Gereja Ortodoks Rusia

By , Senin, 6 April 2009 | 13:44 WIB

Rusia yang baru semakin memudar saat kendaraan meninggalkan Moskwa. Kemacetan, polusi, mal-mal yang menjamur, dan papan-papan reklame yang menjadi buah dari tahun-tahun ekonomi pasar berganti dengan kawasan pinggiran nan kelabu serta pabrik-pabrik karatan peninggalan Uni Soviet. Lalu, pemandangan itu pun berganti menjadi hutan pinus dan pohon perak yang menjulang diselingi padang rumput serta desa-desa berumah kayu yang tak lekang oleh zaman. Sesekali, menara berwarna cerah-ceria menukas cakrawala. Kubahnya yang keemasan berkilau di bawah siraman cahaya mentari musim semi. Kami kembali ke glubinka, Rusia “pedalaman” yang dicintai para Slavofilia (pengagum budaya slavia), kaum buangan, dan pelukis. Kami langsung menuju ke ulu hatinya.!break!

Tujuan kami adalah Murom, satu di antara kota tertua Rusia. Murom yang terletak di atas tujuh bukit di sepanjang sisi kiri Sungai Oka adalah garda nan perwira di tepian timur Rus kuno pada abad pertengahan, sebelum kekaisaran Rusia berkembang dan meninggalkan kota propinsi miskin yang kaya akan mitos, kenangan, dan biara tersebut. Penguasa Uni Soviet dulu berusaha menghapus hal-hal ini dan sebagian cerita dari Rusia masa kini adalah upaya menghidupkan kembali masa lalu. Di tempat terpencil ini, sebagian masa lalu itu juga milikku.

Empat abad silam, seorang gadis yang saleh datang ke tempat ini sebagai istri seorang “suami yang bangsawan dan hartawan.” Walaupun hidupnya penuh cobaan berat—suaminya selalu pergi berperang, dari 13 anak yang dia lahirkan, delapan di antaranya meninggal, mengalami kelaparan, wabah penyakit, invasi, dan perampokan pada masa yang dicatat sejarah sebagai Masa Sulit—Juliana Osorin tetap teguh dalam iman dan kedermawanannya. Setelah dia meninggal pada 1604, Juliana diangkat sebagai orang suci oleh Gereja Ortodoks Rusia dengan nama St. Juliana dari Lazarevo, nama desa di luar Murom tempat dia tinggal. Pengangkatannya sebagai santa bertujuan untuk menyadarkan masyarakat yang tengah panik dan putus asa, bahwa kesucian dapat dicapai melalui rumah dan keluarga, tanpa harus masuk biara. Ibuku yang diberi nama Juliana Ossorguine oleh orang tuanya adalah keturunan langsung St. Juliana dan menyandang namanya.

Saya pernah datang ke Murom sebelum Rusia bangkit dari masa sulit yang lain. Saat itu Maret 1992. Es di Sungai Oka mulai mencair, dan di mana-mana terasa adanya awal yang baru. Saya pernah menjadi kepala biro New York Times di Moskwa selama tahun-tahun terakhir Uni Soviet pada 1980-an dan saya kembali untuk melaporkan runtuhnya pemerintah komunis serta bangkitnya Rusia baru.

Periode itu kacau dan membingungkan, masa kekalutan dan harapan besar—tentang demokrasi, kebebasan ekonomi, dan mungkin yang terpenting, kebangkitan rohani. Di mana-mana Gereja Ortodoks Rusia bangkit dari abu era Soviet dan jutaan orang Rusia bergegas minta dibaptis. Meski sebagian besar di antara mereka tidak begitu paham arti penting sakramen itu dalam agama, mereka bersemangat merebut kembali masa lalu dan identitas yang berusaha dihapus komunis selama 75 tahun.!break!

