Kayu Manis, Bagaimana Kitab Suci dan Kita Memuliakan Rempah Ini?

By National Geographic Indonesia, Jumat, 25 Juni 2021 | 21:51 WIB
Indonesia adalah negara pengekspor terbesar kayu manis. Penggunaan kayu manis dalam peradaban manusia memiliki riwayat panjang. Tercatat di Alkitab, hingga dirayakan harinya di Swedia dan Amerika Serikat. (Thinkstock)

 

Pucuk daun merahnya menjadi identitas. Tumbuh subur di pegunungan, 800–1.500 meter di atas permukaan laut. Tinggi tanaman dapat mencapai 15 meter dengan ukuran diameter batang 90 sentimeter, dengan temperatur kawasan di bawah 25 derajat Celcius.

Pada 2019 saya berkesempatan untuk menjelajahi kekayaan negeri rempah ini. Saya mengamati kearifan setempat yang berperan dalam mengelola sumber daya alam dengan bijak, mendapatkan manfaat tanpa merusaknya.

Selama tiga bulan dengan ratusan jam perjalanan, saya mencari cerita yang dapat dirangkai terkait praktik budidaya dengan pendekatan kea­rifan lokal di kedua wilayah penghasil terbesar kayu manis di Indonesia. Saya juga menjumpai pola pertanian secara tradisional. Dari proses pengelupasan, pengangkutan dengan kerbau air (Bubalus arnee bubalis), pembersihan hingga pengeringan. Menariknya, pola ini sejatinya tidak berbeda praktiknya dengan satu abad silam.

 

Baca Juga: Merapah Rempah: Benarkah Lapu-Lapu Membunuh Magellan? Simak Kisahnya

Pemandangan Bukit Barisan dilihat dari jalur menuju puncak Gunung Kerinci. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Kabupaten Kerinci

Kawasan ini merupakan pusat penghasil kayu manis terbesar di Indonesia. Potensi alam nan jelita dan lahan nan subur membuat daerah ini diumpamakan oleh pujangga Ghazali Burhan Riyodja laksana “Sekepal tanah surga yang tercampak ke dunia”.

Warga Kerinci telah melakukan budi daya tanaman kayu manis melintasi generasi. Sejumlah praktik kearifan lokal dalam pertanian masih sangat terasa dalam kese­harian mereka.

Desa Lempur, misalnya. Warganya meyakini keberadaan Dewi Hutan. Sosoknya lekat sebagai tokoh sentral dalam mitologi setempat. Sang Dewi menjaga hutan dari kerusakan akibat ta­ng­an-tang­an manusia. Ia adalah perempuan yang disegani dan dianggap memberikan kehidupan kepada masyarakat desa dari hasil hutan. Karena desa ini berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), tidak heran jika kehidupan mereka sangat dekat dengan alam.

Salah satu keunikan di sini adalah proses pemanenan yang dilakukan secara gotong-ro­yong, meski kepemilikan lahan adalah indiviual. Kepemilikan lahan ini ditandai dengan tanaman Surian (Toona ciliata) di pojok-pojok batas lahan, bukan dengan pagar. Umumnya, tiap warga memiliki bidang atau lahan perkebunan kecil yang diwariskan dari pihak ibu mereka. Nama kebunnya pun sesuai dengan na­ma desa atau sungai terdekatnya.