Iklim telah berkhianat.
Di suatu tempat di Australia tenggara, duduklah seorang lelaki di dalam mobil bak terbuka yang berhenti di tepi jalan, merenungkan berbagai bentuk kekeringan yang melanda dunianya.Dua bentuk kekeringan yang paling nyata terpampang jelas di hadapannya. Tak jauh dari mobil tersebut, ternak sapi perah milik si lelaki tengah merumput di pinggir jalan. Semua sapi muda miliknya sehat, meski cuma berjumlah 70 ekor, dan meski lima tahun silam, si lelaki punya hampir 500 ekor. Sapi-sapi muda itu merumput di sepanjang jalan umum—”tidak sepenuhnya legal,” kata si lelaki karena tidak sejumput rumput pun yang tersisa di lahan peternakannya. Tanahnya kini menjadi gurun bersemak. Ia sudah tidak mampu lagi membeli jawawut dan itu menjadi bukti nyata akan kesedihan yang lain, yaitu saldo uangnya seperti yang terpampang pada komputer laptop yang tergeletak di dashboard mobil. Lelaki yang tidak pernah kaya, tetapi juga tidak pernah miskin tersebut telah menumpuk utang ratusan ribu dolar. Sapi-sapi yang dia pandangi lewat kaca depan mobil—tinggal itu sajalah pemasukan yang ia miliki.!break!
Nama si lelaki adalah Malcom Adlington yang sudah menjadi peternak sapi perah sepanjang 36 tahun dari 52 tahun usianya. Sebagai peternak, dia selalu bangun pukul lima pagi untuk melakukan pemerahan pertama di awal hari. Belum lama ini, Adlington juga terbiasa menantikan sebuah ritual yang disebut “kunjungan ke peternakan sapi perah”. Itu adalah kegiatan di mana petugas pertanian negara bagian kerap mengumpulkan peternak sapi perah lokal untuk diajak mengunjungi sebuah peternakan percontohan. Seringkali yang dipilih adalah peternakan Adlington, sebuah usaha kecil yang makmur di luar kota Barham, New South Wales. Para peternak biasanya mempelajari sapi-sapi muda Adlington yang gemuk. Mereka menanyakan pekarangan rumput penghasil jerami yang subur—yang menggunakan benih dan pupuk pilihan Adlington—dan dengan senang hati Adlington berbagi informasi dengan keyakinan bahwa mereka akan menirunya. Itulah jiwa berternak dan jiwa Australia. Siapa pun dapat bebas bereksperimen, membeberkan strategi beternaknya, dengan kepercayaan diri bahwa kerja keras dan kecerdasan akan memberikan hasil yang terbaik.
”Hal itu berlaku sebelum kekeringan terjadi,” kata Adlington. Satu dekade lalu, Adlington mempekerjakan lima buruh. ”Kini tinggal saya dan istri saja. Dalam tiga tahun terakhir ini pada dasarnya kami tidak mendapatkan air. Itulah yang mematikan kami,” katanya.
Sesungguhnya air itu ada. Alirannya dapat terlihat di bawah jembatan utama, dua kilometer kurang dari tempat mobil Adlington diparkir. Itulah Kanal Besar Selatan, sebuah saluran irigasi yang berpangkal dari Sungai Murray Australia yang legendaris. Murray bersama Sungai Darling dan aliran-aliran sungai lainnya menjadi sumber air bersih bagi ibu kota Australia Selatan Adelaide dan menyediakan 65 persen dari total air yang digunakan oleh pertanian negeri itu. Adlington punya izin untuk menyedot 1.035 megaliter air per tahun dari sistem Sungai Murray-Darling. Masalahnya adalah sumber air tersebut telah dijanjikan kepada terlalu banyak pihak: kota Adelaide, peternakan-peternakan raksasa milik korporasi, serta lahan-lahan basah yang dilindungi. Oleh karena itu dalam tiga tahun terakhir, pemerintah New South Wales melarang Adlington mengambil barang setetes air pun. Dia tetap harus membayar jatah airnya, cuma saja dia tak bisa menggunakannya. Tidak, hingga bencana kekeringan berakhir. Sementara itu, dia terus menjual ternaknya yang berharga.”Gampang saja untuk depresi,” ucap Adlington tenang. Suaranya datar. Kekeringan tidak sekadar menguras habis tanahnya. Dia kerap mendapati dirinya bertengkar dengan sang istri Marianne dan meneriaki anak-anaknya. Ia tidak lagi mampu membeli bensin untuk membawa Marianne ke kota seperti biasa. Dengan bangkrutnya rumah-rumah peternakan lainnya, tempat tinggal teman sebaya yang dapat diajak anak lelakinya bermain berjarak 15 kilometer. Itu yang terdekat.