Ribuan gereja yang hancur—termasuk yang dijadikan depot, pabrik, dan gudang oleh Uni Soviet—dikembalikan ke fungsi aslinya dan akhirnya kembali semegah dahulu. Misalnya, Katedral Kristus Juru Selamat yang monumental kembali menjulang di tepian Sungai Moskwa. Katedral itu sebelumnya dihancurkan atas perintah Stalin pada 1931. Umat beragama yang bersembunyi selama masa Uni Soviet pun muncul dan mulai giat mendirikan paroki, panti asuhan, rumah singgah, dan sekolah. Ribuan lelaki diangkat menjadi pendeta dan beribu-ribu lainnya—lelaki dan perempuan—masuk biara, semuanya ingin memperoleh kembali tuntunan agamanya.

Selama hampir seribu tahun, Gereja Ortodoks dengan liturgi dan ikonografinya yang hebat menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan sejarah Rusia. Aku masih cukup Rusia untuk bisa tersentuh melihat agama nenek moyangku hidup kembali. Di saat yang sama, sebagai wartawan Barat, hatiku bertanya-tanya ke mana perjalanan ke masa lalu yang kerap diagungkan tetapi hanya sedikit dimengerti itu akan menuju. Akankah Gereja Ortodoks menjadi kekuatan ampuh bagi reformasi, berani menyatakan kebenaran kepada penguasa Kremlin? Ataukah akan melanjutkan peran yang dimainkannya selama berabad-abad pemerintahan tsar dan kembali menjadi hiasan dan alat negara yang otoriter?

Pertanyaan ini bukan hanya menyangkut gereja; masa depan Rusia juga dipertaruhkan. Sebagaimana ditulis pakar Rusia James H. Billington yang kini menjabat kepala Library of Congress beberapa tahun setelah keruntuhan Uni Soviet: “Kemampuan Gereja Ortodoks memisahkan diri dari negara dan menjadi hati nurani bangsa tersebut menjadi penting untuk menentukan apakah Rusia dapat mencapai budaya madani dan demokratis yang baru atau kembali pada kesewenangwenangan yang tertutup dan berbahaya.” Sejak saat itu, sepertinya kemungkinan yang lebih buruklah yang terjadi dengan para pemimpin gereja bersekutu dengan Kremlin yang agresif dan antidemokrasi. Namun, saat aku kembali ke Murom tahun lalu, aku bertanya-tanya mungkinkah sebagian kesalehan dan kedermawanan St. Juliana berlanjut(97) di gereja yang bangkit kembali.

Saya juga punya alasan untuk berpikir bahwa semangat keterbukaan dan mempertanyakan telah tumbuh di antara sejumlah kaum beriman. Ayahku Pastor (Reverend-102) Alexander Schmemann, seorang teolog dan pastor Ortodoks yang juga keturunan emigran Rusia seperti ibuku, terkenal di kalangan pembelot dan intelektual Uni Soviet lewat buku dan siarannya di Radio Liberty yang disiarkan pemerintah AS ke balik Tirai Besi. Sebagai orang Rusia tulen sekaligus orang Barat yang perwira, sebagian besar hidupnya dihabiskan di Amerika Serikat dan membaktikan sebagian besar di antaranya untuk mengikis kerak kesukuan dari agamanya dan memusatkan perhatian pada pesan universalnya. Pada 2005, catatan harian yang diatulis sejak 1973 hingga ajal menjemput pada 1983 diterbitkan di Rusia. Yang mengejutkanku, buku itu sangat sukses di kalangan umat beragama dan cendekiawan Rusia. Saya ingin tahu mengapa pemikiran pendeta Barat bisa demikian populer dan berpengaruh?!break!

MUROM YANG KEMBALI AKU KUNJUNGI itu tak banyak berubah. Memang ada beberapa klub malam, ATM, pompa bensin, dan papan reklame, tetapi kemakmuran yang mengucur dari Moskwa sepertinya tak sampai ke sini. Masih belum ada jembatan permanen di Sungai Oka, hanya jembatan ponton pada musim panas. Lubang-lubang jalan masih berbahaya, sementara rumah-rumah kayu tampak usang dan doyong. Namun, ada satu perubahan dramatis: berbagai biara dan gereja yang terletak di tebing tinggi pada tepian sungai kini tampak gemilang dalam kebesarannya yang pulih.

