Oleh Kumoratih Kushardjanto—Pegiat di Yayasan Negeri Rempah, dan pengajar tetap di jurusan Desain Komunikasi Visual, Universitas Bina Nusantara.
Nationalgeographic.co.id—Pencarian narasi tentang Jalur Rempah telah membangkitkan rasa keingintahuan kita tentang kesejatian jiwa negeri ini. Indonesia telah lahir dari sebuah kisah panjang tentang perjumpaan.
Setidaknya dalam lima tahun terakhir, Jalur Rempah muncul sebagai sebuah narasi kultural-historis yang menarik banyak perhatian publik. Narasi ini menempatkan Nusantara (kini Indonesia) menjadi simpul penting pertukaran antarbudaya dari masa ke masa yang mempertemukan berbagai gagasan, konsep, ilmu pengetahuan, agama, bahasa, estetika, hingga adat kebiasaan.
Nusantara dianggap berkontribusi penting dalam membentuk peradaban dunia. Narasi kultural-historis ini begitu romantis, sehingga mampu mereproduksi nasionalisme dan identitas yang secara serentak memberikan pemaknaan baru tentang apa artinya menjadi Indonesia. Meski demikian, kadar pemaknaan itu bisa berbeda-beda bagi setiap orang.
Narasi jalur rempah kini memberikan ruang bagi siapa pun untuk berimajinasi tentang Indonesia. Siapa pun bisa memaknainya secara pribadi sambil merekacipta tradisi dan menyejajarkan ulang (re-alignment) dengan jejak kegemilangan leluhur jauh di masa lampau.
Alih-alih berupa ideologi yang sangat politis, sejarah nasional kini mampu bertransformasi menjadi konten penjenamaan (branding) sekaligus konten kurikulum pendidikan, ia bisa lahir kembali dalam film layar lebar sekaligus konten pidato presiden, pun lahir kembali dalam kebijakan diplomasi budaya sekaligus tema wisata unggulan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Dengan kata lain, jalur rempah memberikan warna baru terhadap proses reproduksi nasionalisme. Di saat bersamaan, gerakan masyarakat berbasis komunitas ini turut membangun literasi dan tradisi belajar – meski berada di luar sistem negara.
Mencari Indonesia
Jalur rempah adalah kisah pertemuan. Kisah silaturahmi. Kadang begitu hangat, di saat lainnya panas penuh gejolak. Bila kehangatan rempah itu masih kita warisi hingga kini, maka seharusnya Jalur Rempah hari ini juga mempertemukan kita dengan banyak pemikiran dan gagasan yang melampaui batasan-batasan budaya.
...antara Negarakertagama, Pararaton, dan prasasti itu ada jarak-jarak yang memisahkan keotentikan, dalam artian keabsahan sumber. Pararaton itu paling jauh dapat dipercayanya. Terus Negarakertagama, memang sezaman Majapahit. Tapi masih harus di cek karena tidak semuanya benar. Ingat itu! Tidak semuanya benar yang dikemukakan di situ!”
Kami terdiam. Sumpah Palapa tidak ada. Uraian panjang lebar dari Hasan Djafar seketika membuyarkan imajinasi kami tentang kejayaan Majapahit. Saat itu saya menemani dua desainer dan seorang mahasiswa.
Pada awalnya, para desainer amat bersemangat untuk memaparkan ide komik Mahapatih Gajah Mada yang mengumandangkan Sumpah Palapa. Mang Hasan juga menolak asumsi umum bahwa Majapahit merupakan cikal bakal bersatunya Nusantara yang kelak menjadi model negara Indonesia, termasuk Gajah Mada sebagai figur penting pemersatu Nusantara melalui Sumpah Palapa.
Menurutnya, apabila Gajah Mada memang betul-betul mempersatukan Nusantara yang ditandai dengan sebuah sumpah, peristiwa ini merupakan kejadian penting. Sudah seyogyanya, peristiwa ini pasti terekam dalam dokumen kerajaan yang resmi, dalam hal ini prasasti.
Baca Juga: Pesan Teladan Kemajemukan Budaya dari Metropolitan Majapahit
Akan tetapi, kenyataannya tidak ada satu pun dokumen yang ditemukan. Mulai upala prasasti (dokumen dipahatkan pada batu), tamra prasasti (arsip kerajaan yang dipahatkan pada tembaga), maupun ripta prasasti (arsip yang dituliskan pada lontar untuk para saksi). Sesi konsultasi hari itu memberikan pelajaran baru: betapa miskinnya pengetahuan kami dan betapa kurangnya kami membaca.
Kevin Sim mendengar Jalur Rempah untuk pertama kalinya pada tahun 2015 dari para dosen yang kala itu sedang melaksanakan tugas pengabdian masyarakat sebagai perancang pameran yang sama di Museum Nasional. Mengikuti arahan dari sang dosen, ia ikut terlibat sebagai mahasiswa magang di proyek pameran tersebut. Ia pun harus mengikuti sesi konsultasi dengan para narasumber ahli, salah satunya Mang Hasan.
Meski demikian, pemuda kelahiran tahun 1993 ini mengaku tidak suka pelajaran sejarah. Awalnya, narasi Jalur Rempah membuat dahinya berkerut, …ini ngomongin apa sih? Bukannya ini soal bumbu dapur doang ya? Kenapa jadi ribet begini sejarahnya?” ujarnya sambil tertawa.
Baca Juga: Kayu Manis, Bagaimana Kitab Suci dan Kita Memuliakan Rempah Ini?