Adlington telah mengumumkan, bahwa tanah milik keluarganya dijual. ”Belum seorang pun yang datang untuk melihat,” katanya. Tentu langkah tersebut bukanlah pilihan utama. Seorang Adlington tidak mungkin mengharapkan hal tersebut. Namun. pernahkah ayah atau kakeknya menghadapi bencana kekeringan selama tujuh tahun?!break!
Seingat Adlington, tiga tahun yang kerontang telah berlalu sejak kegiatan kunjungan ke peternakan yang terakhir dilangsungkan. Sebagai gantinya, digelar aneka kegiatan pendorong moral dengan tajuk yang optimis seperti “Mengatasi Masa Sulit” atau “Hari Rekreasi Lelaki”—atau “Hari Pemanjaan” yang kebetulan tengah diikuti oleh istri Adlington hari ini. Pada “Hari Pemanjaan”, sejumlah perempuan tani mendapatkan pijat, pedikur, dan saran tata rambut secara gratis. Seorang pegawai negeri bidang penanggulangan kekeringan menyuguhi mereka teh dan mendorong mereka untuk membicarakan hal-hal yang ada di pikiran masing-masing. Semuanya mengisahkan babak-babak yang berbeda dari cerita yang sama.
”Sudah dua tahun berlalu tanpa hasil panen.”
”Peternakan keluargaku sudah hampir ambruk.”
”Kami telah menjual hampir semua ternak domba kami—hewan-hewan cantik yang telah 20 tahun kami miliki.”
”Setiap malam ketika berbaring di tempat tidur, aku tak sanggup mendengarkan ternak kami melenguh kelaparan.”
Namun, pertemuan-pertemuan yang paling pedih tidak tampak oleh khalayak. Salah satunya berlangsung di sebuah rumah peternakan sederhana di dekat Swan Hill. Seorang aparat penyuluh keuangan desa duduk di meja dapur, menasihati seorang petani buah separuh baya dan istrinya agar mereka menyatakan diri bangkrut karena utang telah melebihi nilai peternakan, sementara badai es telah merusak panen mereka baru-baru ini.Sambil menggandeng tangan istrinya dan air mata berlinangan, si petani terbata-bata menyampaikan beberapa kata: ”Saya sama sekali tidak punya apa pun untuk melanjutkan ini semua.”
Si istri mengatakan bahwa setiap beberapa jam sekali ia memeriksa untuk memastikan bahwa suaminya tidak tergeletak di kebun buah dengan luka tembakan sendiri di kepala. Ketika rapat berakhir, si penyuluh mencatat nama keduanya dalam daftar pengawasan bunuh diri.
Kembali ke Barham, Adlington duduk sendiri di mobilnya yang tak ke mana-mana—menyaksikan ternaknya yang berkurang, padang rumputnya berganti menjadi gurun bersemak. Yang dapat ia lakukan hanyalah menonton.
Benua terkering di dunia yang dihuni manusia itu tengah dalam bahaya kekurangan air. Di luar fakta sederhana tersebut, tak ada yang tegas-tegas menunjukkan krisis air di Australia. Walau warga Australia selalu bisa melewati periode-periode musim kemarau, kekeringan selama tujuh tahun ini adalah yang paling mengenaskan dalam catatan sejarah negeri itu selama 117 tahun. Bagi banyak pihak, pola hujan yang tidak menentu menandakan jejak buruk perubahan iklim yang disebabkan ulah manusia. !break!