Biara Spassky yang dibangun pada akhir abad ke-11 adalah salah satu biara tertua di Rusia. Tentara menggunakannya sebagai barak hingga 1995, dan meninggalkannya dalam keadaan rusak, bau, dan menyedihkan. Lalu, Gereja Ortodoks Rusia menugasi seorang pastor yang energik, Kirill Epifanov, untuk menghidupkan kembali pusat agama yang bersejarah tersebut. Kirill memulainya dengan membangun toko roti untuk menghidupi beberapa gelintir biarawannya. Kemudian, setelah mengumpulkan dana dan tenaga sebisanya, dia membangun kembali gereja dan memulihkan lagi tamannya. Hasilnya mencengangkan: Berbus-bus peziarah datang untuk mengagumi kemegahan abad pertengahan. Tamannya yang terawat memiliki aviari yang berisi burung merak, sementara toko rotinya yang berkembang menyebarkan semerbak aroma roti yang baru dipanggang.

Spassky hanyalah satu di antara ratusan biara yang hidup kembali saat iklim politik mencair, yang dimulai dengan perestroika Mikhail Gorbachev pada akhir 1980-an. Pada 1987 hanya ada tiga biara di Rusia; kini ada 478. Dulu hanya ada dua seminari; sekarang ada 25. Yang paling mencolok adalah ledakan jumlah gereja, dari sekitar 2.000 pada masa Gorbachev, kini mendekati 13.000. Gereja Ortodoks Rusia telah berkembang menjadi institusi besar dengan puluhan penerbit serta ratusan jurnal, surat kabar, dan situs web yang tumbuh pesat.

Saat saya temui, Pastor Kirill baru pulang dari ziarah ke biara-biara Ortodoks Timur di Gunung Athos, Yunani. Pria bertubuh besar, bersuara lantang, dan jenggot hitam lebat itu membagi-bagikan hadiah kepada para rahibnya seperti orang tua penyayang tetapi keras. Pastor yang selalu bergerak diiringi kibaran jubah pendetanya itu terlihat seperti pemimpin teladan yang diperlukan oleh gereja yang baru hidup kembali—seorang pastor dan manajer yang penuh energi, antusiasme, dan iman. Namun, saat menjamu teh di ruang kerja bawah tanahnya, Pastor Kirill meredup.

Menurut Kirill, mengumpulkan uang dan memugar bangunan adalah bagian yang mudah. Peziarah? Sebagian besar adalah “wisatawan religius” yang datang untuk mengumpulkan suvenir. Bahkan biarawannya berpindah-pindah, hari ini di sini, esok di biara lain. Gereja masih belum memiliki kehidupan komunal yang sejati, tidak ada kebangkitan rohani yang sesungguhnya.!break!

“Rezim Uni Soviet adalah produk dari kekafiran, tapi setidaknya, rejim itu membuat umat beragama hidup dalam api iman,” ujar Kirill. “Kini, kami lebih disibukkan dengan melawan sekte-sekte lain dan ‘musuh’ daripada penebusan dosa. Mereka menghancurkan gereja dari dalam.”

Banyak orang, yang buru-buru minta dibaptis saat fajar kebebasan menyingsing, mengakhiri keterlibatan rohani mereka sebatas itu saja, ujarnya. Pendeta dan umat Kristiani lain juga menyuarakan ratapan yang sama tentang turunnya minat beragama di berbagai lapisan masyarakat Rusia, di samping tergelincirnya sikap gereja resmi ke arah xenofobia dan nasionalisme.

Angka kehadiran jemaat di gereja tidaklah pasti karena Gereja Ortodoks Rusia tidak menyimpan daftar anggota atau buku catatan paroki. Menurut Nikolai Mitrokhin, seorang sejarawan dan kritikus gereja, sekitar 60 persen orang Rusia kini menganggap diri mereka sebagai umat Ortodoks—mereka mungkin saja dibaptis, dinikahkan, dan dimakamkan di gereja—tetapi kurang dari satu persen yang benar-benar datang ke gereja sedikitnya sekali sebulan. Sumber lain menyebut angkanya mendekati 10 persen. Salah satu alasan tingkat kehadiran yang rendah ini mungkin karena Gereja Ortodoks kurang ramah pada kaum abangan—sebagaimana yang saya lihat di Murom.

