Alam Pikiran Satwa

By , Senin, 2 Maret 2009 | 14:50 WIB

Pada tahun 1977 Irene Pepperberg yang baru lulus dari Harvard University melakukan sesuatu yang sangat berani. Pada masa ketika binatang masih dianggap berperilaku seperti robot, ia berupaya mencari tahu apa yang terdapat di dalam alam pikiran makhluk yang bukan manusia dengan mengajaknya berbicara. Ia membawa seekor burung betet abu-abu Afrika berusia satu tahun yang diberi nama Alex ke dalam laboratoriumnya untuk diajari cara meniru bunyi-bunyi dalam bahasa Inggris. ”Kupikir jika dia belajar cara berkomunikasi, aku dapat menanyakan padanya tentang bagaimana dia melihat dunia.”!break!

Ketika Pepperberg memulai dialognya dengan Alex yang mati September lalu pada usia 31 tahun, banyak ilmuwan meyakini bahwa binatang tidak memiliki kemampuan untuk berpikir, apapun. Binatang hanyalah mesin, robot yang terprogram untuk bereaksi terhadap rangsangan, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk berpikir. Namun, setiap pemilik binatang peliharaan pasti tidak menyetujuinya. Kita melihat cinta kasih dalam sorot mata anjing kita dan tahu bahwa, tentunya, si Bleki memiliki pikiran dan emosi. Hanya saja, klaim seperti itu tetap sangat kontroversial. Insting naluriah bukanlah ilmu pengetahuan dan adalah terlalu mudah untuk memeroyeksikan pikiran dan perasaan manusia pada makhluk lainnya. Lalu bagaimana caranya seorang ilmuwan membuktikan bahwa seekor binatang memiliki kemampuan untuk berpikir—bahwa binatang itu mampu menyerap informasi tentang dunia dan dapat bereaksi terhadapnya?

“Karena itulah aku memulai penelitianku dengan Alex,” kata Pepperberg. Keduanya tengah duduk— Pepperberg di meja kerjanya, dan Alex di atas sangkarnya— di dalam laboratorium, sebuah kamar tak berjendela yang berukuran kurang lebih sebesar mobil boks di Brandeis University. Surat kabar bertebaran di lantai; berkeranjang-keranjang mainan berwarna cerah ditata di atas rak. Jelas mereka merupakan sebuah tim—dan berkat kerjasama keduanya, buah pikiran bahwa binatang dapat berpikir menjadi tidak lagi terlalu khayali.

Keterampilan-keterampilan tertentu dianggap sebagai tanda-tanda penting akan kemampuan mental yang lebih tinggi: ingatan yang bagus, pemahaman akan tata bahasa dan simbol, kesadaran diri, pemahaman terhadap motif pihak lain, meniru perilaku pihak lain, dan bersikap kreatif. Sedikit demi sedikit, melalui berbagai eksperimen yang cerdas, para peneliti berhasil mendokumentasikan talenta-talenta tersebut pada spesies lainnya, yang secara bertahap mengikis kepercayaan kita mengenai apa yang membuat umat manusia berbeda sekaligus memberikan gambaran singkat mengenai asal muasal kemampuan kita. Burung scrub jay tahu bahwa jay-jay lainnya adalah pencuri dan makanan yang disembunyikan dapat membusuk; domba dapat mengenali wajah; simpanse menggunakan beragam alat untuk mengubek-ubek rumah rayap dan bahkan menggunakan senjata untuk berburu mamalia kecil; lumba-lumba dapat meniru sikap manusia; ikan sumpit yang membuat serangga bengong terkejut dengan semburan air yang tiba-tiba, dapat mempelajari cara membidik semprotannya hanya dengan menonton aksi ikan yang berpengalaman. Alex si burung betet secara mengejutkan menjadi seekor pembicara yang baik.