Secara luas, pemanasan global diyakini meningkatkan frekuensi dan keparahan bencana alam seperti kekeringan. Hal yang tak terbantahkan menurut ilmuwan lingkungan asal Australia Tim Kelly adalah, ”dalam 15 tahun terakhir kita mengalami kenaikan suhu sebesar tiga per empat derajat Celsius dan itu memicu penguapan yang lebih banyak dari air kita. Itulah perubahan iklim.”
Australia perlu waktu untuk menyadari kenyataan tersebut. Lagipula, negeri tersebut telah digarap oleh orang-orang optimistis yang tidak takut menjalani kehidupan di salah satu lanskap paling tidak subur di Bumi. Ilmuwan Australia Tim Flannery menyebutnya ”ekosistem bernutrisi rendah” dengan tanah yang menjadi tua dan tidak subur karena tidak pernah tercampur gletser dalam beberapa juta tahun terakhir. Orang-orang Eropa yang menuruni lembah Sungai Murray-Darling—sebuah dataran semiarid yang luasnya sekitar separuh luas daratan Indonesia—terbuai oleh serangkaian tahun yang basah di pertengahan abad ke-19 dan itu membuat mereka berpikir telah menemukan taman firdaus masa kini. Mengikuti kebiasaan di tanah asal, para pemukim kemudian menebangi sekitar 15 miliar batang pohon. Tanpa menyadari bahwa pencabutan akar vegetasi yang bagus adaptasinya di kondisi gersang bakal mengganggu siklus air, penghuni Australia yang baru itu pun mendatangkan domba, sapi, dan tanaman pangan yang rakus air, praktis semuanya asing terhadap ekosistem gurun. Penggarapan lahan tak berkesudahan untuk mendorong berkah baru Australia itu semakin mengurangi kualitas tanah.Lalu, sungai menjadi tali penyelamat bagi kawasan tersebut. Sungai Murray yang mengalir sepanjang 2.530 kilometer juga memiliki makna mitologis, yaitu menjadi simbol atas berbagai kemungkinan yang tak terbatas. Dari hulunya di pegunungan Alpen Australia hingga muaranya di Samudra Hindia.
Kemajuan, bagi warga Australia, melibatkan pembelokan Sungai Murray sesuai keinginan mereka. Dalam satu abad terakhir, Sungai Murray telah dimekanisasi oleh sebuah armada yang terdiri atas bendungan, pintu air, dan tanggul sehingga aliran sungai dapat memberi keuntungan maksimal kepada para petani yang menggantungkan irigasi mereka pada Lembah Sungai Murray-Darling.
Akibatnya, menurut mantan menteri persemakmuran bidang pengairan Malcolm Turnbull, “Kami memiliki lingkungan yang tidak alami di sungai. Akibat pengaturannya, sungai tersebut kini mengalir deras ketika alam seharusnya mengalirkannya pelan, dan mengalir pelan ketika alam semestinya mengalirkannya deras.” Manipulasi tersebut punya konsekuensi yang tidak diharapkan. Irigasi membuat tingkat salinitas melonjak, sebaliknya meracuni lahan-lahan basah dan mengubah daratan luas menjadi tidak cocok untuk ditanami.
Begitulah kondisi persediaan air yang rapuh di Australia, bahkan sebelum kekeringan menghantam seperti godam. Krisis tersebut membuat negara-negara bagian saling berhadap-hadapan, kota besar lawan wilayah pedesaan, penata lingkungan lawan petugas irigasi, dan pertanian kecil lawan pertanian raksasa yang didukung pemerintah dalam persaingan ketat memperebutkan komoditas yang menyusut. Di balik kenyataan bahwa kawasan Lembah Sungai Murray-Darling merupakan daerah penghasil gandum nasional, setiap wilayah permukiman besar telah menghadapi cengkeraman pengetatan air.!break!
