"Metode gerakan dari BEM SI cenderung bersifat regresif, mereka gagal melihat siapa kawan yang harus dirangkul dan siapa musuh yang harus dilawan," tulis Novianto.
"Mereka masih menganggap bahwa wacana pembebasan sosial bagi rakyat tertindas bisa dilakukan tanpa melibatkan gerakan rakyat tertindas secara sadar."
Pada Sidang Rakyat, lagi-lagi Novianto mengkritik tuntutan mahasiswa yang meminta Joko Widodo dan Jusuf Kalla mundur. Pandangan revolusioner itu terpampang meletakkan analisis oligarki dan kapitalisme.
Mahasiswa hendak menurunkan Joko Widodo tetapi gagal menentukan siapa penggantinya, dan mencegah oligarki yang digadangkan tetap berkuasa.
Aksi mahasiswa juga terjadi pada 2019 dalam Reformasi Dikorupsi. Protes ini berlangsung di kota-kota besar seluruh Indonesia, dengan menolak beberapa UU, meminta mengesahkan RUU PKS untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual, hingga menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
Selanjutnya pun ada aksi Tolak Omnibus Law (UU Cipta Kerja) pada 2020 yang dinilai berdampak pada segala lini, seperti isu lingkungan, hingga mengabaikan kesejahteraan buruh.
Abdil Mughis, dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta mengkritik gerakan mahasiswa pasca Reformasi khususnya pada 2019. Ia menilai gerakan mahasiswa yang dilakukan hanyalah aktivisme borjuis.
Lantaran, pengorganisasian mahasiswa belum ada yang berbasis kelas, dan hanya membentuk LSM yang melunakkan tuntutan perubahan. Aksi Reformasi Dikorupsi dianggap cair dan tidak memiliki pemimpin, atau hanya sekadar menjadi kerumunan.
Mughis dalam Project Multatuli, menganggap gerakan mahasiswa kerap menyalahkan penguasa dan negara, tetapi kontradiktif dengan tuntutan yang berharap adanya budi baik penguasa.