Dari 1966 hingga 2020, Bagaimana Gerakan Mahasiswa Warnai Sejarah?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 1 Juli 2021 | 16:00 WIB
Mahasiswa berorasi menolak Omnibus Law pada 14 Agustus 2020. (Keenan Anoman Pasha)

Baca Juga: Sukarno Bukan Tanpa Cela, Berkali-Kali Dia Dikritik oleh Soe Hok Gie

Baca Juga: Aktivisme hingga Petualangan: Antara Gie, Pendakian, dan Semeru

Baca Juga: Studi Baru: Mahasiswa Menghindari Interaksi Sosial Saat Sedang Stres

Baca Juga: Terbuangnya Generasi Intelektual Indonesia Setelah Peristiwa 1965

Dari Malari 1974 hingga Reformasi 1998

Pasca kenaikan Soeharto, dan naiknya kekuatan militer, menumbuhkan gerakan kontra-revolusi karena pengekangan terjadi pada depolitisasi rakyat. Terlebih pada 1972, Ali Moertopo menggagas penyederhanaan partai politik, dwifungsi ABRI, dan pembatasan sosial-politik.

Kebijakan ini membelenggu gerakan mahasiswa, sehingga yang ada hanya pergerakan moral—tidak selantang gerakan progresif. Beberapa gerakan itu seperti Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974 yang dipelopori Dewan Mahasiswa UI.

Dalam Malari, protes mahasiswa meluas mempertanyakan kedekatan pemerintah dengan pengusaha etnis Tionghoa saja dan menolak investasi Jepang. Tetapi pergerakan itu diredam pada 19 Januari 1974, dengan tertangkapnya 18 aktivis.

Persitiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974. (Kompas)

Arief Budiman sebagai salah satu pemimpin pergerakan menulis—dikutip dari Novianto, bahwa sesudah 1974 masyarakat takut menyuarakan kritik.

Hal itu makin diperkuat dengan depolitisasi gerakan mahasiswa oleh Soeharto lewat SK Mendikbud No.0156 tahun 1978 tentang normalisasi kampus. Lalu ada pula SK No.37 tahun 1979 yang mengatur bentuk dan susunan organisasi kemahasiswaan yang bisa dikontrol ketat oleh pemerintah.

Gerakan mahasiswa progresif muncul di era akhir 1980-an sampai 1998, tulis Novianto. Mahasiswa belajar dari kesalahan dan kekalahan pasca 1965 yang terjerembab dalam gerakan moral yang terpisah dari kekuatan rakyat dan tidak memiliki basis yang kuat maupun luas.