Tiga puluh tahun setelah studi terhadap Alex dimulai, Pepperberg dan asisten-asistennya yang silih berganti masih mengajari Alex bahasa Inggris. Orang-orang, bersama dua betet lainnya yang lebih muda, juga berfungsi sebagai kawanan Alex yang memberi masukan sosial yang diinginkan oleh semua burung betet. Seperti kawanan burung lainnya, kawanan ini—walaupun berjumlah kecil—memiliki drama tersendiri. Alex mendominasi rekan-rekan burung betetnya, terkadang mudah tersinggung di dekat Pepperberg, menenggang manusia perempuan lainnya, dan jatuh hati pada seorang asisten lelaki yang datang berkunjung (”Andai kau lelaki,” kata Pepperberg, setelah menyadari sikap Alex yang dingin terhadapku, ”dalam sekejab ia pasti hinggap di pundakmu, memuntahkan kacang mede di telingamu.”).

Pepperberg membeli Alex di sebuah toko hewan peliharaan di Chicago. Ia membiarkan asisten toko memilih si betet karena tak ingin ilmuwan lainnya berkata di kemudian hari bahwa ia dengan sengaja telah memilih seekor burung yang cerdas untuk pekerjaannya. Dengan ukuran otak Alex yang sebesar biji kenari, kebanyakan peneliti berpendapat bahwa studi komunikasi antarspesiesnya Pepperberg bakal tak berguna.!break!

”Beberapa orang sesungguhnya menyebut saya gila karena berupaya melakukan hal ini,” katanya. ”Para ilmuwan menganggap simpanse sebagai subjek yang lebih baik, walaupun tentunya, monyet tidak dapat berbicara.”

Simpanse, bonobo, dan gorila pernah diajar menggunakan bahasa isyarat dan simbol untuk berkomunikasi dengan kita, seringkali dengan hasil yang mengesankan. Kanzi si bonobo, contohnya, membawa-bawa papan simbol komunikasinya sehingga ia dapat ”berbicara” dengan peneliti-peneliti manusianya dan Kanzi telah menciptakan kombinasi simbol untuk mengekspresikan pikirannya. Meski demikian, hal ini tidaklah sama dengan menjumpai seekor binatang yang menengadah kepadamu, membuka mulut, dan berbicara. Pepperberg berjalan ke bagian belakang ruangan, ke tempat Alex bertengger di atas sangkarnya sambil merapikan bulu abu-abu mutiaranya. Betet jantan itu berhenti ketika didatangi kemudian membuka paruhnya.

”Mau anggur,” kata Alex.”Ia belum sarapan pagi,” kata Pepperberg menjelaskan, ”jadi ia sedikit kesal.”

Alex kembali merapikan bulunya, sementara seorang asisten menyiapkan semangkuk anggur, kacang polong, irisan apel dan pisang, serta jagung sebonggol. Di bawah perlindungan Pepperberg yang sabar, Alex belajar menggunakan sistem organ suaranya untuk meniru hampir seratus kata bahasa Inggris, termasuk bunyi untuk semua jenis makanan tersebut, walaupun ia menyebut sebuah apel dengan ”ban-eri”.

”Apel terasa sedikit seperti pisang baginya, dan apel tampak seperti buah ceri, maka Alex menciptakan kata itu untuk apel,” kata Pepperberg. Alex dapat berhitung hingga angka enam dan tengah mempelajari bunyi untuk angka tujuh dan delapan.

”Saya yakin ia sudah mengetahui kedua angka tersebut,” kata Pepperberg. ”Ia mungkin sudah mampu berhitung hingga sepuluh, tetapi masih belajar untuk mengucapkan kata-kata tersebut. Butuh waktu yang lebih banyak dari yang saya bayangkan untuk mengajarinya bunyi-bunyi tertentu.”!break!

Setelah sarapan, Alex merapikan bulunya lagi, sambil mengawasi anggota kawanannya. Beberapa waktu sekali, ia menyorongkan tubuh dan membuka paruhnya: ”Ssse...won.”