Venesia yang Punah

By , Jumat, 31 Juli 2009 | 13:42 WIB

Tak ada tempat lain di Italia—tempat malapetaka berhiaskan langgam rokoko dan disulam dengan sifat blak-blakan—di mana situasi krisis bisa dibingkai seelok Venesia. Bukan daratan bukan pula lautan, tetapi suatu tempat nan berkilau di antara keduanya. Kota itu mengapung laksana fatamorgana dari laguna di atas Laut Adriatik. Selama berabad-abad, kota itu terancam hilang ditelan gelombang acqua alta, yakni banjir berkala tiada henti yang diakibatkan oleh peran serta pasang naik dan fondasi yang terus terbenam, tetapi itu bukanlah masalah utama.!break!

Tanya saja Wali Kota Massimo Cacciari, seorang profesor filosofi yang murung dan temperamental, fasih berbahasa Jerman, Latin, Yunani Kuno. Dialah penerjemah Antigone karya Sophocles. Dialah orang yang mengangkat kecerdasan politik hingga nyaris ke stratosfer. Kalau ditanya tentang acqua alta dan Venesia yang tenggelam, jawabnya, “Beli sepatu bot.” Biar mereka bersepatu bot.

Bot memang bisa menahan air, tetapi tak berdaya menghadapi banjir yang lebih mengkhawatirkan daripada meluapnya laguna: banjir wisatawan. Jumlah penduduk Venesia pada 2007: 60.000 jiwa. Jumlah pengunjung 2007: 21 juta jiwa.

Pada Mei 2008 misalnya, saat libur akhir pekan, 80.000 wisatawan membanjiri kota itu laksana kawanan belalang yang menyerbu ladang di Mesir. Lapangan-lapangan umum di Mestre—bagian kota yang berada di daratan, tempat orang memarkir kendaraan lalu naik bus atau kereta api ke pusat bersejarah tersebut—penuh dan tutup. Orang yang sampai ke Venesia memenuhi jalanan laksana kawanan ikan, memamah pizza dan gelato, meninggalkan kertas dan botol plastik.

La Serenissima (“yang terdamai”), demikian julukan Venesia, sangat tak sesuai dengan namanya. Pengunjung dari berbagai penjuru dunia melangkah masuk Venesia, bak pembaptisan yang berukir indah, tangan memegang buku panduan, sementara khayalan bersesakan di dalam tas bersama sikat gigi dan sepatu lapangan. Byurr! Tersingkirlah orang Venesia. Pariwisata bukanlah satu-satunya penyebab meningkatnya eksodus, tetapi ada satu pertanyaan yang menghantui laksana kabut: siapakah yang akan menjadi orang Venesia terakhir?

“Venesia kota yang memesona," ujar direktur sebuah yayasan budaya. Dari jendelanya kita bisa melihat Basin San Marco—armada kapal cepat, gondola, serta bus-air yang disebut vaporetto lalu-lalang tanpa henti—hingga ke Piazza San Marco, pusat wisata Venesia. “Sungguh, kota ini teater raksasa. Jika punya uang, orang dapat menyewa apartemen di palazzo abad ke-17 lengkap dengan pelayan, lalu berpura-pura menjadi bangsawan.”

Silakan duduk. Dalam drama ini, Venesia memainkan dua peran. Ada Venesia yang dihuni penduduk dan Venesia yang dikunjungi wisatawan. Pencahayaan, panggung, serta kostumnya adalah kegetiran yang demikian indah, tetapi alur ceritanya membingungkan, akhir ceritanya tidak pasti. Satu hal yang pasti: semua orang tergila-gila pada tokoh utama.!break!

“Keindahan itu sulit,” ujar Wali Kota Cacciari, seakan dia berbicara tentang estetika di seminar pascasarjana alih-alih menjawab pertanyaan tentang kebijakan kota. Dia mengutip Ezra Pound (penyair AS, dimakamkan di Venesia) yang mengutip kata-kata Aubrey Beardsley untuk William Butler Yeats, sejenis permainan pesan bersambung ala sastra—namun berkias memang merupakan ciri Venesia, sama seperti kelok Grand Canal.

Suasana hati Cacciari, yang kepongahannya sama terkenal dengan kefasihannya berbicara, tampak sama hitamnya dengan rambut dan janggutnya yang lebat. (Tak terlihat uban di kepala pria 63-tahun itu. “Apakah dia mengecat rambutnya?” tanyaku kepada petugas pers. “Tidak. Dia sangat bangga akan hal itu,” jawabnya.) Sehari sebelumnya, hujan lebat membanjiri Mestre. Hujanlah yang menyebabkan banjir, bukan acqua alta, kata Cacciari sambil duduk di kantornya. “MOSE [tembok penahan banjir yang sedang dibangun; lihat halaman XXX] tidak membantu. Pasang naik air laut bukan masalah bagiku. Itu masalah bagi kalian, orang asing.” Akhir diskusi tentang banjir.

