Hak-hak lain yang tertuang dalam oktroi tersebut antara lain menyatakan bahwa wilayah VOC terbentang mulai dari Tanjung Harapan Baik sampai Pulau Deshima Jepang. VOC berhak mendirikan comptoir atau kantor-kantor dagang dan banteng-benteng di daerah-daerah tersebut, membangun kapal, melakukan peperangan dan perdamaian dengan penguasa-penguasa setempat, merekrut serdadu, mencetak uang dan hak monopoli rempah-rempah.
Butir yang terakhir itu banyak menimbulkan terjadinya konflik dan peperangan-peperangan di pelbagai tempat di Asia termasuk di Nusantara. Penyebabnya, VOC mematahkan jalur rempah yang selama berabad-abad sudah berlaku secara konvensional di Nusantara. Sebelum kedatangan kongsi datang ini, Nusantara adalah daerah perdagangan bebas. Penduduk setempat berhak menjual kepada siapa pun dan kepada bangsa apa pun serta dapat menetapkan harga sesuai dengan harga pasaran. Berlakunya sistem monopoli dalam perdagangan, para pedagang di kawasan ini merasa dirugikan.
Berdasarkan laporan Frederick de Houtman, Dewan 17 (De Heeren Zeventien) mengharuskan pedagang VOC menguasai bahasa Melayu yang saat itu sudah lazim digunakan sebagai lingua franca. Houtman pula yang mengkompilasi kamus percakapan pertama bahasa Belanda-Melayu pada 1603.
Baca Juga: Gemerlap Para Nyonya Sosialita di Batavia Zaman VOC
Mereka berpedoman “menguasai bangsa melalui bahasa”. Dengan jargon ini, sejatinya selama ratusan tahun orang Belanda tidak pernah secara sungguh-sungguh memperkenalkan bahasa dan budayanya kepada penduduk lokal di Hindia-Belanda.
Faktor inilah yang menyebabkan tidak pernah tejadinya saling pengertian dan saling menghormati antara orang pribumi dan orang Belanda. Apalagi dengan diterapkannya stratifikasi sosial yang menempatkan orang Belanda dan Eropa pada kelas pertama (de Europeanen), yang disusul orang Cina, India, Arab, dan Jepang sebagai warga kelas dua (Vreemde Oosterlingen) dan penduduk asli Nusantara sebagai kelas paling rendah atau warga kelas tiga (Inlandsch Burger).
Penerapan stratifikasi sosial ini membuat hubungan antara orang Indonesia dan orang Belanda tidak akrab. Orang Indonesia menganggap orang Belanda tetap sebagai orang asing. Inilah kekeliruan terbesar Belanda dalam melakukan pendekatan terhadap penduduk asli Hindia-Belanda. Perbedaan kelas ini nantinya akan digunakan sebagai senjata oleh kaum nasionalis pada akhir abad ke-19 untuk membangkitkan rasa nasionalisme bangsa Indonesia.
Seiring perjalanan waktu, selain VOC, ada juga pedagang bebas yang mengadakan perdagangan antarkawasan di Asia. Komoditinya seperti gula, porselin, karpet, kopi, peralatan rumah tangga, bahkan batu bata dan lain-lain. Para pedagang bebas ini ikut mendompleng kapal-kapal VOC yang berlayar ke berbagai negara di Asia.
Untuk mengamankan barang-barang dagangan, mereka biasa memberikan uang pelicin kepada personil VOC. Gaji personil atau awak kapal kompeni begitu rendah, sehingga sangat senang dengan situasi seperti itu. Uang pelicin membuat banyak personil Kompeni menjadi kaya raya. Budaya korupsi inilah yang kelak membuat kongsi dagang ini goyang.
Kompeni melemah. Inggris berhasil merampas rempah yang melimpah dari tangan Belanda di Benteng Belgica, Banda. Bekal ini membuat Inggris dapat membiayai angkatan perangnya untuk memblokade Jawa. Akibatnya, hubungan VOC dengan Belanda terputus. Dan, VOC benar-benar bangkrut setelah berdiri selama 200 tahun (1602-1799). Demi menutup hutang, aset kongsi dagang ini diserahkan ke pemerintah Belanda, yang pada saat itu menjadi Republik Bataf di bawah bendera Prancis.
Bentuk korupsi sudah berjalan berabad-abad, yang nantinya sangat sulit diberantas. Adakah pelajaran dari Jalur Rempah untuk kita pada hari ini?
Baca Juga: Serdadu VOC Asal Tanah Madura