Relikui St. Juliana kini bersemayam di atas pilar dalam Gereja St. Nicholas yang kuning cerah, gereja yang bertengger di tebing yang curam. Saat saya datang untuk berdoa, dua bayi sedang dibaptis. Pastor tambun yang berpeluh tampak tidak sabar menghadapi orang tua dan orang tua baptis yang masih muda, sepertinya ingin cepat-cepat selesai, tak terlalu berminat membuat upacara tersebut menjadi ritual yang dapat dipahami.

“Ayo, ayo, lepaskan bajunya,” bentak si pastor. “Bagaimana saya bisa memasukkannya ke air dalam keadaan seperti ini? Biar dia yang memegang lilin. Bukan! Pakai tangan kanan! Hei, kamu ngapain?” Kedua bayi itu menjerit, lampu blitz kamera menyala, orang tua sibuk, dan tak lama kemudian acara pembaptisan selesai.!break!

Di bagian lain gereja itu, seorang wanita paro baya bertengkuluk putih yang diikat erat memarahi saya karena memotret relikui St. Juliana. “Apakah pastor memberkatimu untuk mengambil foto?” desaknya. “Foto tanpa pemberkatan hanya mendatangkan kejahatan!”

Karena pernah tinggal beberapa tahun di Uni Soviet, saya kenal jenis wanita seperti ini. Selalu ada wanita seperti ini di beberapa gereja yang masih buka pada saat itu, mereka mengepel lantai, mengurus tempat lilin, dan berdiri sepanjang misa sementara ketidaksukaan pemerintah Soviet membuat orang lain takut datang ke gereja. Dapat dikatakan, mereka menjaga gereja selama masa pengekangan yang panjang. Mereka adalah penjaga harta dan budaya: Berdiri seperti ini! Menghadap altar! Tutupi kepalamu! Buat tanda salib! Mereka menyebalkan, tapi gereja banyak berutang budi pada mereka. Jadi, saya melakukan hal yang dilakukan orang Rusia lain apabila menghadapi orang-orang militan ini: Saya membungkuk dengan patuh dan menyimpan kamera.

Kepatuhan dan ritual menguasai Gereja Rusia sejak hari penting tahun 988 tatkala Pangeran Vladimir si penguasa Rus Kiev memerintahkan rakyatnya dibaptis di Sungai Dnieper. Menurut legenda yang dikenal setiap orang Rusia, Vladimir mengirim utusan ke luar negeri dalam rangka mencari agama bagi negaranya yang menyembah berhala. Para utusan yang dikirim ke Konstantinopel pulang dengan terkagum-kagum akan ritual gereja Yunani Timur yang mereka lihat di Hagia Sophia yang saat itu merupakan katedral terbesar di dunia. “Kami tak tahu apakah berada di surga atau di bumi,” lapor mereka.

Agama yang diimpor Pangeran Vladimir membentuk bangsa Rusia dan kemudian pada gilirannya agama itu dibentuk oleh bangsa tersebut. Biara Ortodoks menjadi jantung spiritual, ekonomi, budaya, dan terkadang, pertahanan bangsa itu. Gereja yang menyebar di seluruh Rusia itu kemegahannya sangat menakjubkan dan ritualnya tak berubah dari masa ke masa. Hingga kini bahasa yang dipakai gereja adalah bahasa Slavonik Gerejawi Kuna yang arkais namun merdu. Pastor yang mengenakan jubah berkilau dipisahkan dari jemaat oleh tabir ikon yang rumit, sementara paduan suara menyanyikan sebagian besar liturgi yang kerap memuat himne karya para komposer terbesar Rusia. Bagi jemaat, pengalaman ini seperti masuk dunia lain, bertolak belakang dengan kebaktian Baptis yang singkat dan sederhana.

Pada kunjungan pertama ke Murom pada 1992, saya berdiri terkagum-kagum di depan tempat relikui St. Juliana yang saat itu disimpan di katedral yang baru dibuka kembali. Di sampingnya ada tempat relikui dua pangeran abad ke-12, St. Constantine dari Murom dan putranya St. Michael. Constantine datang ke tempat yang dulu terpencil ini untuk menanamkan agama dan pengaruhnya. Inilah cerita lama Rusia: pangeran pahlawan yang budiman mengembangkan Kerajaan Ortodoks, sementara pekerja gereja yang tak kenal lelah menopang kerajaan itu selama masa krisis. Selama berabad-abad, orang Rusia meyakini diri mereka sebagai masyarakat dengan spiritualitas dan misi istimewa, sebagai “Rusia Suci”.!break!

