Venesia yang Punah

By , Jumat, 31 Juli 2009 | 13:42 WIB

Di antara properti yang dia tawarkan ada apartemen tiga kamar tidur yang sudah dipugar di piano nobile (lantai dasar) sebuah palazzo (istana) kecil abad ke-18. “Molto bello, sangat indah” kata Scola sambil mengeluarkan denahnya. Ada studio, perpustakaan, ruang musik, dua ruang keluarga, kamar kecil untuk pembantu, serta pemandangan indah di ketiga sisinya. Hanya sembilan juta euro. Atau kalau mau, ada satu palazzo utuh—Palazzo Nani seluas 5.600 meter persegi yang ditawarkan beserta izin untuk mengubah fungsinya. “Mungkin akan jadi hotel,” kata Scola. Ketika ditanya yang lebih terjangkau, esoknya aku diajak melihat studio 36 meter persegi yang bisa membuat klaustrofobia kaleng sarden, tetapi harganya hanya 260.000 euro. Kemungkinan akan dibeli orang untuk investasi atau pied-à-terre, tempat tetirah. Namun, mungkin bukan orang Venesia.!break!

Jika Anda orang Venesia dan bukan bagian dari Venesia turis yang disebut Henry James sebagai “atraksi intip adegan porno”, jika Anda warga yang tinggal di lantai lima apartemen yang cuma punya tangga (lift jarang ditemukan di Venesia), seseorang yang bangun, berangkat kerja, dan pulang ke rumah, Venesia adalah tempat yang punya sisi berbeda. Yang abnormal menjadi normal. Banjir hal biasa. Sirene berbunyi, pintu besi pelindung diturunkan. Bot yang merupakan bagian penting dalam busana Venesia langsung dipakai. Passerelle—titian yang ditopang kaki baja—sepanjang empat kilometer dipasang. Hidup pun berlanjut.

Di sini, di mana kebutuhan hidup dan mati harus didatangkan melalui air, diangkut susah payah menyeberangi jembatan dan harus digotong menaiki tangga—waktu diukur dengan naik dan surutnya air pasang, sementara ruang dibatasi air. Perhitungan jarak, kalkulasi langkah dan jadwal kapal adalah pekerjaan yang naluriah bagi warga Venesia.

Ketika Silvia Zanon berangkat ke Campo San Provolo, tempat dia mengajar di SMP, dia tahu waktu yang diperlukan untuk jalan kaki ke sana dari apartemennya di Calle delle Carrozze adalah 23 menit. Dia berangkat pukul 7.35. Memi, pemilik trattoria (kedai) di lingkungan itu yang sedang duduk membaca koran, melihatnya, dan mengangguk. Seorang pemuda yang mengumpulkan sampah ke perahu-sampah menggumamkan salam. Silvia berbelok ke Campiello dei Morti dan melewati tembok yang tertutup rumpun mawar putih; satu jembatan, dua lapangan, belok kiri di depan gedung bekas bioskop yang kini jadi restoran bergaya, lalu dia melanjutkan perjalanan ke Frezzeria. Di depan ada Museum Correr dan para wanita pembersih bekerja dengan ember dan sikat sambil berlutut. Dia melintasi Piazza San Marco, untungnya masih kosong di awal pagi. “Aku menapaki jalan batu dan jatuh cinta pada kota ini sekali lagi,” ujarnya. Jembatan lagi, berjalan cepat melintasi Campo San Filippo e Giacomo, dan sampailah di tujuan. Tepat pukul 7.58.

Dengar. Selain dilihat, Venesia juga harus didengar. Pada malam hari, mata tidak terganggu oleh kilau kubah yang bersepuh. Telinga dapat menangkap suara empasan daun jendela kayu, bunyi sepatu menapaki jembatan batu, drama singkat dari bisik percakapan, ombak menghempas kapal ke dinding pelindung laut, bunyi patah-patah titik hujan di kanopi kanvas, dan selalu, selalu, dentang bel yang berat dan sendu. Yang paling menonjol, bunyi Venesia bebas dari bising mobil.

Franco Filippi, penulis dan pemilik toko buku, kerap tidak dapat tidur, jadi dia bangun dan berjalan menyusuri jalan yang seperti labirin, sambil membawa lampu senter. Sesekali dia berhenti untuk menyorotkan sinar senterya ke batu dan fasad stucco di bagian depan gedung hingga lingkar cahayanya menampilkan lingkaran batu berpahat (patera) yang menggambarkan makhluk fantastis yang melata, berjalan, atau terbang. Saat seperti itulah, ketika kota itu tidur dan dia asyik merenungi peninggalan penting masa lalu kota itu, dia merebut kembali Venesianya dari kerumunan orang yang di siang hari memenuhi jalan, alun-alun, dan kanal.

