Kembali ke Barham, Adlington duduk sendiri di mobilnya yang tak ke mana-mana—menyaksikan ternaknya yang berkurang, padang rumputnya berganti menjadi gurun bersemak. Yang dapat ia lakukan hanyalah menonton.
Benua terkering di dunia yang dihuni manusia itu tengah dalam bahaya kekurangan air. Di luar fakta sederhana tersebut, tak ada yang tegas-tegas menunjukkan krisis air di Australia. Walau warga Australia selalu bisa melewati periode-periode musim kemarau, kekeringan selama tujuh tahun ini adalah yang paling mengenaskan dalam catatan sejarah negeri itu selama 117 tahun. Bagi banyak pihak, pola hujan yang tidak menentu menandakan jejak buruk perubahan iklim yang disebabkan ulah manusia. !break!
Secara luas, pemanasan global diyakini meningkatkan frekuensi dan keparahan bencana alam seperti kekeringan. Hal yang tak terbantahkan menurut ilmuwan lingkungan asal Australia Tim Kelly adalah, ”dalam 15 tahun terakhir kita mengalami kenaikan suhu sebesar tiga per empat derajat Celsius dan itu memicu penguapan yang lebih banyak dari air kita. Itulah perubahan iklim.”
Australia perlu waktu untuk menyadari kenyataan tersebut. Lagipula, negeri tersebut telah digarap oleh orang-orang optimistis yang tidak takut menjalani kehidupan di salah satu lanskap paling tidak subur di Bumi. Ilmuwan Australia Tim Flannery menyebutnya ”ekosistem bernutrisi rendah” dengan tanah yang menjadi tua dan tidak subur karena tidak pernah tercampur gletser dalam beberapa juta tahun terakhir. Orang-orang Eropa yang menuruni lembah Sungai Murray-Darling—sebuah dataran semiarid yang luasnya sekitar separuh luas daratan Indonesia—terbuai oleh serangkaian tahun yang basah di pertengahan abad ke-19 dan itu membuat mereka berpikir telah menemukan taman firdaus masa kini. Mengikuti kebiasaan di tanah asal, para pemukim kemudian menebangi sekitar 15 miliar batang pohon. Tanpa menyadari bahwa pencabutan akar vegetasi yang bagus adaptasinya di kondisi gersang bakal mengganggu siklus air, penghuni Australia yang baru itu pun mendatangkan domba, sapi, dan tanaman pangan yang rakus air, praktis semuanya asing terhadap ekosistem gurun. Penggarapan lahan tak berkesudahan untuk mendorong berkah baru Australia itu semakin mengurangi kualitas tanah.Lalu, sungai menjadi tali penyelamat bagi kawasan tersebut. Sungai Murray yang mengalir sepanjang 2.530 kilometer juga memiliki makna mitologis, yaitu menjadi simbol atas berbagai kemungkinan yang tak terbatas. Dari hulunya di pegunungan Alpen Australia hingga muaranya di Samudra Hindia.
Kemajuan, bagi warga Australia, melibatkan pembelokan Sungai Murray sesuai keinginan mereka. Dalam satu abad terakhir, Sungai Murray telah dimekanisasi oleh sebuah armada yang terdiri atas bendungan, pintu air, dan tanggul sehingga aliran sungai dapat memberi keuntungan maksimal kepada para petani yang menggantungkan irigasi mereka pada Lembah Sungai Murray-Darling.
Akibatnya, menurut mantan menteri persemakmuran bidang pengairan Malcolm Turnbull, “Kami memiliki lingkungan yang tidak alami di sungai. Akibat pengaturannya, sungai tersebut kini mengalir deras ketika alam seharusnya mengalirkannya pelan, dan mengalir pelan ketika alam semestinya mengalirkannya deras.” Manipulasi tersebut punya konsekuensi yang tidak diharapkan. Irigasi membuat tingkat salinitas melonjak, sebaliknya meracuni lahan-lahan basah dan mengubah daratan luas menjadi tidak cocok untuk ditanami.
Begitulah kondisi persediaan air yang rapuh di Australia, bahkan sebelum kekeringan menghantam seperti godam. Krisis tersebut membuat negara-negara bagian saling berhadap-hadapan, kota besar lawan wilayah pedesaan, penata lingkungan lawan petugas irigasi, dan pertanian kecil lawan pertanian raksasa yang didukung pemerintah dalam persaingan ketat memperebutkan komoditas yang menyusut. Di balik kenyataan bahwa kawasan Lembah Sungai Murray-Darling merupakan daerah penghasil gandum nasional, setiap wilayah permukiman besar telah menghadapi cengkeraman pengetatan air.!break!
Di saat krisis air muncul, yang dulu dikenal sebagai “keangkuhan Australia” kini berubah menjadi seperti “tahapan duka”, begitu istilah kondang dari psikiater Swiss Elisabeth Kubler-Ross. Istilah itu mencakup pengingkaran, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Dalam kondisi yang menjadi sebuah peringatan bagi negara-negara maju lainnya itu, Australia, negeri dengan perekonomian terbesar ke-15 di dunia, sedang belajar tentang batas-batas sumber daya alam di era perubahan iklim. Berita baiknya adalah Australia mungkin akan menjadi pihak yang memberikan pelajaran tersebut kepada negara-negara industri lainnya.
Di distrik Riverland di Australia Selatan, seorang lelaki berusia 48 tahun mengemudikan buldoser melalui kebun jeruknya, merobohkan 800 pohon jeruk valencia dan navel miliknya. Lelaki itu tahu apa yang sedang dia kerjakan. Selama puluhan tahun Sungai Murray yang besar telah mengubah tanah tersebut menjadi perkebunan zaitun, jeruk, aprikot, dan alpukat nan subur.
Namun, kini para pejabat pengairan telah mengumumkan bahwa warga Australia Selatan hanya boleh menggunakan 16 persen dari jatah air tahunan mereka. Maka Mick Punturiero, seorang petani generasi ketiga keturunan Italia menentukan pilihan yang berat: dia memilih untuk mengorbankan pohon-pohon jeruknya dan menyimpan air yang dia miliki demi kebun limaunya yang berharga.
Dua bulan kemudian, Punturiero masih dibalut murka ketika menuangkan jus limau buatannya untuk seorang tamu, lalu dia menghempaskan tubuh besarnya di atas kursi. Mengapa mereka membutuhkan waktu begitu lama untuk menyadari adanya krisis air ini? Begitu tuntut Punturiero. ”Ayo kita datangi rumah MEREKA! Beritahu mereka, anak yang mana yang harus MEREKA korbankan untuk menyelamatkan seluruh keluarga! Ayo kita taruh keluarga MEREKA di batang pohon jeruk!”
Ia menghela napas panjang. ”Saya sangat kesal jika membicarakan masalah ini. Saya menjadi amat, sangat, SANGAT terganggu. Pada akhirnya, solusi yang diambil hanya berakhir pada kejahatan,” kata Punturiero. Jika diminta untuk menjelaskan kejahatan dan pelaku-pelakunya, Mick Punturiero jadi tampak meragukan. Dia banyak menyalahkan aparat yang mendorong pembangunan pertanian hingga melebihi batas keberlanjutan. Bahkan saat berefleksi, dia tidak mempertimbangkan kemungkinan bahwa masalah tersebut ditimbulkan oleh kesalahan dalam menanam jeruk di sisi ”garis” yang salah. !break!