Di saat krisis air muncul, yang dulu dikenal sebagai “keangkuhan Australia” kini berubah menjadi seperti “tahapan duka”, begitu istilah kondang dari psikiater Swiss Elisabeth Kubler-Ross. Istilah itu mencakup pengingkaran, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Dalam kondisi yang menjadi sebuah peringatan bagi negara-negara maju lainnya itu, Australia, negeri dengan perekonomian terbesar ke-15 di dunia, sedang belajar tentang batas-batas sumber daya alam di era perubahan iklim. Berita baiknya adalah Australia mungkin akan menjadi pihak yang memberikan pelajaran tersebut kepada negara-negara industri lainnya.
Di distrik Riverland di Australia Selatan, seorang lelaki berusia 48 tahun mengemudikan buldoser melalui kebun jeruknya, merobohkan 800 pohon jeruk valencia dan navel miliknya. Lelaki itu tahu apa yang sedang dia kerjakan. Selama puluhan tahun Sungai Murray yang besar telah mengubah tanah tersebut menjadi perkebunan zaitun, jeruk, aprikot, dan alpukat nan subur.
Namun, kini para pejabat pengairan telah mengumumkan bahwa warga Australia Selatan hanya boleh menggunakan 16 persen dari jatah air tahunan mereka. Maka Mick Punturiero, seorang petani generasi ketiga keturunan Italia menentukan pilihan yang berat: dia memilih untuk mengorbankan pohon-pohon jeruknya dan menyimpan air yang dia miliki demi kebun limaunya yang berharga.
Dua bulan kemudian, Punturiero masih dibalut murka ketika menuangkan jus limau buatannya untuk seorang tamu, lalu dia menghempaskan tubuh besarnya di atas kursi. Mengapa mereka membutuhkan waktu begitu lama untuk menyadari adanya krisis air ini? Begitu tuntut Punturiero. ”Ayo kita datangi rumah MEREKA! Beritahu mereka, anak yang mana yang harus MEREKA korbankan untuk menyelamatkan seluruh keluarga! Ayo kita taruh keluarga MEREKA di batang pohon jeruk!”
Ia menghela napas panjang. ”Saya sangat kesal jika membicarakan masalah ini. Saya menjadi amat, sangat, SANGAT terganggu. Pada akhirnya, solusi yang diambil hanya berakhir pada kejahatan,” kata Punturiero. Jika diminta untuk menjelaskan kejahatan dan pelaku-pelakunya, Mick Punturiero jadi tampak meragukan. Dia banyak menyalahkan aparat yang mendorong pembangunan pertanian hingga melebihi batas keberlanjutan. Bahkan saat berefleksi, dia tidak mempertimbangkan kemungkinan bahwa masalah tersebut ditimbulkan oleh kesalahan dalam menanam jeruk di sisi ”garis” yang salah. !break!
Nama garis tersebut adalah Garis Goyder yang merupakan sebuah batas yang menandai ujung wilayah berkecukupan curah hujan bagi tanaman pangan di Australia Selatan. Pada tahun 1865, seorang penyigi bernama George Goyder melakukan perjalanan luar biasa dengan menunggang kuda untuk melacak titik lokasi di mana tanah rerumputan berubah menjadi tanah gersang bersemak. Para pemukim di Australia bergantung pada Garis Goyder untuk membedakan tanah subur dengan tanah yang tidak cocok untuk pertanian. Kecuali, ketika mereka tidak melakukannya. Contohnya adalah kawasan Renmark yang terletak di sisi Garis Goyder yang salah. Namun, hal tersebut tidak menghentikan dua lelaki bersaudara dari Kanada bernama Chaffey untuk mengembangkan sistem irigasi di Renmark, dua dekade setelah peringatan si penyigi.
