Gereja Ortodoks Rusia

By , Senin, 6 April 2009 | 13:44 WIB

Namun, Sang patriark masuk ke ruangan dengan senyum dan salam hangat (kami pernah bertemu beberapa kali di awal 1990-an). Dia meminta teh, lalu dengan ramah menawarkan cokelat. Walaupun menderita gangguan jantung dan pernapasan yang terbukti fatal tak sampai setahun setelahnya, Alexy masih kuat dan aktif untuk ukuran orang berusia 79 tahun. “Setelah didiagnosis sakit, saya tak sesering dulu memimpin misa, tapi saya tetap mengadakan 150 misa setahun,” ujarnya. Lalu, dengan mata bersinar: “Dokter yang mengukur tensi darah saya menyatakan bahwa tekanannya agak tinggi sebelum misa, namun selalu normal setelahnya.”

Alexy memimpin Gereja Ortodoks Rusia sejak gereja itu lahir kembali pada 1990 sampai dia meninggal pada Desember 2008. Kisah Alexy adalah kisah Gereja Ortodoks Rusia dan pergumulannya dengan negara. Alexy yang lahir di Estonia pada 1929 dari keluarga bangsawan emigran Rusia, bertugas sebagai pastor dan uskup selama 40 tahun di bawah rezim Uni Soviet yang mereduksi gereja menjadi “kultus” yang nyaris tak diakui dan memaksa “abdi kultus” itu terus-menerus ikut dalam permainan persekongkolan dan penipuan yang memalukan.

Alexy tak pernah menyangkal bahwa dia bekerja sama dengan “organ” pemerintah, tetapi dia menegaskan bahwa semua yang dia lakukan adalah demi menyelamatkan fungsi mendasar gereja itu. “Pada masa-masa penindasan terberat, gereja tidak kabur ke katakomba,” ujarnya. “Gereja tetap melaksanakan sakramen dan doa.”

Alexy menjadikan hal itu sebagai misi pribadi dalam mengidentifikasi “martir dan penganut yang baru”—para korban penyiksaan komunis yang di mata gereja mati demi agama Kristen. Dia meluangkan waktu Sabtu keempat setelah Paskah untuk misa khusus yang memperingati setidaknya 20.000 “musuh negara Soviet” yang pada puncak Pembersihan Besar 1937-38 ditembak dan dikubur secara massal di selatan Moskwa.!break!

Di sanalah saya bergabung bersama ribuan penduduk Moskwa saat sang patriark, bersama puluhan uskup dan ratusan pastor, merayakan Ekaristi. Beberapa orang menancapkan lilin menyala ke dalam gundukan berumput yang kini menutupi parit tempat para korban dibunuh dan dikubur. Sebuah baliho menampilkan foto beberapa orang yang meninggal di sini: pendeta berjenggot, petani berambut kusut, wanita Yahudi, pelajar—mata mereka membelalak ketakutan atau setengah tertutup pasrah. Sebuah grafik mencatat jumlah yang terbunuh hari demi hari, bulan demi bulan. Pada 10 Desember 1937: 243 dieksekusi. Total bulan itu: 2.376. Pada 28 Mei 1938: 230. Total bulan itu: 1.346.

Ada keluhan bahwa gereja hanya memperingati anggotanya padahal sangat banyak orang dari golongan lain yang terbunuh. Dan memang, ribuan uskup, pastor, diakon, dan biarawati yang meninggal di sini terbaring bersama kaum Bolsyewik, pendukung monarki, pendukung Trotsky, orang yang dituduh kontrarevolusioner, Yahudi, pengungsi komunis Jerman, kulak, “tunasosial”, dan bahkan orang Cina yang menjadi tukang cuci di Moskwa, semuanya terjerat dalam pesta kematian Stalin.

Namun, Patriark Alexy berketetapan hati: “Kami kini kembali ke sejarah kami. Kami harus mengingatnya.” Dia berbicara seakan orang-orang yang telah lama mati ini saudara kandungnya: “Dapatkah Anda bayangkan? Archimandrite Kronid, wakil kepala biara Trinity–St. Sergius Lavra yang terakhir, berusia 83! Dia dibawa dengan tandu lalu ditembak!” Kebencian terhadap kaum gereja yang membara di kalangan komunis revolusioner disulut oleh fakta sejarah. Selama berabad-abad Gereja Ortodoks Rusia bertindak sebagai kaki-tangan tsar. Tsar adalah kepala gereja dan semua penghargaan, promosi, serta penunjukan dalam gereja harus melalui keputusan istana.

Pada 1990 Alexy menjadi patriark pertama sejak Revolusi Rusia yang dipilih tanpa intervensi langsung pemerintah. “Kami berhasil membuat hubungan yang benar-benar baru dengan negara,” ujarnya, “satu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.” Dia menegaskan bahwa gereja tidak berniat menjadi gereja negara dan menyatakan bahwa dia melarang pemuka agamanya memegang jabatan publik.

Namun, para pengeritik mengatakan bahwa Alexy dan para uskup senior dengan senang hati menerima simbol-simbol gereja negara dan hampir tidak berbuat apa-apa untuk menentang perubahan Kremlin ke arah pemerintahan otoriter. Walaupun Konstitusi Rusia mengharuskan pemisahan gereja dan negara, tiga presiden pasca-Uni Soviet—Boris Yeltsin, Vladimir Putin, dan Dmitry Medvedev—datang secara teratur ke gereja dan dipublikasikan secara luas, sementara uskup dan pastor Ortodoks selalu diundang dalam acara negara.!break!

Kedekatan ini memberi kesan di luar negeri bahwa Gereja Ortodoks bekerja sama dengan Kremlin untuk menciptakan autokrasi Rusia yang baru. Namun, pejabat gereja membantah hal ini. Mereka menyebutkan banyak contoh perbedaan dan sengketa yang belum selesai antara gereja dan pemerintah, mulai dari kuasa atas peninggalan keagamaan hingga pendidikan agama. Jika gereja dan negara bekerja sama, menurut mereka, itu dalam rangka pencarian identitas baru pasca-Soviet yang dalam dan kompleks. Dalam pencarian itu, sejarah kekaisaran Rusia hanyalah salah satu unsur, dan hasil akhirnya masih tidak pasti.

Namun, status Gereja Ortodoks yang didukung pemerintah sering merugikan denominasi dan agama lain—terutama yang dianggap, benar ataupun salah, datang dari Barat.

DI PINGGIRAN kota Rostov-on-Don di selatan, Alexander Kirillov membuka gerbang gereja Baptis yang besar, yang komunitasnya baru saja selesai dibentuk. Menurut penatua itu, pemerintah memanfaatkan masalah birokratis—tidak menyerahkan formulir tahunan—lalu menutup asosiasi yang memayungi gereja itu. “Kami memang salah. Tapi sebenarnya mereka bisa saja mengirim pemberitahuan agar kami menyerahkan formulir itu.” Alasan utama pelarangan itu, katanya, adalah karena gerejanya tidak termasuk kelompok Baptis arus utama yang disetujui pemerintah.