Gereja Ortodoks Rusia

By , Senin, 6 April 2009 | 13:44 WIB

Menurut Kirill, mengumpulkan uang dan memugar bangunan adalah bagian yang mudah. Peziarah? Sebagian besar adalah “wisatawan religius” yang datang untuk mengumpulkan suvenir. Bahkan biarawannya berpindah-pindah, hari ini di sini, esok di biara lain. Gereja masih belum memiliki kehidupan komunal yang sejati, tidak ada kebangkitan rohani yang sesungguhnya.!break!

“Rezim Uni Soviet adalah produk dari kekafiran, tapi setidaknya, rejim itu membuat umat beragama hidup dalam api iman,” ujar Kirill. “Kini, kami lebih disibukkan dengan melawan sekte-sekte lain dan ‘musuh’ daripada penebusan dosa. Mereka menghancurkan gereja dari dalam.”

Banyak orang, yang buru-buru minta dibaptis saat fajar kebebasan menyingsing, mengakhiri keterlibatan rohani mereka sebatas itu saja, ujarnya. Pendeta dan umat Kristiani lain juga menyuarakan ratapan yang sama tentang turunnya minat beragama di berbagai lapisan masyarakat Rusia, di samping tergelincirnya sikap gereja resmi ke arah xenofobia dan nasionalisme.

Angka kehadiran jemaat di gereja tidaklah pasti karena Gereja Ortodoks Rusia tidak menyimpan daftar anggota atau buku catatan paroki. Menurut Nikolai Mitrokhin, seorang sejarawan dan kritikus gereja, sekitar 60 persen orang Rusia kini menganggap diri mereka sebagai umat Ortodoks—mereka mungkin saja dibaptis, dinikahkan, dan dimakamkan di gereja—tetapi kurang dari satu persen yang benar-benar datang ke gereja sedikitnya sekali sebulan. Sumber lain menyebut angkanya mendekati 10 persen. Salah satu alasan tingkat kehadiran yang rendah ini mungkin karena Gereja Ortodoks kurang ramah pada kaum abangan—sebagaimana yang saya lihat di Murom.

Relikui St. Juliana kini bersemayam di atas pilar dalam Gereja St. Nicholas yang kuning cerah, gereja yang bertengger di tebing yang curam. Saat saya datang untuk berdoa, dua bayi sedang dibaptis. Pastor tambun yang berpeluh tampak tidak sabar menghadapi orang tua dan orang tua baptis yang masih muda, sepertinya ingin cepat-cepat selesai, tak terlalu berminat membuat upacara tersebut menjadi ritual yang dapat dipahami.

“Ayo, ayo, lepaskan bajunya,” bentak si pastor. “Bagaimana saya bisa memasukkannya ke air dalam keadaan seperti ini? Biar dia yang memegang lilin. Bukan! Pakai tangan kanan! Hei, kamu ngapain?” Kedua bayi itu menjerit, lampu blitz kamera menyala, orang tua sibuk, dan tak lama kemudian acara pembaptisan selesai.!break!

Di bagian lain gereja itu, seorang wanita paro baya bertengkuluk putih yang diikat erat memarahi saya karena memotret relikui St. Juliana. “Apakah pastor memberkatimu untuk mengambil foto?” desaknya. “Foto tanpa pemberkatan hanya mendatangkan kejahatan!”

Karena pernah tinggal beberapa tahun di Uni Soviet, saya kenal jenis wanita seperti ini. Selalu ada wanita seperti ini di beberapa gereja yang masih buka pada saat itu, mereka mengepel lantai, mengurus tempat lilin, dan berdiri sepanjang misa sementara ketidaksukaan pemerintah Soviet membuat orang lain takut datang ke gereja. Dapat dikatakan, mereka menjaga gereja selama masa pengekangan yang panjang. Mereka adalah penjaga harta dan budaya: Berdiri seperti ini! Menghadap altar! Tutupi kepalamu! Buat tanda salib! Mereka menyebalkan, tapi gereja banyak berutang budi pada mereka. Jadi, saya melakukan hal yang dilakukan orang Rusia lain apabila menghadapi orang-orang militan ini: Saya membungkuk dengan patuh dan menyimpan kamera.

Kepatuhan dan ritual menguasai Gereja Rusia sejak hari penting tahun 988 tatkala Pangeran Vladimir si penguasa Rus Kiev memerintahkan rakyatnya dibaptis di Sungai Dnieper. Menurut legenda yang dikenal setiap orang Rusia, Vladimir mengirim utusan ke luar negeri dalam rangka mencari agama bagi negaranya yang menyembah berhala. Para utusan yang dikirim ke Konstantinopel pulang dengan terkagum-kagum akan ritual gereja Yunani Timur yang mereka lihat di Hagia Sophia yang saat itu merupakan katedral terbesar di dunia. “Kami tak tahu apakah berada di surga atau di bumi,” lapor mereka.

Agama yang diimpor Pangeran Vladimir membentuk bangsa Rusia dan kemudian pada gilirannya agama itu dibentuk oleh bangsa tersebut. Biara Ortodoks menjadi jantung spiritual, ekonomi, budaya, dan terkadang, pertahanan bangsa itu. Gereja yang menyebar di seluruh Rusia itu kemegahannya sangat menakjubkan dan ritualnya tak berubah dari masa ke masa. Hingga kini bahasa yang dipakai gereja adalah bahasa Slavonik Gerejawi Kuna yang arkais namun merdu. Pastor yang mengenakan jubah berkilau dipisahkan dari jemaat oleh tabir ikon yang rumit, sementara paduan suara menyanyikan sebagian besar liturgi yang kerap memuat himne karya para komposer terbesar Rusia. Bagi jemaat, pengalaman ini seperti masuk dunia lain, bertolak belakang dengan kebaktian Baptis yang singkat dan sederhana.

Pada kunjungan pertama ke Murom pada 1992, saya berdiri terkagum-kagum di depan tempat relikui St. Juliana yang saat itu disimpan di katedral yang baru dibuka kembali. Di sampingnya ada tempat relikui dua pangeran abad ke-12, St. Constantine dari Murom dan putranya St. Michael. Constantine datang ke tempat yang dulu terpencil ini untuk menanamkan agama dan pengaruhnya. Inilah cerita lama Rusia: pangeran pahlawan yang budiman mengembangkan Kerajaan Ortodoks, sementara pekerja gereja yang tak kenal lelah menopang kerajaan itu selama masa krisis. Selama berabad-abad, orang Rusia meyakini diri mereka sebagai masyarakat dengan spiritualitas dan misi istimewa, sebagai “Rusia Suci”.!break!

KEAGUNGAN Rusia Suci yang angker sangat terlihat di kediaman Patriark Alexy II, pemimpin Gereja Ortodoks Rusia yang baru saja wafat, di Moskwa. Para pemuka agama berjubah hitam yang pendiam menyebutnya hanya dengan “Yang Mulia”. Lukisan minyak di atas kanvas pada dinding papan hitam menggambarkan peristiwa-peristiwa epik dalam sejarah religius Rusia. Para prodiakon memberitahu pengunjung harus berdiri di mana saat Yang Mulia masuk ruangan.