KEAGUNGAN Rusia Suci yang angker sangat terlihat di kediaman Patriark Alexy II, pemimpin Gereja Ortodoks Rusia yang baru saja wafat, di Moskwa. Para pemuka agama berjubah hitam yang pendiam menyebutnya hanya dengan “Yang Mulia”. Lukisan minyak di atas kanvas pada dinding papan hitam menggambarkan peristiwa-peristiwa epik dalam sejarah religius Rusia. Para prodiakon memberitahu pengunjung harus berdiri di mana saat Yang Mulia masuk ruangan.

Namun, Sang patriark masuk ke ruangan dengan senyum dan salam hangat (kami pernah bertemu beberapa kali di awal 1990-an). Dia meminta teh, lalu dengan ramah menawarkan cokelat. Walaupun menderita gangguan jantung dan pernapasan yang terbukti fatal tak sampai setahun setelahnya, Alexy masih kuat dan aktif untuk ukuran orang berusia 79 tahun. “Setelah didiagnosis sakit, saya tak sesering dulu memimpin misa, tapi saya tetap mengadakan 150 misa setahun,” ujarnya. Lalu, dengan mata bersinar: “Dokter yang mengukur tensi darah saya menyatakan bahwa tekanannya agak tinggi sebelum misa, namun selalu normal setelahnya.”

Alexy memimpin Gereja Ortodoks Rusia sejak gereja itu lahir kembali pada 1990 sampai dia meninggal pada Desember 2008. Kisah Alexy adalah kisah Gereja Ortodoks Rusia dan pergumulannya dengan negara. Alexy yang lahir di Estonia pada 1929 dari keluarga bangsawan emigran Rusia, bertugas sebagai pastor dan uskup selama 40 tahun di bawah rezim Uni Soviet yang mereduksi gereja menjadi “kultus” yang nyaris tak diakui dan memaksa “abdi kultus” itu terus-menerus ikut dalam permainan persekongkolan dan penipuan yang memalukan.

Alexy tak pernah menyangkal bahwa dia bekerja sama dengan “organ” pemerintah, tetapi dia menegaskan bahwa semua yang dia lakukan adalah demi menyelamatkan fungsi mendasar gereja itu. “Pada masa-masa penindasan terberat, gereja tidak kabur ke katakomba,” ujarnya. “Gereja tetap melaksanakan sakramen dan doa.”

Alexy menjadikan hal itu sebagai misi pribadi dalam mengidentifikasi “martir dan penganut yang baru”—para korban penyiksaan komunis yang di mata gereja mati demi agama Kristen. Dia meluangkan waktu Sabtu keempat setelah Paskah untuk misa khusus yang memperingati setidaknya 20.000 “musuh negara Soviet” yang pada puncak Pembersihan Besar 1937-38 ditembak dan dikubur secara massal di selatan Moskwa.!break!

Di sanalah saya bergabung bersama ribuan penduduk Moskwa saat sang patriark, bersama puluhan uskup dan ratusan pastor, merayakan Ekaristi. Beberapa orang menancapkan lilin menyala ke dalam gundukan berumput yang kini menutupi parit tempat para korban dibunuh dan dikubur. Sebuah baliho menampilkan foto beberapa orang yang meninggal di sini: pendeta berjenggot, petani berambut kusut, wanita Yahudi, pelajar—mata mereka membelalak ketakutan atau setengah tertutup pasrah. Sebuah grafik mencatat jumlah yang terbunuh hari demi hari, bulan demi bulan. Pada 10 Desember 1937: 243 dieksekusi. Total bulan itu: 2.376. Pada 28 Mei 1938: 230. Total bulan itu: 1.346.

