Gereja Ortodoks Rusia

By , Senin, 6 April 2009 | 13:44 WIB

“Mereka tidak terbiasa menerima kenyataan bahwa ada denominasi selain yang ‘resmi’. Jadi dalam anggapan mereka, kami tidak punya hak hidup,” ujar Kirillov. “Gereja Ortodoks adalah denominasi yang dominan, jadi tentu saja mereka terwakili di tiap lingkaran pemerintahan. Saya menonton berita: Mereka membuka institut artileri baru, taruna baru berdatangan, dan ada pastor Ortodoks. Mengapa?”

Salah satu alasannya ada di tahun-tahun awal pasca-Uni Soviet ketika euforia kebebasan berganti dengan kekecewaan pada konsumerisme, korupsi, dan kekacauan yang menyertainya. Kaum reaksioner di kalangan pemerintah dan gereja menuduh Barat sengaja mempermalukan Rusia dan hal ini mengompori kecurigaan pada denominasi dan kelompok yang berkaitan dengan demokrasi liberal. Di kalangan sayap kanan, ada suara agar Rusia Suci kembali ke akarnya.!break!

Beberapa konsep yang sangat mundur dan keliru beredar secara terbuka di gereja-gereja reaksioner dan di situs web nasionalis. Salah satunya adalah usaha mengangkat Rasputin dan Ivan yang Ganas sebagai santo. Dua tokoh berbahaya dalam sejarah Rusia itu direka ulang oleh para ekstremis sebagai “pembela Rusia Suci”.

Di luar St. Petersburg, istana musim panas yang melapuk milik para tsar dan bangsawan agung Rusia lama berdiri di tepi Teluk Finlandia. Di balik reruntuhan istana seperti itu berdiri sebuah kapel mungil yang baru setengah dipugar. Di dalamnya saya melihat sesuatu yang membuat saya terperanjat—ikon besar Joseph Stalin. Dia tidak punya lingkaran cahaya seorang santo, tetapi ada santo yang memberkatinya.

Ikon tersebut melukiskan legenda ketika Stalin saat pecah Perang Dunia II diam-diam mengunjungi St. Matryona dari Moskwa, seorang perempuan buta lumpuh yang banyak didatangi orang untuk minta bimbingan rohani sampai dia meninggal pada 1952. Menurut legenda itu, dia menyarankan agar diktator Uni Soviet itu tidak lari dari Moskwa, tetapi bertahan menghadapi serangan gencar Pasukan Jerman.

Pastor kapel itu, Evstafy Zhakov, adalah seorang nasionalis berapi-api yang sangat dihormati jemaatnya karena khotbahnya karismatis. Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar sayap kanan Zavtra, dia membela ikon tersebut dengan menjelaskan bahwa Rusia memiliki tradisi panjang pemberkatan pejuang oleh orang suci sebelum berperang.

“Tapi Stalin ateis,” sela pewawancara.

“Bagaimana Anda tahu?” balas Pastor Evstafy. Dua patriark saat perang menyatakan bahwa Stalin adalah orang beriman, “dan saya lebih memercayai mereka daripada semua orang liberal dan demokrat.”!break!

SEMENTARA DI BEBERAPA SUDUT TEMARAM gereja para pendeta seperti Pastor Evstafy menjadikan pembunuh massal sebagai pahlawan Rusia Suci, banyak pastor arus utama yang memperjuangkan agenda yang lebih mencerahkan: mengobati pencandu narkoba, menolong anak-anak telantar, dan memberi pengampunan Kristus kepada para penjahat.

Di sebuah panti asuhan yang terang-benderang di St. Petersburg, Nikita yang berusia empat tahun memperlihatkan mainannya kepada saya dan dengan bangga mengatakan bahwa mamanya tak lama lagi akan memberinya hadiah. Dia belum mengerti bahwa dia ditempatkan di panti ini karena ibunya pencandu narkoba—petaka yang berkembang pesat di Rusia—dan si ibu tidak dapat lagi memelihara dirinya. Pastor Alexander Stepanov telah mengasuh mereka yang terbuang semenjak meninggalkan pekerjaannya di bidang fisika untuk menjadi pendeta sekitar 20 tahun lalu. “Saya langsung diperintahkan masuk penjara,” gurau Alexander sambil mengingat bagaimana dia memulai kepastorannya dengan mendiskusikan Injil bersama narapidana. “Saya tidak tahu apa-apa tentang dunia gigi emas dan tato.”