Kenyataannya, pada masa itu Chaffey bersaudara sudah 30 tahun lebih maju dari zamannya. Saat itu, Pemerintah Australia meresmikan skema ”permukiman tentara” pertamanya pasca Perang Dunia I dengan memberikan tanah, air, dan mesin pertanian kepada para veteran. Puluhan tahun kemudian, kebun buah, anggur, dan ladang gandum secara ajaib bermunculan di wilayah-wilayah yang dahulunya merupakan gurun bersemak di utara Garis Goyder.
Kanal demi kanal digali untuk mengalirkan air Sungai Murray ke lahan pertanian yang baru—dan kemudian ke distrik-distrik irigasi nan tersebar luas yang diperuntukkan bagi industri beras yang mulai tumbuh (dan sangat rakus air). Pada awal 1970-an, Australia adalah salah satu eksportir utama jenis tanaman pangan tersebut. Lobi pertaniannya muncul sebagai kekuatan politik yang menggentarkan dan pemerintah mulai menjual izin pengairan kepada siapa pun yang ingin menjadi tuan atas dirinya sendiri dan tidak akan mengeluh jika sesekali kekeringan melanda.
Dalam waktu singkat, Sungai Murray mulai menyusut dan salinitas di tanah-tanah lapang mulai meningkat. Malangnya, resep yang ada cuma membuat penyakit jadi meluas. Teknologi irigasi antibocor mengakibatkan jumlah air yang kembali ke ekosistem menjadi semakin sedikit.!break!
Di samping itu, alat penyaring garam bisa melindungi pangan dari keracunan, tetapi harus melalui proses pemompaan air yang tak terbatas. Akhirnya pada 1995, Komisi Lembah Sungai Murray–Darling menerbitkan pembatasan jumlah air yang boleh dipompa dari sungai oleh tiap negara bagian. Namun, konsumsi yang berlebihan itu tidaklah berakhir. Para petani yang memiliki hak atas air, tetapi tidak pernah memanfaatkannya mulai menjual ”lisensi tidur”-nya kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Para industrialis ditawari insentif pajak dalam menciptakan perkebunan-perkebunan super yang memperkenalkan kebun zaitun dan almond yang luas di lembah sungai.
Sementara itu, pemerintah New South Wales dan Queensland terus mengabaikan pembatasan pengambilan air dan terus memberi surat izin. ”Meningkatnya penyaluran air dari Sungai Murray pada akhir 1990-an mirip seperti para peminum di bar. Pramusaji bar mengumumkan, ’Pesanan terakhir, tuan-tuan.’ Semua orang pun bergegas minum sebanyak mungkin sebelum mereka ditendang keluar,” ujar Malcolm Turnbull.
Satu dekade silam, Mick Punturiero berhasil menjadi penghasil jeruk limau terbesar di Australia Selatan dan dia telah melakukan semua hal dengan benar. Ia menerapkan teknologi konservasi air yang teranyar. Air yang tak dia perlukan dia kembalikan kepada pemerintah negara bagian untuk kepentingan lingkungan. Bahkan, Punturiero dapat memperkirakan ke mana peningkatan permintaan terhadap air Murray akan mengarah. Ia menceritakan tentang bagaimana ia mengingatkan seorang aparat pemerintah negara bagian di akhir 1990-an, ”Anda harus menghentikan pembangunan ini. Kita tengah mengelola sumber air kita dengan buruk.”
Ia ingat kata-kata si aparat, seolah hal itu terjadi kemarin: ”Mick, Anda tidak dapat mengendalikan kemajuan.” Kemudian datanglah kekeringan pada 2002 yang awalnya seperti biasa. Hanya saja, kekeringan tersebut masih belum berakhir. !break!
”Sungai itu tidak beda dengan jalan bebas hambatan yang harus dibayar oleh setiap warga Australia lewat pajak. Setiap warga sudah membayar untuk pintu-pintu air tersebut. Kami sudah bayar untuk Bendungan Dartmouth yang seharusnya membuat Australia Selatan bebas bencana kekeringan. Jadi mengapa alokasi airku tidak diberikan secara penuh? Berikan padaku! Itu hakku sepenuhnya!” kata Punturiero berpendapat.
