Saya menyaksikan petani kayu manis membawa keranjang rotan berisikan benih untuk ditanamkan kembali. Aktivitas ini menjadi sebuah keharusan untuk pelestarian alam.
Setelah mereka menguliti kayu manis yang mencukupi ukuran keranjang, tahapan terakhirnya adalah penanaman bibit di sekitar pohonnya. Warga meyakini bahwa “apa yang ditabur, itulah yang dituai”. Bagi mereka, pelestarian alam adalah tanggung jawab manusia. Menurut saya, inilah wujud kearifan warga Emil Baru dalam mengelola sumber daya alam.
Salah satu pendekatan kulturalnya, bilamana tebang satu batang kayu manis, minimal harus tanam sepuluh pohon kayu manis. Mereka tidak memandang alam sebagai aset atau kekayaan, melainkan sebagai rumah bersama. Mereka hidup berbagi dengan banyaknya satwa liar seperti beruang madu (Helarctosmalayanus), trenggiling (Manis javanica), Owa-owa (Hylobathe ssp), dan lainnya. Konsep rumah bersama ini sangat jelas terlihat dalam setiap upacara adat. Mereka selalu mohon izin pada penghuni alam, termasuk dengan satwanya.
Baca Juga: Jejak Jalur Rempah, Legenda Kebun Gambir di Persimpangan Selat Malaka
Perjalanan ini memberikan pengetahuan dasar bagi saya: Proses produksi kayu manis bukan dilakukan secara komersial melainkan non-komersial, yakni tradisional dengan aspek-aspek penghormatan terhadap alam.
Bagaimana rupa kayu manis kita memberikan citra kebudayaan di kancah global? Rempah ini telah menjadi bagian dari budaya masyarakat global sejak ratusan tahun silam. Kayu manis telah digunakan selama ribuan tahun. Sejak 2000 SM, rempah ini menjadi komoditas berharga di Timur Tengah. Salah satu dari banyak kegunaannya di dunia kuno adalah sebagai parfum untuk keperluan pembalseman.
Rempah ini juga terabadikan di Alkitab. Dalam Keluaran 30:23 kayu manis adalah salah satu dari bahan-bahan “minyak urapan yang kudus”. Amsal 7:17 kayu manis, bersama dengan mur dan gaharu, digunakan sebagai parfum untuk tempat tidur. Kidung Agung 4:14 kayu manis adalah bumbu yang sangat berharga. Wahyu 18:13 kayu manis adalah bagian dari barang dagang Kota Babel.
Baca Juga: Selidik Jalur Rempah, Seteguk Riwayat Minuman Beralkohol Nusantara
Kayu manis diangkut melalui jalur darat yang sulit dilintasi, sehingga berbiaya tinggi. Akibatnya, harganya pun mahal, yang membuatnya menjadi simbol status di Eropa. Selain sebagai penanda kekayaan, kayu manis juga populer karena kemampuannya dalam mengawetkan daging di musim dingin.
Pedagang Arab membawanya ke Eropa, sehingga sepopuler di Timur Tengah. Mereka memastikan untuk merahasiakan asalnya untuk melindungi monopoli mereka.
Rempah ini menjelma istimewa. Hingga kini, sejumlah negara menggelar hari perayaan khusus terkait rempah kayu manis. Pertama, Cinnamon Bun Day (4 Oktober) di Swedia. Awalnya sebagai perayaan pada 1999 oleh Hembakningsrådet (Dewan Kue Rumah Tangga), untuk menandai ulang tahun ke-40 dewan tersebut. Kedua, Cinnamon Day (1 November) di Amerika Serikat. Perusahaan McCormick & Co., Inc. mendirikan National Cinnamon Day pada 2019 untuk merayakan keserbagunaan salah satu rempah paling populer di dapur Amerika.
Bagaimana penghargaan rempah historis ini di rumahnya sendiri, Indonesia?
Baca Juga: Kapur Barus, Cerita Rempah dari Kedatuan Sriwijaya Kian Pupus