Gherardo Ortalli, profesor sejarah abad pertengahan, menempuh jalan yang tidak sepuitis itu. “Ketika saya dan teman-teman berjalan di campo, saya terpaksa berhenti karena ada yang memotret seakan kami kaum aborigin,” ujarnya. “Mungkin suatu hari nanti begitulah nasib kami. Orang datang dan melihat keterangan di kandang. ‘Beri makan warga Venesia.’ Saat saya datang 30 tahun lalu, jumlah penduduknya 120.000. Kini kurang dari 60.000.”!break!

Penurunan itu sepertinya tak bisa dihentikan. Tahun lalu saja, jumlah penduduk menyusut 444 jiwa. Menurut Ortalli, Venesia akhirnya akan sekadar menjadi taman hiburan bagi orang kaya yang datang naik pesawat jet untuk melewatkan satu-dua hari di palazzo mereka, lalu pergi. Sekarang pukul 10 pagi dan Ortalli menuju kios koran di Campo Santa Margherita untuk membeli surat kabar sebelum berangkat ke kantor, walau sulit mencari koran di antara berbagai suvenir yang dijual untuk turis: miniatur topeng, pin gondola, serta topi badut dari laken. “Semuanya dijual,” kata Ortalli menghela napas. “Bahkan Venesia.”

Mari kita temui pejabat yang mengemban tugas mulia mengelola dampak negatif pariwisata. Namanya Augusto Salvadori dan di kartu namanya tertera jabatannya sebagai Direktur Pariwisata Promosi Tradisi, Sejarah, dan Budaya Venesia Perlindungan Sopan Santun dan Kebersihan KotaPencegahan Kerusakan Akibat Rambu Jalan Cinta bukanlah kata yang terlalu kuat—bahkan, itu tidak cukup menggambarkan perasaan Salvadori terhadap Venesia. Dia bukan hanya direktur pariwisata dan pembina tradisi kota; dia adalah pembela kota Venesia. Andai bisa, Salvadori akan memerintahkan agar setiap balkon berhias bunga kerenyam (dia membagikan 3.000 tanaman dengan harapan seperti itu). Pernah saat dia bersantap di restoran pinggir kanal, dia berdiri untuk memarahi pengayuh gondola yang lewat karena menyanyikan “O Sole Mio,” sebuah lagu Napoli, bukan Venesia.

Pada musim gugur 2007 dia mengutus sekelompok sukarelawan untuk memberi penyuluhan tentang kebersihan di Piazza San Marco. Mereka mengingatkan pengunjung agar mematuhi prinsip perilaku baik: tidak makan, minum, atau duduk selain di tempat yang ditentukan. “Kami berjuang mempertahankan martabat Venesia,” kata Salvadori. Pada musim semi 2008, dia mengumumkan minggu susila; 72.000 kantong plastik dibagikan kepada warga agar mereka dapat membuang kotoran anjing. Bermanfaat, sayangnya tak ada yang menyediakan tempat sampah tambahan untuk plastik itu.

“Kota ini menjadi korban pariwisata,” ujar Salvadori sambil duduk di kantornya di Palazzo Contarini Mocenigo yang dibuat pada abad ke-16. “Apa imbalan yang didapat warga Venesia?” Alisnya berkerenyit. “Layanan umum sulit didapatkan. Selama waktu-waktu tertentu warga Venesia tidak dapat masuk ke dalam transportasi umum yang penuh sesak. Iuran sampah naik; demikian pula biaya hidup.” Demikianlah kenyataannya, terutama menyangkut properti tempat tinggal. Undang-undang 1999 yang memperingan persyaratan konversi bangunan tempat tinggal menjadi tempat menginap turis memperparah krisis tempat tinggal. Sementara itu, jumlah hotel dan wisma meningkat 600 persen dibandingkan 1999.

“Mungkin untuk menanggulanginya,” ujar Salvadori, “kami akan mengenakan pajak kota untuk hotel dan restoran. Ada yang bilang turis tak akan datang lagi—tapi menurutku, masak turis tidak datang hanya karena beberapa euro?” Matanya melotot. “Aku tak bisa mengkhawatirkan hotel. Warga Venesia yang harus kupikirkan. Perjuanganku adalah untuk kota ini. Karena Venesia”—suaranya memelan, dia menyentuh dadanya—“adalah cinta sejatiku.”