Punturiero menganggap dirinya sebagai penjaga tanah yang setia. Ia juga melihat rekan-rekan sesama petani sama seperti kakeknya, tidak pernah berusaha menabung, kemudian jatuh bangkrut atau bunuh diri. Dia pun memahami keputusasaan mereka yang tak berujung. Terkadang ia pun merasakannya sendiri—”terpojok dan aku tak dapat lagi melindungi keluargaku,” ujar Punturiero. Suaranya tiba-tiba mengecil. Namun, kemarahan kembali melanda. Hanya kemarahanlah yang dirasakan Mick Punturiero saat ini. Ia tidak akan menyerah tanpa perlawanan—itulah janji yang dia ucapkan.
Tak mudah bagi banyak warga Australia untuk menghubungkan versi Sungai Murray yang cacat saat ini dengan kemilau romantisme masa muda mereka. Di muara sungai, ekosistem yang subur telah lama diasupi oleh pasang naik-pasang surut air asin dan air tawar. Kini, untuk dapat mengalirkan air Sungai Murray yang bermasalah hingga ke laut, muara sungai tersebut harus dikeruk setiap saat. Tanpa pengerukan, muara akan tertimbun lumpur, menghambat aliran air tawar ke ekosistem laguna yang dinamakan Coorong dan ke Danau Alexandrina yang letaknya tak jauh.
Di tempat inilah setiap paginya, seorang nelayan beruban yang usianya 65 tahun mengemudikan perahu aluminiumnya ke perairan Danau Alexandrina atau bisa juga disebut sisa perairan Danau Alexandrina. Tumpukan endapan lumpur mencuat keluar permukaan air. Sejak hampir semua rekan seprofesi berpindah tempat tinggal, Henry Jones sendirian menguasai danau tersebut—itu jika tanpa menghitung burung-burung pelikan, walau sesungguhnya Henry benar-benar menghitung jumlah unggas tersebut sambil berpikir: mungkin jumlahnya cuma sepersepuluh dari yang dahulu. Burung ibis putih juga tidak ada lagi, juga tidak ada bebek paruh biru. Jones memasukkan tangan ke dalam air untuk mengumpulkan jaring-jaring tangkapnya. Di antara hasil tangkapan, tidak satu pun ikan silver perch, cod Sungai Murray, atau bony bream (sejenis hering). Air asin telah mencerabut ikan-ikan itu sehingga hanya ikan gurame yang bertahan. Padahal, seperempat abad lalu gurame bahkan tidak ada di hilir danau. Keberadaan ikan-ikan tersebut jadi pertanda rusaknya lingkungan air tawar.!break!
Jones mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan tersebut, tidak seperti spesies lainnya yang menghilang. Ia sudah menemukan pedagang-pedagang eceran yang bersedia membeli semua gurame yang dapat dia jaring.Namun, kekeringan telah membuat komunitas Jones meronta. Baru-baru ini, para pembuat anggur (wine) lokal telah diberitahu bahwa Sungai Murray bakal tidak lagi dapat digunakan untuk mengairi perkebunan anggur mereka. Jones juga bersahabat dengan para tetua suku Aborigin Ngarrindjeri yang wilayahnya di sekitar sungai berakhir begitu saja setelah 30.000 tahun ketika ekspedisi pimpinan Kapten Charles Sturt mendarat di muara Sungai Murray pada tahun 1830. Bagi suku Ngarrindjeri, bencana kekeringan telah mengakibatkan hilangnya telur-telur angsa hitam, remis air tawar, dan totem-totem sakral lainnya yang vital bagi keseimbangan spiritual dan raga mereka.
