinggi masih sedikit, dan angka pengangguran yang tinggi.
"Maka dapat dimengerti betapa laku dalam budaya pemuda Indonesia tema-tema kefrustasian perihal misalnya kemunafikan elite, pencemaran lingkungan, dan tekanan untuk menyesuaikan diri secara seragam (conformism)," tulisnya.
Kondisi saat itu, baik Tarigan dan Hooker berpendapat banyak lagu-lagu yang disadur dari musik rok Barat. Saduran juga bisa berupa masalah sehari-hari atau percintaan, hingga kritik kebijakan Orde Baru.
Baca Juga: Nostalgia Lewat Musik Lawas, Penawar Psikologis di Masa Pagebluk