Kekeringan Australia

By , Senin, 6 April 2009 | 13:43 WIB

Iklim telah berkhianat.

Di suatu tempat di Australia tenggara, duduklah seorang lelaki di dalam mobil bak terbuka yang berhenti di tepi jalan, merenungkan berbagai bentuk kekeringan yang melanda dunianya.Dua bentuk kekeringan yang paling nyata terpampang jelas di hadapannya. Tak jauh dari mobil tersebut, ternak sapi perah milik si lelaki tengah merumput di pinggir jalan. Semua sapi muda miliknya sehat, meski cuma berjumlah 70 ekor, dan meski lima tahun silam, si lelaki punya hampir 500 ekor. Sapi-sapi muda itu merumput di sepanjang jalan umum—”tidak sepenuhnya legal,” kata si lelaki karena tidak sejumput rumput pun yang tersisa di lahan peternakannya. Tanahnya kini menjadi gurun bersemak. Ia sudah tidak mampu lagi membeli jawawut dan itu menjadi bukti nyata akan kesedihan yang lain, yaitu saldo uangnya seperti yang terpampang pada komputer laptop yang tergeletak di dashboard mobil. Lelaki yang tidak pernah kaya, tetapi juga tidak pernah miskin tersebut telah menumpuk utang ratusan ribu dolar. Sapi-sapi yang dia pandangi lewat kaca depan mobil—tinggal itu sajalah pemasukan yang ia miliki.!break!

Nama si lelaki adalah Malcom Adlington yang sudah menjadi peternak sapi perah sepanjang 36 tahun dari 52 tahun usianya. Sebagai peternak, dia selalu bangun pukul lima pagi untuk melakukan pemerahan pertama di awal hari. Belum lama ini, Adlington juga terbiasa menantikan sebuah ritual yang disebut “kunjungan ke peternakan sapi perah”. Itu adalah kegiatan di mana petugas pertanian negara bagian kerap mengumpulkan peternak sapi perah lokal untuk diajak mengunjungi sebuah peternakan percontohan. Seringkali yang dipilih adalah peternakan Adlington, sebuah usaha kecil yang makmur di luar kota Barham, New South Wales. Para peternak biasanya mempelajari sapi-sapi muda Adlington yang gemuk. Mereka menanyakan pekarangan rumput penghasil jerami yang subur—yang menggunakan benih dan pupuk pilihan Adlington—dan dengan senang hati Adlington berbagi informasi dengan keyakinan bahwa mereka akan menirunya. Itulah jiwa berternak dan jiwa Australia. Siapa pun dapat bebas bereksperimen, membeberkan strategi beternaknya, dengan kepercayaan diri bahwa kerja keras dan kecerdasan akan memberikan hasil yang terbaik.

”Hal itu berlaku sebelum kekeringan terjadi,” kata Adlington. Satu dekade lalu, Adlington mempekerjakan lima buruh. ”Kini tinggal saya dan istri saja. Dalam tiga tahun terakhir ini pada dasarnya kami tidak mendapatkan air. Itulah yang mematikan kami,” katanya.

Sesungguhnya air itu ada. Alirannya dapat terlihat di bawah jembatan utama, dua kilometer kurang dari tempat mobil Adlington diparkir. Itulah Kanal Besar Selatan, sebuah saluran irigasi yang berpangkal dari Sungai Murray Australia yang legendaris. Murray bersama Sungai Darling dan aliran-aliran sungai lainnya menjadi sumber air bersih bagi ibu kota Australia Selatan Adelaide dan menyediakan 65 persen dari total air yang digunakan oleh pertanian negeri itu. Adlington punya izin untuk menyedot 1.035 megaliter air per tahun dari sistem Sungai Murray-Darling. Masalahnya adalah sumber air tersebut telah dijanjikan kepada terlalu banyak pihak: kota Adelaide, peternakan-peternakan raksasa milik korporasi, serta lahan-lahan basah yang dilindungi. Oleh karena itu dalam tiga tahun terakhir, pemerintah New South Wales melarang Adlington mengambil barang setetes air pun. Dia tetap harus membayar jatah airnya, cuma saja dia tak bisa menggunakannya. Tidak, hingga bencana kekeringan berakhir. Sementara itu, dia terus menjual ternaknya yang berharga.”Gampang saja untuk depresi,” ucap Adlington tenang. Suaranya datar. Kekeringan tidak sekadar menguras habis tanahnya. Dia kerap mendapati dirinya bertengkar dengan sang istri Marianne dan meneriaki anak-anaknya. Ia tidak lagi mampu membeli bensin untuk membawa Marianne ke kota seperti biasa. Dengan bangkrutnya rumah-rumah peternakan lainnya, tempat tinggal teman sebaya yang dapat diajak anak lelakinya bermain berjarak 15 kilometer. Itu yang terdekat.

Adlington telah mengumumkan, bahwa tanah milik keluarganya dijual. ”Belum seorang pun yang datang untuk melihat,” katanya. Tentu langkah tersebut bukanlah pilihan utama. Seorang Adlington tidak mungkin mengharapkan hal tersebut. Namun. pernahkah ayah atau kakeknya menghadapi bencana kekeringan selama tujuh tahun?!break!

Seingat Adlington, tiga tahun yang kerontang telah berlalu sejak kegiatan kunjungan ke peternakan yang terakhir dilangsungkan. Sebagai gantinya, digelar aneka kegiatan pendorong moral dengan tajuk yang optimis seperti “Mengatasi Masa Sulit” atau “Hari Rekreasi Lelaki”—atau “Hari Pemanjaan” yang kebetulan tengah diikuti oleh istri Adlington hari ini. Pada “Hari Pemanjaan”, sejumlah perempuan tani mendapatkan pijat, pedikur, dan saran tata rambut secara gratis. Seorang pegawai negeri bidang penanggulangan kekeringan menyuguhi mereka teh dan mendorong mereka untuk membicarakan hal-hal yang ada di pikiran masing-masing. Semuanya mengisahkan babak-babak yang berbeda dari cerita yang sama.

”Sudah dua tahun berlalu tanpa hasil panen.”

”Peternakan keluargaku sudah hampir ambruk.”

”Kami telah menjual hampir semua ternak domba kami—hewan-hewan cantik yang telah 20 tahun kami miliki.”

”Setiap malam ketika berbaring di tempat tidur, aku tak sanggup mendengarkan ternak kami melenguh kelaparan.”

Namun, pertemuan-pertemuan yang paling pedih tidak tampak oleh khalayak. Salah satunya berlangsung di sebuah rumah peternakan sederhana di dekat Swan Hill. Seorang aparat penyuluh keuangan desa duduk di meja dapur, menasihati seorang petani buah separuh baya dan istrinya agar mereka menyatakan diri bangkrut karena utang telah melebihi nilai peternakan, sementara badai es telah merusak panen mereka baru-baru ini.Sambil menggandeng tangan istrinya dan air mata berlinangan, si petani terbata-bata menyampaikan beberapa kata: ”Saya sama sekali tidak punya apa pun untuk melanjutkan ini semua.”

Si istri mengatakan bahwa setiap beberapa jam sekali ia memeriksa untuk memastikan bahwa suaminya tidak tergeletak di kebun buah dengan luka tembakan sendiri di kepala. Ketika rapat berakhir, si penyuluh mencatat nama keduanya dalam daftar pengawasan bunuh diri.