Petani kayu manis, yang hidup berbatasan dengan TNKS dan hutan produksi kayu manis, tidak akan menanam benih kayu manis di pintu akses hutan. Mereka yakin bahwa pintu akses ke kawasan hutan—atau istilah warga adalah “pintu rimba”—dilarang untuk melakukan budi daya. Pemahaman ini berkaitan erat dengan keengganan mereka mengusik fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan. Mereka menyadari hutan sebagai pengatur tata air, pencegah banjir, pengendalian erosi, dan pemelihara kesuburan tanah.
Salah satu temuan menarik lainnya adalah manfaat ekonomisnya. Bagi warga, tanaman ini berfungsi sebagai tabungan—naik haji, pendidikan anak, hingga hajatan. Namun, saya tidak menjumpai warga yang bermukim di perkebunan. Umumnya, mereka bermukim dekat dengan sawah karena mata pencaharian utamanya adalah bersawah. Jumlah kulit kayu manis yang diambil pun sesuai dengan kebutuhan.
Baca Juga: Kemukus, Si Emas Hitam yang Nyaris Hilang di Jalur Rempah Nusantara
Kabupaten Tanah Bumbu
Budidaya kayu manis terbesar kedua di Indonesa terletak di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Sohor dengan kayu manis Meratus. Penghasil kayu manis berada di daerah Kecamatan Mantewe, Kabupaten Tanah Bumbu. Jenisnya Cinnamomum burmanni.
Budi daya kayu manis dengan menghormati alam telah menjadi keharusan bagi suku Dayak. Desa Emil Baru, misalnya, para petani kayu manis ini telah secara turun-menurun memiliki kebajikan secara adat untuk mengambil dari hutan apa yang diperlukan.
Selama berabad-abad suku Dayak, mengandalkan tanaman hutan kayu manis sebagai mata pencaharian utama. Di desa ini hampir sebagian besar masyarakat bermata pencaharian utama sebagai petani kayu manis. Sebagian besar berada di kawasan hutan sosial, yaitu di lahan warisan atau kebun masyarakat yang berkembang secara sporadis dari hasil budi daya.