“Jalur rempah ini menarik sekali. Ini mengingatkan saya pada posisi Belitung di jalur perlintasan samudra dan budaya,” paparnya penuh semangat. “Narasi Jalur Rempah sangat relevan dengan aktivitas saya bersama komunitas lokal. Basis komunitas kami adalah literasi yang mulai mendapatkan tantangan dari banyaknya disrupsi teknologi digital sehingga perlu dikembangkan keunikan lokal berbasis tradisi. Namun kondisi ini senjang,” sambungnya.
Fithrorozi menambahkan bahwa narasi jalur rempah lebih marak dalam tataran pemerintahan ketimbang di akar rumput. Pemerintah Kabupaten Belitung memang pernah menggelar sarasehan Jalur Rempah yang dihadiri Balai Arkeologi dan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi.
Sayang sekali, lebih berorientasi pada temuan arkelogis dari entitas kekuasaan lama (Kerajaan Balok) yang menurutnya sulit direlasikan dengan Jalur Rempah.
Baca Juga: Jejak Jalur Rempah, Legenda Kebun Gambir di Persimpangan Selat Malaka
Padahal, Fithrorozi berkeyakinan bahwa narasi Jalur Rempah ini memiliki daya dorong untuk menggerakkan potensi ekonomi dari komunitas lokal. Apalagi komunitas ibu-ibu di sini juga sudah memanfaatkan rempah sebagai tanaman obat, malah ada pula yang mulai membuka usaha spa rempah, sabun, dan kuliner.
“Bayangkan, bila komunitas perempuan ini bisa memaknai usaha yang mereka lakukan adalah bagian dari narasi besar jalur rempah yang sedang diupayakan Indonesia sebagai warisan dunia,” ujarnya. Namun, ia juga menekankan bahwa narasi saja tidak cukup. Pelaku usaha juga perlu mengetahui rantai nilai, rantai pasok, dan rantai pemasaran.
Rempah Belitung khususnya lada, boleh jadi tidak lagi menjadi unggulan. Meski demikian, Fithrorozi sangat optimis bahwa ada simpul yang bisa membuat ingar-bingar jalur rempah ini beroleh manfaat: pariwisata. Menurutnya pariwisata bisa menjadi daya tarik sektor hulu dan mendorong sektor hilir. “Inilah pentingnya literasi,” pungkasnya.
Baca Juga: Jalur Rempah, Rute Dagang yang Menyimpan Solusi Masalah Masa Kini