Ada keluhan bahwa gereja hanya memperingati anggotanya padahal sangat banyak orang dari golongan lain yang terbunuh. Dan memang, ribuan uskup, pastor, diakon, dan biarawati yang meninggal di sini terbaring bersama kaum Bolsyewik, pendukung monarki, pendukung Trotsky, orang yang dituduh kontrarevolusioner, Yahudi, pengungsi komunis Jerman, kulak, “tunasosial”, dan bahkan orang Cina yang menjadi tukang cuci di Moskwa, semuanya terjerat dalam pesta kematian Stalin.

Namun, Patriark Alexy berketetapan hati: “Kami kini kembali ke sejarah kami. Kami harus mengingatnya.” Dia berbicara seakan orang-orang yang telah lama mati ini saudara kandungnya: “Dapatkah Anda bayangkan? Archimandrite Kronid, wakil kepala biara Trinity–St. Sergius Lavra yang terakhir, berusia 83! Dia dibawa dengan tandu lalu ditembak!” Kebencian terhadap kaum gereja yang membara di kalangan komunis revolusioner disulut oleh fakta sejarah. Selama berabad-abad Gereja Ortodoks Rusia bertindak sebagai kaki-tangan tsar. Tsar adalah kepala gereja dan semua penghargaan, promosi, serta penunjukan dalam gereja harus melalui keputusan istana.

Pada 1990 Alexy menjadi patriark pertama sejak Revolusi Rusia yang dipilih tanpa intervensi langsung pemerintah. “Kami berhasil membuat hubungan yang benar-benar baru dengan negara,” ujarnya, “satu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya.” Dia menegaskan bahwa gereja tidak berniat menjadi gereja negara dan menyatakan bahwa dia melarang pemuka agamanya memegang jabatan publik.

Namun, para pengeritik mengatakan bahwa Alexy dan para uskup senior dengan senang hati menerima simbol-simbol gereja negara dan hampir tidak berbuat apa-apa untuk menentang perubahan Kremlin ke arah pemerintahan otoriter. Walaupun Konstitusi Rusia mengharuskan pemisahan gereja dan negara, tiga presiden pasca-Uni Soviet—Boris Yeltsin, Vladimir Putin, dan Dmitry Medvedev—datang secara teratur ke gereja dan dipublikasikan secara luas, sementara uskup dan pastor Ortodoks selalu diundang dalam acara negara.!break!

Kedekatan ini memberi kesan di luar negeri bahwa Gereja Ortodoks bekerja sama dengan Kremlin untuk menciptakan autokrasi Rusia yang baru. Namun, pejabat gereja membantah hal ini. Mereka menyebutkan banyak contoh perbedaan dan sengketa yang belum selesai antara gereja dan pemerintah, mulai dari kuasa atas peninggalan keagamaan hingga pendidikan agama. Jika gereja dan negara bekerja sama, menurut mereka, itu dalam rangka pencarian identitas baru pasca-Soviet yang dalam dan kompleks. Dalam pencarian itu, sejarah kekaisaran Rusia hanyalah salah satu unsur, dan hasil akhirnya masih tidak pasti.

Namun, status Gereja Ortodoks yang didukung pemerintah sering merugikan denominasi dan agama lain—terutama yang dianggap, benar ataupun salah, datang dari Barat.

DI PINGGIRAN kota Rostov-on-Don di selatan, Alexander Kirillov membuka gerbang gereja Baptis yang besar, yang komunitasnya baru saja selesai dibentuk. Menurut penatua itu, pemerintah memanfaatkan masalah birokratis—tidak menyerahkan formulir tahunan—lalu menutup asosiasi yang memayungi gereja itu. “Kami memang salah. Tapi sebenarnya mereka bisa saja mengirim pemberitahuan agar kami menyerahkan formulir itu.” Alasan utama pelarangan itu, katanya, adalah karena gerejanya tidak termasuk kelompok Baptis arus utama yang disetujui pemerintah.

“Mereka tidak terbiasa menerima kenyataan bahwa ada denominasi selain yang ‘resmi’. Jadi dalam anggapan mereka, kami tidak punya hak hidup,” ujar Kirillov. “Gereja Ortodoks adalah denominasi yang dominan, jadi tentu saja mereka terwakili di tiap lingkaran pemerintahan. Saya menonton berita: Mereka membuka institut artileri baru, taruna baru berdatangan, dan ada pastor Ortodoks. Mengapa?”

