Narasi Sepanjang Jalur Rempah, Perjalanan Upaya Demi Mencari Indonesia

By National Geographic Indonesia, Sabtu, 26 Juni 2021 | 16:00 WIB
Litografi reruntuhan Candi Menak Jingga, Majapahit, karya Auguste van Weissenbruch, 1852. (KITLV)

Oleh Kumoratih Kushardjanto—Pegiat di Yayasan Negeri Rempah, dan pengajar tetap di jurusan Desain Komunikasi Visual, Universitas Bina Nusantara.

 

Nationalgeographic.co.id—Pencarian narasi tentang Jalur Rempah telah membangkitkan rasa keingintahuan kita tentang kesejatian jiwa negeri ini. Indonesia telah lahir dari sebuah kisah panjang tentang perjumpaan.

Setidaknya dalam lima tahun terakhir, Jalur Rempah muncul sebagai sebuah narasi kultural-historis yang menarik banyak perhatian publik. Narasi ini menempatkan Nusantara (kini Indonesia) menjadi simpul penting pertukaran antarbudaya dari masa ke masa yang mempertemukan berbagai gagasan, konsep, ilmu pengetahuan, agama, bahasa, estetika, hingga adat kebiasaan.

Nusantara dianggap berkontribusi penting dalam membentuk peradaban dunia. Narasi kultural-historis ini begitu romantis, sehingga mampu mereproduksi nasionalisme dan identitas yang secara serentak memberikan pemaknaan baru tentang apa artinya menjadi Indonesia. Meski demikian, kadar pemaknaan itu bisa berbeda-beda bagi setiap orang.

Narasi jalur rempah kini memberikan ruang bagi siapa pun untuk berimajinasi tentang Indonesia. Siapa pun bisa memaknainya secara pribadi sambil merekacipta tradisi dan menyejajarkan ulang (re-alignment) dengan jejak kegemilangan leluhur jauh di masa lampau.

Alih-alih berupa ideologi yang sangat politis, sejarah nasional kini mampu bertransformasi menjadi konten penjenamaan (branding) sekaligus konten kurikulum pendidikan, ia bisa lahir kembali dalam film layar lebar sekaligus konten pidato presiden, pun lahir kembali dalam kebijakan diplomasi budaya sekaligus tema wisata unggulan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Dengan kata lain, jalur rempah memberikan warna baru terhadap proses reproduksi nasionalisme. Di saat bersamaan, gerakan masyarakat berbasis komunitas ini turut membangun literasi dan tradisi belajar – meski berada di luar sistem negara.