Semua kerja kemanusiaan swasta dilarang keras di Uni Soviet—tidak ada masalah sosial di surga para pekerja itu—tetapi setelah keruntuhan komunisme, Pastor Alexander tidak kekurangan sukarelawan, sementara gereja Barat juga cepat menawarkan bantuan. Kini, Pastor Alexander yang bekerja dari dua bangunan yang dipugar di tepi laut St. Petersburg mengelola gereja paroki, panti asuhan, rumah yatim piatu, rumah singgah bagi remaja bermasalah, serta satu korps relawan yang mengunjungi rumah sakit dan penjara. Dia juga memiliki stasiun radio di loteng, dan kantor perkemahan musim panas di ruang bawah tanah. Tidak ada ruang ataupun waktu yang tersia-sia—ponselnya berdering (dengan nada lonceng gereja) berulang-ulang.

Kini banyak gereja memiliki semacam program bantuan sosial dan ada banyak relawan, kata Pastor Alexander. Namun, pemerintah berusaha dengan sengit memperoleh kembali monopolinya dalam kerja sosial. “Pemerintah tidak ingin mendukung prakarsa sosial gereja,” ujarnya dengan sedih. “Kami terpaksa mengais sisa-sisanya.”!break!

Karena hanya sedikit atau bahkan tidak menentang “pemerintahan otoriter yang tertutup dan berbahaya” yang diperingatkan James H. Billington 15 tahun lalu, gereja gagal melewati ujian yang penting. Namun, semua orang yang pernah menyaksikan cinta dan usaha luar biasa yang dicurahkan untuk memugar gereja dan menghidupkan kembali pekerjaan amal, tak mungkin meragukan bahwa ada sesuatu yang baik dan menjanjikan yang bangkit di Rusia.

Saat saya berjalan di dalam rumah yatim piatu di St. Petersburg atau di biara yang dipugar di Murom, saya terkagum-kagum oleh fakta murni bahwa agama yang sedimikian lama ditindas dengan begitu kejam telah lahir kembali. Saya juga mulai mengerti mengapa buku harian ayah saya demikian populer di kalangan orang Rusia. Jurnal yang dibuatnya selama sepuluh tahun terakhir hidupnya merupakan perjalanan mengarungi gagasan, buku, penemuan, perjuangan, dan kebahagiaan seorang penganut dan pastor Ortodoks. Dia mengalami rasa frustrasi dan kesedihan yang sama seperti yang dikenal oleh orang Rusia di masa sulit terakhir ini, tetapi sesulit apa pun pertempuran itu—bahkan pertempuran terakhirnya melawan kanker—dia, seperti St. Juliana, menerimanya sebagai takdir hidup seorang Kristiani. Itulah intinya: Dalam pemikiran dan hidup sehari-hari pendeta Barat ini, orang Rusia menemukan penegasan bahwa rasa ragu, frustrasi, dan kebingungan mereka tidaklah salah, bahwa mereka sebenarnya normal, asalkan tetap teguh dalam iman dan kedermawanan.

MINGGU PAGI di Murom, saya terbangun pagi-pagi oleh dentang lonceng gereja. Para peziarah berkumpul di biara, tapi pembantu Pastor Kirill yang baik hati menawarkan mengantarku ke Lazarevo, desa St. Juliana. Gereja tua tempat dia beribadah akhirnya dibuka kembali.

Kami berkendara melewati pabrik militer Soviet yang terbengkalai, hingga sampai ke kompleks becek rumah-rumah kayu yang mengelilingi gereja besar lapuk yang sedang dipugar. Batu bata dan sak semen bertumpuk di dinding, dan pintunya dicapai melalui jembatan papan yang bergoyang. Di dalamnya, sebuah tabir ikon sederhana terpasang di altar samping; di sisi lainnya ada ikon Juliana.

Sekitar dua puluh orang penduduk setempat, sebagian besar perempuan, berkumpul untuk mengikuti ibadat Minggu. Tanpa banyak cakap, tanpa politik, tanpa pencarian jiwa, hanya permohonan diam-diam kepada si wanita rendah hati yang tinggal, berdoa, dan menderita di sini, sama seperti mereka: “O engkau yang diberkati, berikan juga syafaat bagi tanah Rusia, dan bagi semua yang tersebar, sehingga mereka menerima kedamaian dan kemakmuran dan segala yang lebih kembali pada kesalehanmu dahulu kala.…”