Salah satu alasannya ada di tahun-tahun awal pasca-Uni Soviet ketika euforia kebebasan berganti dengan kekecewaan pada konsumerisme, korupsi, dan kekacauan yang menyertainya. Kaum reaksioner di kalangan pemerintah dan gereja menuduh Barat sengaja mempermalukan Rusia dan hal ini mengompori kecurigaan pada denominasi dan kelompok yang berkaitan dengan demokrasi liberal. Di kalangan sayap kanan, ada suara agar Rusia Suci kembali ke akarnya.!break!

Beberapa konsep yang sangat mundur dan keliru beredar secara terbuka di gereja-gereja reaksioner dan di situs web nasionalis. Salah satunya adalah usaha mengangkat Rasputin dan Ivan yang Ganas sebagai santo. Dua tokoh berbahaya dalam sejarah Rusia itu direka ulang oleh para ekstremis sebagai “pembela Rusia Suci”.

Di luar St. Petersburg, istana musim panas yang melapuk milik para tsar dan bangsawan agung Rusia lama berdiri di tepi Teluk Finlandia. Di balik reruntuhan istana seperti itu berdiri sebuah kapel mungil yang baru setengah dipugar. Di dalamnya saya melihat sesuatu yang membuat saya terperanjat—ikon besar Joseph Stalin. Dia tidak punya lingkaran cahaya seorang santo, tetapi ada santo yang memberkatinya.

Ikon tersebut melukiskan legenda ketika Stalin saat pecah Perang Dunia II diam-diam mengunjungi St. Matryona dari Moskwa, seorang perempuan buta lumpuh yang banyak didatangi orang untuk minta bimbingan rohani sampai dia meninggal pada 1952. Menurut legenda itu, dia menyarankan agar diktator Uni Soviet itu tidak lari dari Moskwa, tetapi bertahan menghadapi serangan gencar Pasukan Jerman.

Pastor kapel itu, Evstafy Zhakov, adalah seorang nasionalis berapi-api yang sangat dihormati jemaatnya karena khotbahnya karismatis. Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar sayap kanan Zavtra, dia membela ikon tersebut dengan menjelaskan bahwa Rusia memiliki tradisi panjang pemberkatan pejuang oleh orang suci sebelum berperang.

“Tapi Stalin ateis,” sela pewawancara.

“Bagaimana Anda tahu?” balas Pastor Evstafy. Dua patriark saat perang menyatakan bahwa Stalin adalah orang beriman, “dan saya lebih memercayai mereka daripada semua orang liberal dan demokrat.”!break!

SEMENTARA DI BEBERAPA SUDUT TEMARAM gereja para pendeta seperti Pastor Evstafy menjadikan pembunuh massal sebagai pahlawan Rusia Suci, banyak pastor arus utama yang memperjuangkan agenda yang lebih mencerahkan: mengobati pencandu narkoba, menolong anak-anak telantar, dan memberi pengampunan Kristus kepada para penjahat.

Di sebuah panti asuhan yang terang-benderang di St. Petersburg, Nikita yang berusia empat tahun memperlihatkan mainannya kepada saya dan dengan bangga mengatakan bahwa mamanya tak lama lagi akan memberinya hadiah. Dia belum mengerti bahwa dia ditempatkan di panti ini karena ibunya pencandu narkoba—petaka yang berkembang pesat di Rusia—dan si ibu tidak dapat lagi memelihara dirinya. Pastor Alexander Stepanov telah mengasuh mereka yang terbuang semenjak meninggalkan pekerjaannya di bidang fisika untuk menjadi pendeta sekitar 20 tahun lalu. “Saya langsung diperintahkan masuk penjara,” gurau Alexander sambil mengingat bagaimana dia memulai kepastorannya dengan mendiskusikan Injil bersama narapidana. “Saya tidak tahu apa-apa tentang dunia gigi emas dan tato.”