Maka secara de facto Henry Jones menjadi corong bagi mereka yang mati dan sekarat. Semua ekosistem ada di titik kehancuran. Dua pertiga wilayah Coorong telah mati—tingkat salinitasnya nyaris menyamai Laut Mati. Dalam perjalanan di seputar lembah dalam rangka menegaskan bahwa air haruslah dialokasikan pada Coorong dan danau-danaunya, Jones menemukan bahwa sentimen yang berkembang justru menyalahkan para pelestari lingkungan atas krisis yang terjadi. Para petani mengungkapkan kemarahan karena ”sungai aset kerja” mereka yang berharga hilang ke laut. Mereka menyampaikan kepada Jones bahwa lebih masuk akal mengalihkan seluruh aliran sungai Murray ke daratan dan memasrahkan sungai tersebut pada pengabdian abadi sebagai saluran irigasi sementara para nelayan bertahan dengan mencari penghidupan dari laut saja.
Kawasan Coorong hanyalah salah satu contoh mencolok dari ekosistem Lembah Murray-Darling yang terancam. Sebagai contoh, para ilmuwan Australia dan aparat pemerintahan terbukti teledor ketika jauh di daerah hulu, suatu kawasan melewati batas toleransi kekeringannya sehingga ratusan ribu pohon karet-merah sungai (sejenis eukaliptus) yang ada di dalam kawasan hutan karet-merah sungai terluas di dunia tiba-tiba mati.
Baru-baru ini sebuah kekhawatiran juga muncul, yaitu lahan-lahan basah kemungkinan membentuk toksin. Daerah rawa yang terampas dari aliran musimannya dan kemudian malah terendam secara tidak alami selama berpuluh tahun tersebut telah berubah demikian kering sehingga endapan lumpur kering bereaksi dengan udara untuk membentuk permukaan asam belerang yang luas. Para ilmuwan belum sepenuhnya mengukur dampak yang terjadi terhadap binatang dan manusia. Untuk saat ini, sesuai pengamatan ekonom air dari University of Adelaide Mike Young, “Anda pasti tidak ingin memasukkan tangan Anda ke dalamnya.”!break!
Adelaide mungkin tak terlihat meyakinkan dengan statusnya sebagai kota industri pertama di dunia yang terus menerus hidup dalam kekurangan air. Dengan patuh penduduk Adelaide mengangkuti ember-ember berisi air sisa mandi dan cuci ke pekarangan mereka. Tanaman lokal dan halaman rumput artifisial tampak apik tertata.
Hanya saja, krisis air nasional tidak akan terselesaikan lewat cara ”antikekeringan” ala Adelaide yang walaupun bergantung pada Sungai Murray, kota itu mengaku cuma mengambil 6 persen dari total penyedotan sungai tersebut. Menurut aktivis lingkungan Wilderness Society Peter Owen, ”Kita tidak bisa menyelamatkan ekosistem sungai dengan hanya mendaur ulang air mandi kita.”
Sementara itu, di luar kawasan Lembah Sungai Murray-Darling, kekeringan telah menunjukkan kerusakan serius pada sumber-sumber air di wilayah urban, seperti Sydney, Melbourne, dan Brisbane. Malcolm Turnbull pun menyatakan, ”Seorang perdana menteri yang bijak seyogyanya berasumsi bahwa lingkungan menjadi semakin panas dan kering, dan akan melakukan perencanaan yang sesuai.” Ketua partai Turnbull (Partai Liberal), John Howard yang skeptis dengan isu perubahan iklim dicopot dari jabatannya November 2007.
Namun, apa sesungguhnya makna dari ini semua? Akankah ini bermakna pembangunan instalasi desalinasi yang mahal di Adelaide, Sydney, dan tempat-tempat lainnya, diikuti pengeluaran energi yang semakin meningkat? Apakah mungkin untuk mengembangkan varietas tanaman yang tahan kekeringan untuk menjaga produksi pangan tetap berjalan? Atau mengurangi secara drastis kebutuhan air para peternak sapi perah yang menggunakan 1.000 liter air bagi setiap liter susu yang mereka hasilkan? Sebuah bentang alam baru yang kokoh dibutuhkan dan itu terserah kepada Australia untuk menunjukkan kepada seluruh dunia industri seperti apa wujud lanskap tersebut. Sebagai awal, bentang alam tersebut mungkin merupakan lanskap yang bisa menyesuaikan diri dengan keterbatasan. !break!
