Dari 1966 hingga 2020, Bagaimana Gerakan Mahasiswa Warnai Sejarah?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 1 Juli 2021 | 16:00 WIB
Mahasiswa berorasi menolak Omnibus Law pada 14 Agustus 2020. (Keenan Anoman Pasha)

Berdasarkan data Yayasan Insan Politika, jumlah protes mahasiswa melonjak sejak 1992. 71 aksi protes pada 1993, dan 111 pada 1994. Data itu belum termasuk pergerakan yang digabungkan dengan aksi buruh dan petani yang juga turut berkembang.

Saat terjadi konflik PDI (Partai Demokrasi Indonesia), 37 pimpinan anggota PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang mendukung Megawati ditangkap, termasuk Budiman Sudjatmiko. Akibatnya, PRD dilarang, dan aktivisnya bergerak lewat bawah tanah dengan memengaruhi gerakan-gerakan dan organisasi mahasiswa.

Meski demikian, gerakan mahasiswa yang sudah membesar belum juga bergerak bersama rakyat. Momentum pada krisis moneter 1997 membuat mereka muncul secara spontan, dan mulai memobilasasi massa dengan terus meningkat bersama rakyat.

Pada 20 Mei 1998, Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam VIII mengajak masyarakat Yogyakarta untuk tetap tidak terpancing kerusuhan. (Dwi Oblo)

Singkatnya, pada 21 Mei 1998 mahasiswa berhasil memaksa Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden. Mereka juga menduduki kantor DPR di Senayan dengan sesak beragam jas almamater mereka.

Pergerakan sebenarnya menolak Habibie yang menggantikan Soeharto, karena merupakan bagian kroni-korni Orde Baru. Tetapi mahasiswa yang konservatif dan moderat tetap mendukung transisi ini, yang masih menggunakan metode lama: gerakan moral.

Era Reformasi

Pasca Reformasi, aktivisme mahasiswa masih berlanjut. Pada 2007 misalnya, mahasiswa dari 37 peguruan tinggi mendirikan BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa - Seluruh Indonesia).

Pergerakan mahasiswa muncul pada periode pertama Soesilo Bambang Yudhoyono dengan Tujuh Gugatan Rakyat (Tugu Rakyat), dan aksinya diselenggarakan pada Mei 2008 di Istana Negara.

Tuntutan itu meminta pemerintah menasionalisasi aset startegis bangsa, mewujudkan pendidikan yang bermutu dan merata, menuntaskan kasus BLBI dan korupsi Soeharto bersama kroni-korninya, hingga isu lingkungan akibat lumpur Lapindo.

Mereka melanjutkannya pada Sidang Rakyat tahun 2014 ketika Presiden Joko Widodo bersama Jusuf Kalla baru memimpin. Mereka membawa tuntutan atas masalah yang terjadi di Indonesia, dengan hendak menghentikan kekuasaannya.

Kendati demikian, Novianto menulis gerakan BEM SI terlihat radikal dan militan. Tetapi, gerakan yang disebut Tugu Rakyat (2008), dan Sidang Rakyat (2014) memiliki kelemahan, yakni tidak melibatkan gerakan rakyat.