Dari 1966 hingga 2020, Bagaimana Gerakan Mahasiswa Warnai Sejarah?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 1 Juli 2021 | 16:00 WIB
Mahasiswa berorasi menolak Omnibus Law pada 14 Agustus 2020. (Keenan Anoman Pasha)

Nationalgeographic.co.id—Mahasiswa di seluruh dunia kerap menjadi kalangan masyarakat sipil yang melakukan partisipasi politik, selain buruh. Mereka biasanya adalah kelompok terpelajar yang melek politik, berserikat, berdiskusi atau berkonsolidasi, dan membuat kajian terkait situasi yang ada maupun untuk pergerakannya.

Semenjak Indonesia merdeka, mahasiswa memiliki kisah panjang pergerakannya. Keberadaan di masa Demokrasi Terpimpin, sektor pendidikan di Indonesia berkembang dan memunculkan banyak kalangan mahasiswa, dan mulai menguatkan afiliasinya dengan partai dan basis massa.

Afiliasi ini sudah terbentuk sejak kemerdekaan, saat Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) berafiliasi dengan Masyumi, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dengan PNI, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dengan PKI, dan Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) dengan PSI.

Arif Novianto dalam Pergulatan Gerakan Mahasiswa dan Kritik terhadap Gerakan Moral menulis, tahun 1950 hingga 1960-an adalah masa ketenangan politik relatif di kampus-kampus, dan kebanyakan mahasiswa bersifat hedonistik, elitis, dan apolitis. Banyak mahasiswa saat itu berasal dari kalangan atas dan membuat ideologi borjuis, sehingga minim pergerakan.

Angkatan 1965-1966

"Tetapi semua berubah pada 1965-1966," tulis Novianto. Uniknya, gerakan mahasiswa Indonesia saat itu berbeda dengan umumnya di Asia. Kampus-kampus di wilayah Asia masa itu tumbuh dan berkembang gerakan yang berbasis politik kiri dan komunis.

Sedangkan di Indonesia justru gerakan yang memberangus kalangan kiri, oleh sayap kanan yang anti-komunis dan anti-sukarnois. Bahkan, salah satu aktivis mahasiswa, Soe Hok Gie dan Arif Budiman lantang mengkritik pemerintahan Sukarno.

Selain itu, terbukti pada Oktober 1965 ada pertemuan di rumah Menteri Pendidikan Tinggi Brigjen Syarief Thayep, dan terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).

Soe Hok Gie, tokoh pergerakan mahasiswa 1966 berfoto bersama teman-temannya. (Public Domain)

Selanjutnya, mahasiswa bersama militer melakukan pergerakan politik dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura). Bahkan, demi mendulang dukungan, mahasiswa pada saat itu menerbitkan koran propaganda, seperti Angkatan 66Angkatan Baru, dan Harian Kami.

Novianto menulis, gerakan mahasiswa angkatan 66 dan militer itu adalah pergerakan kontra-revolusi. Karena pergerakan mereka melakukan penindasan massal terhadap jutaan orang dari organisasi kiri, dan memberangus gerak roda revolusi Indonesia. Akhirnya, Soeharto pun naik menjadi presiden.

  

Baca Juga: Sukarno Bukan Tanpa Cela, Berkali-Kali Dia Dikritik oleh Soe Hok Gie

Baca Juga: Aktivisme hingga Petualangan: Antara Gie, Pendakian, dan Semeru

Baca Juga: Studi Baru: Mahasiswa Menghindari Interaksi Sosial Saat Sedang Stres

Baca Juga: Terbuangnya Generasi Intelektual Indonesia Setelah Peristiwa 1965

Dari Malari 1974 hingga Reformasi 1998

Pasca kenaikan Soeharto, dan naiknya kekuatan militer, menumbuhkan gerakan kontra-revolusi karena pengekangan terjadi pada depolitisasi rakyat. Terlebih pada 1972, Ali Moertopo menggagas penyederhanaan partai politik, dwifungsi ABRI, dan pembatasan sosial-politik.

Kebijakan ini membelenggu gerakan mahasiswa, sehingga yang ada hanya pergerakan moral—tidak selantang gerakan progresif. Beberapa gerakan itu seperti Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974 yang dipelopori Dewan Mahasiswa UI.

Dalam Malari, protes mahasiswa meluas mempertanyakan kedekatan pemerintah dengan pengusaha etnis Tionghoa saja dan menolak investasi Jepang. Tetapi pergerakan itu diredam pada 19 Januari 1974, dengan tertangkapnya 18 aktivis.

Persitiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974. (Kompas)

Arief Budiman sebagai salah satu pemimpin pergerakan menulis—dikutip dari Novianto, bahwa sesudah 1974 masyarakat takut menyuarakan kritik.

Hal itu makin diperkuat dengan depolitisasi gerakan mahasiswa oleh Soeharto lewat SK Mendikbud No.0156 tahun 1978 tentang normalisasi kampus. Lalu ada pula SK No.37 tahun 1979 yang mengatur bentuk dan susunan organisasi kemahasiswaan yang bisa dikontrol ketat oleh pemerintah.

Gerakan mahasiswa progresif muncul di era akhir 1980-an sampai 1998, tulis Novianto. Mahasiswa belajar dari kesalahan dan kekalahan pasca 1965 yang terjerembab dalam gerakan moral yang terpisah dari kekuatan rakyat dan tidak memiliki basis yang kuat maupun luas.

