Bagaimana Budaya Barat Menjadi Ajang Anak Muda Menyinggung Orde Baru?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 22 Juni 2021 | 21:25 WIB
Potret album Koes Plus. Mereka pernah ditangkap dan lagu-lagunya dilarang beredar. Bahkan album piringan-piringan hitam mereka dihancurkan. (DISCOGS)

Dari segi disko, ada Chrisye bersama Eros Djarot, dan Yockie Suryoprayogo lewat "Resesi" pada 1983. Eros, dilansir Jawa Pos berujar, bahwa lagu itu sebagai peringatan kepada pemerintah akan bahaya resesi di depan mata.

"Waktu itu arah ekonomi kerakyatan nggak jelas. Ada gejolak moneter yang demikian kuat. Resesi itu tinggal nunggu waktu untuk sampai ke Indonesia. Itu yang saya ceritakan ke teman-teman," kata Eros.

Namun, sayangnya pemerintah cenderung tidak menghiraukan, meski gejala resesi sudah kelihatan.

Baca Juga: Seabad Soeharto: Selain Kontroversinya, Ada Siasat Politik Cerdik

Album Resesi merupakan karya bersama Chrisye, Eros Djarot, dan Yockie. Single dengan judul yang sama itu menjadi alarm untuk pemerintah Orde Baru akan ancaman ekonomi, tetapi tak di dengar. (Musica Records)

Selain itu pada 16 Agustus 1990 di kompleks kebudayaan Cikini, sekitar seribu anak muda berkumpul untuk memperingati hari kemerdekaan. Mereka mengadakan pentas musik, drama, dan puisi.

Dalam kegiatannya, mereka tak menyanjung kemajuan yang telah dicapai Indonesia pada Orde Baru. Melainkan, menampilkan kreasi gambaran kebobrokan sosial dan politiknya.

Menurut Rosslyn von der Borch lewat Art and Activism: Some Examples from Contemporary Central Java, kegiatan ini dilakukan di seluruh Indonesia oleh muda-mudi--salah satunya dilakukan oleh Wiji Thukul. Mereka menyampaikan ketidaksabarannya terhadap perubahan sosial besar.

Baca Juga: Dunia Dalam Berita, Pameran Seni Kontemporer Indonesia Pra dan Pascareformasi