Mungkin tak ada solusinya. “Sudah terlambat,” kata Gherardo Ortalli, sejarawan. “Ninewe musnah. Babilonia musnah. Venesia akan bertahan. Tepatnya, batu-batunya akan bertahan. Orangnya tidak.” Namun, saat ini masih ada kehidupan, seperti halnya kematian di Venesia. Franco Filippi berjalan di malam hari mencari ukiran di tembok tua. Silvia Zanon berangkat mengajar, menyeberangi San Marco dan selalu jatuh cinta lagi pada kota ini, dan kalau sedang musimnya, kita masih bisa mendapatkan terung.
“Venesia mungkin akan mati,” tegas Cacciari. “Tapi tak akan pernah berubah menjadi museum. Tak akan pernah.” Barangkali. Pada 1852 kritikus seni John Ruskin menulis bahwa Istana Doge tak akan bertahan lima tahun. Satu setengah abad kemudian, istana itu masih tetap berdiri.
Saat meluncur di atas laguna berair hijau kebiruan, melewati San Giorgio Maggiore ke arah Cekungan San Marco, mendekati Istana Doge yang berhias pilar dan lengkungan, dan melihatnya sebagaimana para doge (hakim) melihatnya—duduk di atas singgasana perahu kencana yang melintasi laut perak, dayung turun naik, panji berkibar ditiup angin—tampak bahwa keindahan yang sulit dipahami dan lapuk itu masih bertahan.
Demikian pula dengan kisah romansa. Apa guna Venesia—begitu memukau dan memikat—kalau tidak menjadi latar terindah bagi hati yang dirundung asmara?
Misalnya, suatu hari di musim gugur belum lama ini, dua anak berumur 12 dan 13 tahun dari Grosseto, sebuah kota di Tuscany, memutuskan untuk minggat. Orang tua tidak menyetujui hubungan mereka, jadi mereka menabung dan menghabiskan uang saku untuk biaya kereta ke Venesia. Mereka kelayapan di jalan-jalan batu yang sempit lalu menongkrong di jembatan yang melintasi kanal. Malam tiba, dan mereka perlu tempat menginap. Mereka sampai di Hotel Zecchini, sebuah wisma sederhana dengan kanopi putih-jingga yang mengundang. Sang kerani mendengar orang memesan kamar dengan suara pelan, dia tengadah, tak melihat apa-apa, berdiri, dan terlihatlah wajah dua orang anak-anak. Karena tidak percaya pada cerita mereka tentang bibinya yang akan segera tiba, dia dengan lembut bertanya dan mendengarkan mereka, lalu memanggil carabinieri.
“Begitu polos dan muda. Mereka hanya ingin bersama,” kata Elisa Semenzato, manajer hotel. Ketika carabinieri tiba, mereka membawa dua sejoli itu tur keliling kota dengan kapal mereka, lalu menuju ke pusat distrik dan menempatkannya mereka dalam kamar terpisah di sebuah bekas biara. Keesokan hari mereka mendapat jamuan tiga hidangan di meja berlapis linen dalam aula yang menghadap halaman abad ke-15.
Cinta berjaya; realitas meningkah. Orang tua mereka, yang tak tergugah oleh kisah Romeo dan Juliet yang dilakukan anak-anaknya, tiba sore itu untuk membawa mereka pulang ke Grosseto, meninggalkan luka cinta pertama mereka dan keindahan kencana Venesia.
Ciuman berakhir. Impian musnah, dan terkadang demikian pula kota. Kita merindukan akhir yang sempurna, sayangnya layar ditutup bersama hati kita.
Keindahan itu demikian sulit.