Bagaimana juga, tahap akhir dari penyesuaian terhadap kehancuran adalah penerimaan. Kembali ke tahun 1962, Frank Whelan adalah petani ketiga di distriknya di New South Wales yang mendapat jatah air untuk menanam padi, enam tahun sebelum kota Coleambally bergabung. Hingga musim ini tiba, dia selalu panen. Walau usianya sekarang sudah 74 tahun, ingatannya masih sejernih penglihatannya. Kekeringan, fluktuasi pasar, perselisihan dengan pemerintah, dan juga kecaman bertubi-tubi dari para pelestari lingkungan yang menuding budidaya padi menyerap jumlah air yang berlebihan dan dengan demikian tidak berhak untuk mendapatkan tempat di benua semiarid ini—Whelan ingat bahwa Coleambally tetap makmur di tengah-tengah segala kesengsaraan tersebut. Ia ingat pertemuan-pertemuan di tingkat kota ketika berita yang beredar hampir selalu baik karena sumber air irigasi selalu tersedia.
Sekarang, di saat Whelan duduk di aula boling setempat bersama 200 rekan petani lainnya, suasana sudah berbeda. Selama empat jam mereka mendengarkan satu panel ahli mengabarkan bahwa tak lama lagi tidak akan ada air irigasi untuk Coleambally. Mereka menyarankan jalur-jalur ekonomi baru bagi kota tersebut berupa hal-hal yang tidak berkaitan dengan beras. Sejumlah petani menyuarakan kemarahan mereka. Mereka menyalahkan para birokrat. Mereka menyalahkan pada pelestari lingkungan. Mereka menyalahkan New South Wales. Namun Whelan diam saja.
Ia telah melihat bahwa keadaan ini akan menjelang. Seiring serangan kekeringan, ia telah memadatkan lahan pertaniannya menggunakan traktor giling untuk memperkecil kebocoran. Ia sudah mulai menghentikan aliran air ke sebagian lahannya. Lalu ke semakin banyak lahan. Sementara itu, petani yang panjang umur tersebut menyaksikan melorotnya produksi beras nasional dari satu juta ton metrik lebih per tahun hingga menjadi 19.000 ton metrik yang berkontribusi terhadap kekurangan pangan yang dirasakan di seluruh dunia. Australia yang pernah menjadi sumber pangan dunia, kini tengah mencari masa depan. Apapun masa depannya, Whelan sadar bahwa kota penghasil beras Coleambally tidak akan pernah memainkan peran yang sama lagi.
Setelah pertemuan tersebut berakhir, seorang rekan sesama petani mendatanginya dan bertanya, ”Jadi bagaimana menurutmu, mate?” Itu adalah salah satu pertanyaan yang akan terus hadir di Coleambally untuk beberapa waktu ke depan. Pada satu titik, warganya bahkan sempat mengibarkan bendera putih dan menawarkan untuk menjual keseluruhan kota berikut sumber airnya kepada persemakmuran dengan harga 26,4 triliun rupiah. Beberapa hari kemudian, mereka menarik kembali tawaran tersebut dan bersikeras bahwa kota tersebut akan tetap punya peran sebagai penghasil pangan yang penting.Perselisihan tersebut akan terus berlanjut di Coleambally dan di seluruh Australia. Namun, beberapa orang telah sampai pada titik penerimaan meski tidak sepenuh hati. Setahun setelah liputan kisah ini dimulai, peternak sapi perah Malcolm Adlington menjual seluruh ternaknya dan kini dia hidup sebagai seorang supir minibus. Petani jeruk Mick Punturiero membabat separuh kebun buahnya dan mengakui bahwa kemungkinan besar ia tak lagi dapat terus bertani. Malam ini di Coleambally, Frank Whelan juga membuat keputusan.”Oh, kurasa aku akan pulang dan pensiun saja,” jawab Whelan sambil tersenyum getir pada rekan sesama petani padi.