”Bagus, Alex,” ujar Pepperberg. ”Tujuh. Angka tujuh.””Ssse...won! Se... won!””Ia sedang berlatih,” kata Pepperberg menjelaskan. ”Begitulah cara dia belajar. Ia sedang memikirkan cara mengucapkan kata itu, bagaimana menggunakan sistem organ suaranya untuk menghasilkan bunyi yang tepat.”
Gagasan mengenai seekor burung yang mendapatkan mata pelajaran untuk berlatih dan melakukannya secara sukarela terdengar agak gila. Namun setelah mendengarkan dan memperhatikan Alex, sulit untuk mendebat penjelasan Pepperberg mengenai sikap burung betet tersebut. Ia tidak memberinya hadiah untuk pekerjaan repetitif tersebut ataupun memukuli cakarnya agar ia mengucapkan bunyi-bunyian itu.
”Ia harus mendengar kata-kata tersebut berulang kali sebelum ia dapat menirunya dengan benar,” kata Pepperberg setelah mengucapkan kata ”tujuh” kepada Alex sedikitnya dua belas kali berturut-turut. ”Saya tidak berusaya mengetahui apakah Alex dapat mempelajari bahasa manusia,” katanya menambahkan. ”Bukan itu tujuan saya. Rencana saya sejak dulu adalah untuk menggunakan kemampuan menirunya agar lebih memahami kognisi unggas.”
Dengan kata lain, karena Alex mampu menghasilkanbunyi-bunyian yang menyerupai beberapa kata bahasa Inggris, Pepperberg dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan mengenai pemahaman mendasar dari seekor burung terhadap dunia. Ia tidak dapat bertanya kepada Alex tentang apa yang dipikirkannya, tetapi ia dapat bertanya tentang pengetahuannya akan angka, bentuk, dan warna. Sebagai contoh, Pepperberg membawa Alex di lengannya menuju tenggeran kayu tinggi yang terletak di tengah-tengah ruangan. Ia kemudian mengambil sebuah kunci hijau dan sebuah cangkir hijau kecil dari dalam sebuah keranjang di atas rak. Ia menunjukkan kedua benda tersebut di depan mata Alex. !break!
”Apa yang sama?” tanyanya. Tanpa ragu, paruh Alex membuka:”Co-lor.””Apa yang beda?” tanya Pepperberg.”Shape,” kata Alex. Suaranya memiliki sentuhan suara digital tokoh kartun. Karena burung betet tidak memiliki bibir (alasan lain yang menjelaskan mengapa menjadi sulit bagi Alex untuk mengucapkan beberapa bunyi, seperti ba), kata-kata tersebut seakan keluar dari udara di sekitarnya, seperti ventriloquist (orang yang dapat berbicara tanpa menggerakkan bibir) yang sedang berbicara. Namun kata-kata tersebut—dan satu-satunya yang bisa dianggap sebagai pikirannya—merupakan milik Alex sepenuhnya.
Selama 20 menit berikutnya, Alex menjalani ujian-ujiannya, membedakan warna, bentuk, ukuran, dan materi (wol versus kayu versus logam). Ia melakukan beberapa perhitungan aritmatika sederhana, seperti menghitung jumlah balok mainan berwarna kuning di antara tumpukan balok aneka warna. Kemudian, seakan ingin menunjukkan bukti terakhir yang tersimpan di dalam otak burungnya, Alexberujar keras.
”Bicara yang jelas!” perintahnya, ketika salah satu burung yang lebih muda, yang tengah diajari Pepperberg, salah mengucapkan kata hijau. ”Bicara yang jelas!” ”Jangan sok tahu,” kata Pepperberg sambil menggelengkan kepala padanya. ”Ia sudah mengetahui semua ini dan ia menjadi bosan sehingga mengganggu yang lain, atau ia memberi jawaban yang salah hanya karena keras kepala.
Pada tahap ini, ia seperti anak lelaki remaja; suasana hatinya mudah berubah dan aku tidak pernah yakin apa yang akan dilakukannya kemudian.””Mau ke pohon,” Alex berucap pelan.
Alex telah menghabiskan seluruh masa hidupnya dalam penangkaran, tetapi ia tahu bahwa di balik pintu laboratorium, terdapat sebuah lorong dan jendela tinggi yang membingkai sebuah pohon ulmus yang rimbun. Alex senang melihat pohon itu, maka Pepperberg menyodorkan lengannya agar dapat dinaiki si betet. Ia berjalan bersama Alex menyusuri lorong menuju cahaya hijau pohon. ”Anak baik! Burung baik,” kata Alex sambil menaik-turunkan kepalanya dari atas lengan Pepperberg.”Ya, kau anak yang baik. Kau burung yang baik.” Pepperberg pun mencium kepala Alex yang berbulu. Alex tetap menjadi burung yang baik hingga akhir hayatnya, dan Pepperberg dengan bangga melaporkan bahwa ketika mati, Alex telah berhasil menguasai ”tujuh.”!break!
Sebagian besar kemampuan kognitif Alex, seperti kemampuannya untuk memahami konsep persamaan dan perbedaan, pada umumnya hanya terdapat pada mamalia pada tingkat yang lebih tinggi, khususnya primata. Namun burung betet, seperti halnya kera besar (dan manusia), hidup dalam jangka waktu yang lama di dalam masyarakat yang kompleks. Seperti primata, betet harus bisa mengikuti dinamika perubahan antarrelasi dan lingkungan.
”Mereka harus mampu membedakan warna agar dapat mengetahui kapan buah matang atau belum,” catat Pepperberg. ”Mereka perlu mengelompokkan hal-hal tertentu—apa yang dapat dimakan, apa yang tidak—dan untuk mengetahui bentuk-bentuk predator. Hal itu juga membantu memahami konsep bilangan jika Anda harus mengikuti kawananmu dan untuk mengetahui siapa yang lajang dan siapa yang sudah berpasangan. Untuk burung yang memiliki usia panjang, Anda tidak dapat melakukan semuanya ini dengan menggunakan naluri; kognisi juga harus dilibatkan.”
Kemampuan secara mental untuk membagi dunia ke dalam berbagai kelompok abstrak yang sederhana, tampaknya merupakan keterampilan yang sangat berharga bagi banyak organisme. Lalu, apakah kemampuan itu, kemudian, merupakan bagian dari dorongan evolusioner yang menghasilkan inteligensia manusia?