Berdasarkan data Yayasan Insan Politika, jumlah protes mahasiswa melonjak sejak 1992. 71 aksi protes pada 1993, dan 111 pada 1994. Data itu belum termasuk pergerakan yang digabungkan dengan aksi buruh dan petani yang juga turut berkembang.

Saat terjadi konflik PDI (Partai Demokrasi Indonesia), 37 pimpinan anggota PRD (Partai Rakyat Demokratik) yang mendukung Megawati ditangkap, termasuk Budiman Sudjatmiko. Akibatnya, PRD dilarang, dan aktivisnya bergerak lewat bawah tanah dengan memengaruhi gerakan-gerakan dan organisasi mahasiswa.

Meski demikian, gerakan mahasiswa yang sudah membesar belum juga bergerak bersama rakyat. Momentum pada krisis moneter 1997 membuat mereka muncul secara spontan, dan mulai memobilasasi massa dengan terus meningkat bersama rakyat.

Pada 20 Mei 1998, Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam VIII mengajak masyarakat Yogyakarta untuk tetap tidak terpancing kerusuhan. (Dwi Oblo)

Singkatnya, pada 21 Mei 1998 mahasiswa berhasil memaksa Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden. Mereka juga menduduki kantor DPR di Senayan dengan sesak beragam jas almamater mereka.

Pergerakan sebenarnya menolak Habibie yang menggantikan Soeharto, karena merupakan bagian kroni-korni Orde Baru. Tetapi mahasiswa yang konservatif dan moderat tetap mendukung transisi ini, yang masih menggunakan metode lama: gerakan moral.

Era Reformasi

Pasca Reformasi, aktivisme mahasiswa masih berlanjut. Pada 2007 misalnya, mahasiswa dari 37 peguruan tinggi mendirikan BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa - Seluruh Indonesia).

Pergerakan mahasiswa muncul pada periode pertama Soesilo Bambang Yudhoyono dengan Tujuh Gugatan Rakyat (Tugu Rakyat), dan aksinya diselenggarakan pada Mei 2008 di Istana Negara.

Tuntutan itu meminta pemerintah menasionalisasi aset startegis bangsa, mewujudkan pendidikan yang bermutu dan merata, menuntaskan kasus BLBI dan korupsi Soeharto bersama kroni-korninya, hingga isu lingkungan akibat lumpur Lapindo.

Mereka melanjutkannya pada Sidang Rakyat tahun 2014 ketika Presiden Joko Widodo bersama Jusuf Kalla baru memimpin. Mereka membawa tuntutan atas masalah yang terjadi di Indonesia, dengan hendak menghentikan kekuasaannya.

Kendati demikian, Novianto menulis gerakan BEM SI terlihat radikal dan militan. Tetapi, gerakan yang disebut Tugu Rakyat (2008), dan Sidang Rakyat (2014) memiliki kelemahan, yakni tidak melibatkan gerakan rakyat.

"Metode gerakan dari BEM SI cenderung bersifat regresif, mereka gagal melihat siapa kawan yang harus dirangkul dan siapa musuh yang harus dilawan," tulis Novianto.

"Mereka masih menganggap bahwa wacana pembebasan sosial bagi rakyat tertindas bisa dilakukan tanpa melibatkan gerakan rakyat tertindas secara sadar."

Aksi mahasiswa (jas almamater biru muda) bersama buruh (seragam merah) pada penolakan Omnibus Law pada 8 Oktober 2020. (Keenan Anoman Pasha)

Pada Sidang Rakyat, lagi-lagi Novianto mengkritik tuntutan mahasiswa yang meminta Joko Widodo dan Jusuf Kalla mundur. Pandangan revolusioner itu terpampang meletakkan analisis oligarki dan kapitalisme.

Mahasiswa hendak menurunkan Joko Widodo tetapi gagal menentukan siapa penggantinya, dan mencegah oligarki yang digadangkan tetap berkuasa.

Aksi mahasiswa juga terjadi pada 2019 dalam Reformasi Dikorupsi. Protes ini berlangsung di kota-kota besar seluruh Indonesia, dengan menolak beberapa UU, meminta mengesahkan RUU PKS untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual, hingga menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.

Selanjutnya pun ada aksi Tolak Omnibus Law (UU Cipta Kerja) pada 2020 yang dinilai berdampak pada segala lini, seperti isu lingkungan, hingga mengabaikan kesejahteraan buruh.

Abdil Mughis, dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta mengkritik gerakan mahasiswa pasca Reformasi khususnya pada 2019. Ia menilai gerakan mahasiswa yang dilakukan hanyalah aktivisme borjuis.

Lantaran, pengorganisasian mahasiswa belum ada yang berbasis kelas, dan hanya membentuk LSM yang melunakkan tuntutan perubahan. Aksi Reformasi Dikorupsi dianggap cair dan tidak memiliki pemimpin, atau hanya sekadar menjadi kerumunan.

Mughis dalam Project Multatuli, menganggap gerakan mahasiswa kerap menyalahkan penguasa dan negara, tetapi kontradiktif dengan tuntutan yang berharap adanya budi baik penguasa.