Kayu Manis, Bagaimana Kitab Suci dan Kita Memuliakan Rempah Ini?

By National Geographic Indonesia, Jumat, 25 Juni 2021 | 21:51 WIB
Indonesia adalah negara pengekspor terbesar kayu manis. Penggunaan kayu manis dalam peradaban manusia memiliki riwayat panjang. Tercatat di Alkitab, hingga dirayakan harinya di Swedia dan Amerika Serikat. (Thinkstock)

 

Oleh Sidi Rana Menggala

Peneliti skema pe­ningkatan mata pencaharian petani kayu manis di Kerinci dengan mempertimbangkan aspek lingkungan. Kini, kandidat doktor dari Ghent University, Belgia.

 

Nationalgeographic.co.id—Pohonnya beraroma tajam, terasa pedas dan manis. Kulitnya menjadi salah satu bumbu tertua yang digunakan manusia. Bagaimana leluhur kita dan dunia memuliakan rempah ini?

Negeri kita telah menjadi destinasi perdagangan rempah-rempah sebelum tarikh masehi. Sejak abad ke­rajaan, rempah telah mengarungi samudra hingga mencapai Benua Afrika. Ketika abad penjelajahan samudra, sejumlah rempah primadona yang menjadi incaran para pedagang Eropa. Nilai jualnya begitu tinggi sehingga dapat dikategorikan sebagai komoditas mewah pada saat itu.

Pada abad ke-21, pun rempah-rempah dari Indonesia tetap menjadi primadona global. Salah satunya, rempah kulit kayu manis, penamaan ilmiah latinnya adalah Cinnamomum burmannii (T. Nees & Nees) Blume. Indonesia merupakan eksportir terbesar di dunia untuk kulit kayu manis. Komposisinya, 85 persen pangsa pasar global. Mitra importir terbesar kulit kayu manis adalah Belanda, Jerman, Swedia, dan Amerika Serikat.

 

Pucuk daun merahnya menjadi identitas. Tumbuh subur di pegunungan, 800–1.500 meter di atas permukaan laut. Tinggi tanaman dapat mencapai 15 meter dengan ukuran diameter batang 90 sentimeter, dengan temperatur kawasan di bawah 25 derajat Celcius.

Pada 2019 saya berkesempatan untuk menjelajahi kekayaan negeri rempah ini. Saya mengamati kearifan setempat yang berperan dalam mengelola sumber daya alam dengan bijak, mendapatkan manfaat tanpa merusaknya.

Selama tiga bulan dengan ratusan jam perjalanan, saya mencari cerita yang dapat dirangkai terkait praktik budidaya dengan pendekatan kea­rifan lokal di kedua wilayah penghasil terbesar kayu manis di Indonesia. Saya juga menjumpai pola pertanian secara tradisional. Dari proses pengelupasan, pengangkutan dengan kerbau air (Bubalus arnee bubalis), pembersihan hingga pengeringan. Menariknya, pola ini sejatinya tidak berbeda praktiknya dengan satu abad silam.

 

Baca Juga: Merapah Rempah: Benarkah Lapu-Lapu Membunuh Magellan? Simak Kisahnya

Pemandangan Bukit Barisan dilihat dari jalur menuju puncak Gunung Kerinci. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Kabupaten Kerinci

Kawasan ini merupakan pusat penghasil kayu manis terbesar di Indonesia. Potensi alam nan jelita dan lahan nan subur membuat daerah ini diumpamakan oleh pujangga Ghazali Burhan Riyodja laksana “Sekepal tanah surga yang tercampak ke dunia”.

Warga Kerinci telah melakukan budi daya tanaman kayu manis melintasi generasi. Sejumlah praktik kearifan lokal dalam pertanian masih sangat terasa dalam kese­harian mereka.

Desa Lempur, misalnya. Warganya meyakini keberadaan Dewi Hutan. Sosoknya lekat sebagai tokoh sentral dalam mitologi setempat. Sang Dewi menjaga hutan dari kerusakan akibat ta­ng­an-tang­an manusia. Ia adalah perempuan yang disegani dan dianggap memberikan kehidupan kepada masyarakat desa dari hasil hutan. Karena desa ini berbatasan dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), tidak heran jika kehidupan mereka sangat dekat dengan alam.

Salah satu keunikan di sini adalah proses pemanenan yang dilakukan secara gotong-ro­yong, meski kepemilikan lahan adalah indiviual. Kepemilikan lahan ini ditandai dengan tanaman Surian (Toona ciliata) di pojok-pojok batas lahan, bukan dengan pagar. Umumnya, tiap warga memiliki bidang atau lahan perkebunan kecil yang diwariskan dari pihak ibu mereka. Nama kebunnya pun sesuai dengan na­ma desa atau sungai terdekatnya.

 

Petani kayu manis, yang hidup berba­tasan dengan TNKS dan hutan produksi kayu manis, tidak akan menanam benih kayu manis di pintu akses hutan. Mereka yakin bahwa pintu akses ke kawasan hu­tan—atau istilah warga adalah “pintu rimba”—dilarang un­tuk melakukan bu­di­ daya. Pemahaman ini berkaitan erat dengan keengg­a­­nan mereka meng­usik fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan. Mereka menyadari hutan sebagai pengatur tata air, pencegah banjir, pengendalian erosi, dan pemelihara kesuburan tanah.

Salah satu temuan menarik lainnya adalah manfaat ekonomisnya. Bagi warga, tanaman ini berfungsi sebagai tabungan—naik haji, pendidikan anak, hingga hajatan. Namun, saya ti­dak menjumpai warga yang bermukim di perkebun­an. Umumnya, mereka bermukim dekat dengan sawah karena mata pencaharian utamanya adalah bersawah. Jumlah kulit kayu manis yang diambil pun sesuai dengan kebutuhan.