Semua kerja kemanusiaan swasta dilarang keras di Uni Soviet—tidak ada masalah sosial di surga para pekerja itu—tetapi setelah keruntuhan komunisme, Pastor Alexander tidak kekurangan sukarelawan, sementara gereja Barat juga cepat menawarkan bantuan. Kini, Pastor Alexander yang bekerja dari dua bangunan yang dipugar di tepi laut St. Petersburg mengelola gereja paroki, panti asuhan, rumah yatim piatu, rumah singgah bagi remaja bermasalah, serta satu korps relawan yang mengunjungi rumah sakit dan penjara. Dia juga memiliki stasiun radio di loteng, dan kantor perkemahan musim panas di ruang bawah tanah. Tidak ada ruang ataupun waktu yang tersia-sia—ponselnya berdering (dengan nada lonceng gereja) berulang-ulang.

Kini banyak gereja memiliki semacam program bantuan sosial dan ada banyak relawan, kata Pastor Alexander. Namun, pemerintah berusaha dengan sengit memperoleh kembali monopolinya dalam kerja sosial. “Pemerintah tidak ingin mendukung prakarsa sosial gereja,” ujarnya dengan sedih. “Kami terpaksa mengais sisa-sisanya.”!break!

Karena hanya sedikit atau bahkan tidak menentang “pemerintahan otoriter yang tertutup dan berbahaya” yang diperingatkan James H. Billington 15 tahun lalu, gereja gagal melewati ujian yang penting. Namun, semua orang yang pernah menyaksikan cinta dan usaha luar biasa yang dicurahkan untuk memugar gereja dan menghidupkan kembali pekerjaan amal, tak mungkin meragukan bahwa ada sesuatu yang baik dan menjanjikan yang bangkit di Rusia.

Saat saya berjalan di dalam rumah yatim piatu di St. Petersburg atau di biara yang dipugar di Murom, saya terkagum-kagum oleh fakta murni bahwa agama yang sedimikian lama ditindas dengan begitu kejam telah lahir kembali. Saya juga mulai mengerti mengapa buku harian ayah saya demikian populer di kalangan orang Rusia. Jurnal yang dibuatnya selama sepuluh tahun terakhir hidupnya merupakan perjalanan mengarungi gagasan, buku, penemuan, perjuangan, dan kebahagiaan seorang penganut dan pastor Ortodoks. Dia mengalami rasa frustrasi dan kesedihan yang sama seperti yang dikenal oleh orang Rusia di masa sulit terakhir ini, tetapi sesulit apa pun pertempuran itu—bahkan pertempuran terakhirnya melawan kanker—dia, seperti St. Juliana, menerimanya sebagai takdir hidup seorang Kristiani. Itulah intinya: Dalam pemikiran dan hidup sehari-hari pendeta Barat ini, orang Rusia menemukan penegasan bahwa rasa ragu, frustrasi, dan kebingungan mereka tidaklah salah, bahwa mereka sebenarnya normal, asalkan tetap teguh dalam iman dan kedermawanan.

MINGGU PAGI di Murom, saya terbangun pagi-pagi oleh dentang lonceng gereja. Para peziarah berkumpul di biara, tapi pembantu Pastor Kirill yang baik hati menawarkan mengantarku ke Lazarevo, desa St. Juliana. Gereja tua tempat dia beribadah akhirnya dibuka kembali.

Kami berkendara melewati pabrik militer Soviet yang terbengkalai, hingga sampai ke kompleks becek rumah-rumah kayu yang mengelilingi gereja besar lapuk yang sedang dipugar. Batu bata dan sak semen bertumpuk di dinding, dan pintunya dicapai melalui jembatan papan yang bergoyang. Di dalamnya, sebuah tabir ikon sederhana terpasang di altar samping; di sisi lainnya ada ikon Juliana.

Sekitar dua puluh orang penduduk setempat, sebagian besar perempuan, berkumpul untuk mengikuti ibadat Minggu. Tanpa banyak cakap, tanpa politik, tanpa pencarian jiwa, hanya permohonan diam-diam kepada si wanita rendah hati yang tinggal, berdoa, dan menderita di sini, sama seperti mereka: “O engkau yang diberkati, berikan juga syafaat bagi tanah Rusia, dan bagi semua yang tersebar, sehingga mereka menerima kedamaian dan kemakmuran dan segala yang lebih kembali pada kesalehanmu dahulu kala.…”