Romantika sejarah perdagangan rempah itu ternyata tak terlalu menarik baginya. Ia lebih tertarik pada berbagai macam tanaman rempah. Lebih dari 50 ilustrasi rempah-rempah telah dibuatnya untuk beberapa kegiatan pameran.
Seiring dengan bertambahnya pengetahuan tentang jenis-jenis rempah, pemuda keturunan Tionghoa yang bernama asli Shen Hong Hua ini mengaku bangga bisa ikut berpartisipasi dalam berbagai aktivitas komunitas yang menamakan diri Jaringan Masyarakat Negeri Rempah.
Komunitas ini mempertemukannya dengan pegiat-pegiat budaya dari berbagai daerah di Indonesia. “Selain saya jadi belajar tentang rempah, saya jadi punya banyak teman baru. Saya senang bisa bersosialisasi dengan banyak orang. Buat saya yang paling berkesan adalah kekeluargaannya itu lo. Kita nggak saling kenal sebelumnya. Tapi, waktu kita sama-sama ngerjain jalur rempah, kita saling dukung memperkenalkan Indonesia. Bangga banget rasanya lihat karya saya dipajang di Museum Nasional,” ujar Shen Hong Hua.
Narasi Jalur Rempah yang dihayati Kevin boleh jadi sebatas bumbu dapur. Tetapi, setidaknya Jalur Rempah telah membuka pintu imajinasinya tentang keindonesiaan. Ia bermimpi untuk menerbitkan Bumbupedia, buku kumpulan ilustrasi rempah-rempah hasil karyanya selama menjadi sukarelawan pegiat jalur rempah.
Baca Juga: Kemukus, Si Emas Hitam yang Nyaris Hilang di Jalur Rempah Nusantara
Akhirnya kiriman buku dari Tanjungpandan itu tiba juga. Pengirimnya adalah Fithrorozi. Beberapa waktu lalu ketika berkunjung ke Jakarta untuk acara “Rempah dan Kita”, ia pernah berjanji mengirimkan kumpulan tulisan dari anak-anak sekolah dasar asuhannya. Judulnya: Cerita Anak Republik Kelekak “Lima Penjuru Angin”.
Isinya adalah tulisan siswa-siswi SD Negeri 13 Sijuk mulai dari kelas 2 hingga kelas 6, menggunakan bahasa ibunya. Sederhana, jujur, lugu, dan lucu. Ide membuat buku ini digagasnya untuk menumbuhkan tradisi belajar sejak anak-anak. “Cara ini bisa dipakai untuk memperkenalkan jalur rempah ke anak-anak, mbak,” paparnya dengan antusias.
Sudah sejak beberapa tahun terakhir Fithrorozi aktif dalam sebuah komunitas literasi yang dinamakannya Telinsong Budaya. Putra daerah asli Belitung yang pernah beberapa tahun bekerja di perusahaan swasta di Jakarta ini memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya, menjadi PNS dan berkarya di kota kelahirannya.
Baca Juga: Riwayat Rempah sang Pembentuk Peradaban Dunia
“Jalur rempah ini menarik sekali. Ini mengingatkan saya pada posisi Belitung di jalur perlintasan samudra dan budaya,” paparnya penuh semangat. “Narasi Jalur Rempah sangat relevan dengan aktivitas saya bersama komunitas lokal. Basis komunitas kami adalah literasi yang mulai mendapatkan tantangan dari banyaknya disrupsi teknologi digital sehingga perlu dikembangkan keunikan lokal berbasis tradisi. Namun kondisi ini senjang,” sambungnya.
Fithrorozi menambahkan bahwa narasi jalur rempah lebih marak dalam tataran pemerintahan ketimbang di akar rumput. Pemerintah Kabupaten Belitung memang pernah menggelar sarasehan Jalur Rempah yang dihadiri Balai Arkeologi dan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi.
Sayang sekali, lebih berorientasi pada temuan arkelogis dari entitas kekuasaan lama (Kerajaan Balok) yang menurutnya sulit direlasikan dengan Jalur Rempah.
Baca Juga: Jejak Jalur Rempah, Legenda Kebun Gambir di Persimpangan Selat Malaka
Padahal, Fithrorozi berkeyakinan bahwa narasi Jalur Rempah ini memiliki daya dorong untuk menggerakkan potensi ekonomi dari komunitas lokal. Apalagi komunitas ibu-ibu di sini juga sudah memanfaatkan rempah sebagai tanaman obat, malah ada pula yang mulai membuka usaha spa rempah, sabun, dan kuliner.
“Bayangkan, bila komunitas perempuan ini bisa memaknai usaha yang mereka lakukan adalah bagian dari narasi besar jalur rempah yang sedang diupayakan Indonesia sebagai warisan dunia,” ujarnya. Namun, ia juga menekankan bahwa narasi saja tidak cukup. Pelaku usaha juga perlu mengetahui rantai nilai, rantai pasok, dan rantai pemasaran.
Rempah Belitung khususnya lada, boleh jadi tidak lagi menjadi unggulan. Meski demikian, Fithrorozi sangat optimis bahwa ada simpul yang bisa membuat ingar-bingar jalur rempah ini beroleh manfaat: pariwisata. Menurutnya pariwisata bisa menjadi daya tarik sektor hulu dan mendorong sektor hilir. “Inilah pentingnya literasi,” pungkasnya.
Baca Juga: Jalur Rempah, Rute Dagang yang Menyimpan Solusi Masalah Masa Kini