 Baca Juga: Kemukus, Si Emas Hitam yang Nyaris Hilang di Jalur Rempah Nusantara

Lokasi Gunung Kerinci, perbatasan antara Provinsi Sumatra Barat dan Provinsi Jambi. (Warsono/National Geographic Indonesia)

Kabupaten Tanah Bumbu

Budidaya kayu manis terbesar kedua di Indonesa terletak di Pegunungan Meratus, Kali­mantan Selatan. Sohor dengan kayu manis Meratus. Penghasil kayu manis berada di daerah Kecamatan Mantewe, Kabupaten Tanah Bumbu. Jenisnya Cinnamomum burmanni.

Budi daya kayu manis dengan menghormati alam telah menjadi keharusan bagi suku Dayak. Desa Emil Baru, misalnya, para petani kayu manis ini telah secara turun-menurun memiliki kebajikan secara adat untuk mengambil dari hutan apa yang diperlukan.

Selama berabad-abad suku Dayak, meng­andalkan tanaman hutan kayu manis sebagai mata pencaharian utama. Di desa ini hampir sebagian besar masyarakat bermata pencaharian utama sebagai petani kayu manis. Sebagian besar berada di kawasan hutan sosial, yaitu di lahan warisan atau kebun masyarakat yang berkembang secara sporadis dari hasil budi daya.

 

Saya menyaksikan petani kayu manis membawa keranjang rotan berisikan benih untuk ditanamkan kembali. Aktivitas ini menjadi sebuah keharusan untuk pelestarian alam.

Setelah mereka menguliti kayu manis yang mencukupi ukuran keranjang, tahapan terakhirnya adalah penanaman bibit di sekitar pohonnya. Warga meyakini bahwa “apa yang ditabur, itulah yang dituai”. Bagi mereka, peles­tarian alam adalah tanggung jawab manusia. Menurut saya, inilah wujud kearifan warga Emil Baru dalam mengelola sumber daya alam.

Salah satu pendekatan kulturalnya, bilamana tebang satu batang kayu manis, minimal harus tanam sepuluh pohon kayu manis. Mere­ka tidak memandang alam sebagai aset atau kekayaan, melainkan sebagai rumah bersama. Mereka hidup berbagi dengan banyaknya satwa liar seperti beruang madu (Helarctosmalayanus), trenggiling (Manis javanica), Owa-owa (Hylobathe ssp), dan lainnya. Konsep rumah bersama ini sangat jelas terlihat dalam setiap upacara adat. Mereka selalu mohon izin pada penghuni alam, termasuk de­­ngan satwanya.

Baca Juga: Jejak Jalur Rempah, Legenda Kebun Gambir di Persimpangan Selat Malaka

 

Perjalanan ini memberikan pengetahuan dasar bagi saya: Proses produksi kayu manis bukan dilakukan secara komersial melainkan non-komersial, yakni tradisional dengan aspek-aspek penghormatan terhadap alam.

Bagaimana rupa kayu manis kita memberikan citra kebudayaan di kancah global? Rempah ini telah menjadi bagian dari budaya masyarakat global sejak ratusan tahun silam. Kayu manis telah digunakan selama ribuan tahun. Sejak 2000 SM, rempah ini menjadi komoditas berharga di Timur Tengah. Salah satu dari banyak kegunaannya di dunia kuno adalah sebagai parfum untuk keperluan pembalseman.

Rempah ini juga terabadikan di Alkitab. Dalam Keluaran 30:23 kayu manis adalah salah satu dari bahan-bahan “minyak urapan yang kudus”. Amsal 7:17 kayu manis, bersama dengan mur dan gaharu, digunakan sebagai parfum untuk tempat tidur. Kidung Agung 4:14 kayu manis adalah bumbu yang sangat berharga. Wahyu 18:13 kayu manis adalah bagian dari barang dagang Kota Babel.

Baca Juga: Selidik Jalur Rempah, Seteguk Riwayat Minuman Beralkohol Nusantara

Kayu manis merupakan sumber dari mangan, zat besi, kalsium, serat dan mengandung beberapa zat yang dibutuhkan tubuh kita. (Thinkstock)

Kayu manis diangkut melalui jalur darat yang sulit dilintasi, sehingga berbiaya tinggi. Akibatnya, harganya pun mahal, yang membuatnya menjadi simbol status di Eropa. Selain sebagai penanda kekayaan, kayu manis juga populer karena kemampuannya dalam  meng­awetkan daging di musim dingin.

Pedagang Arab membawanya ke Eropa, sehingga sepopuler di Timur Tengah. Mereka memastikan untuk merahasiakan asalnya untuk melindungi monopoli mereka.

Rempah ini menjelma istimewa. Hingga kini, sejumlah negara menggelar hari perayaan khusus terkait rempah kayu manis. Pertama, Cinnamon Bun Day (4 Oktober) di Swedia. Awalnya sebagai perayaan pada 1999 oleh Hembakningsrådet (Dewan Kue Rumah Tangga), untuk menandai ulang tahun ke-40 dewan tersebut. Kedua, Cinnamon Day (1 November) di Ame­rika Serikat. Perusahaan McCormick & Co., Inc. mendirikan National Cinnamon Day pada 2019 untuk merayakan keserbagunaan salah satu rempah paling populer di dapur Amerika.

Bagaimana penghargaan rempah historis ini di rumahnya sendiri, Indonesia?

Baca Juga: Kapur Barus, Cerita Rempah dari Kedatuan Sriwijaya Kian Pupus