Masalahnya, dia menekankan, terletak pada hal lain. Biaya perawatan Venesia: “Dana dari negara tidak cukup untuk menutupi semua biaya—membersihkan kanal, memugar bangunan, menaikkan fondasi. Sangat mahal.’’ Biaya hidup: “Hidup di sini tiga kali lebih mahal daripada Mogliano yang berjarak 20 kilometer. Hanya terjangkau oleh orang kaya atau kaum manula yang punya rumah warisan. Orang muda? Tak terjangkau bagi mereka.”

Lalu, ada pariwisata. Mengenai hal itu, Cacciari sang filsuf berkata: “Venesia bukanlah tempat sentimental bulan madu. Ini tempat yang kuat, kontradiktif, dan perkasa. Ini bukan kota untuk turis. Venesia tak bisa hanya menjadi selembar kartu pos.”

Apakah Anda ingin menutupnya bagi turis? tanyaku. “Ya. Aku ingin menutup Venesia—atau mungkin, setelah dipikir lagi, sedikit tes masuk dan sedikit biaya.” Dia terlihat bimbang. Tambahkan sedikit biaya ke harga yang sudah sangat mahal. Wisatawan membayar sekitar 100 ribu rupiah untuk naik vaporetto, sekitar 130 ribu rupiah untuk minuman ringan di Caffè Florian, sekitar 400 ribu rupiah untuk topeng Karnaval plastik yang mungkin buatan China.

Atau orang dapat membeli palazzo. “Properti di sepanjang Kanal Besar paling berharga,” kata Eugenio Scola saat kami duduk di kantor real estate berlapis kayu sengkuang yang menghadap ke San Marco. Dia mengenakan jas hitam necis, kemeja katun putih licin, celana jin dengan sabuk kulit buaya, serta pantofel kulit hitam yang licin berkilat. Selama bertahun-tahun, pembelinya orang Amerika, Inggris, dan negara Eropa lain, kata Scola menjelaskan. “Namun, kini ada orang Rusia. Juga China.”

Di antara properti yang dia tawarkan ada apartemen tiga kamar tidur yang sudah dipugar di piano nobile (lantai dasar) sebuah palazzo (istana) kecil abad ke-18. “Molto bello, sangat indah” kata Scola sambil mengeluarkan denahnya. Ada studio, perpustakaan, ruang musik, dua ruang keluarga, kamar kecil untuk pembantu, serta pemandangan indah di ketiga sisinya. Hanya sembilan juta euro. Atau kalau mau, ada satu palazzo utuh—Palazzo Nani seluas 5.600 meter persegi yang ditawarkan beserta izin untuk mengubah fungsinya. “Mungkin akan jadi hotel,” kata Scola. Ketika ditanya yang lebih terjangkau, esoknya aku diajak melihat studio 36 meter persegi yang bisa membuat klaustrofobia kaleng sarden, tetapi harganya hanya 260.000 euro. Kemungkinan akan dibeli orang untuk investasi atau pied-à-terre, tempat tetirah. Namun, mungkin bukan orang Venesia.!break!

Jika Anda orang Venesia dan bukan bagian dari Venesia turis yang disebut Henry James sebagai “atraksi intip adegan porno”, jika Anda warga yang tinggal di lantai lima apartemen yang cuma punya tangga (lift jarang ditemukan di Venesia), seseorang yang bangun, berangkat kerja, dan pulang ke rumah, Venesia adalah tempat yang punya sisi berbeda. Yang abnormal menjadi normal. Banjir hal biasa. Sirene berbunyi, pintu besi pelindung diturunkan. Bot yang merupakan bagian penting dalam busana Venesia langsung dipakai. Passerelle—titian yang ditopang kaki baja—sepanjang empat kilometer dipasang. Hidup pun berlanjut.

Di sini, di mana kebutuhan hidup dan mati harus didatangkan melalui air, diangkut susah payah menyeberangi jembatan dan harus digotong menaiki tangga—waktu diukur dengan naik dan surutnya air pasang, sementara ruang dibatasi air. Perhitungan jarak, kalkulasi langkah dan jadwal kapal adalah pekerjaan yang naluriah bagi warga Venesia.

Ketika Silvia Zanon berangkat ke Campo San Provolo, tempat dia mengajar di SMP, dia tahu waktu yang diperlukan untuk jalan kaki ke sana dari apartemennya di Calle delle Carrozze adalah 23 menit. Dia berangkat pukul 7.35. Memi, pemilik trattoria (kedai) di lingkungan itu yang sedang duduk membaca koran, melihatnya, dan mengangguk. Seorang pemuda yang mengumpulkan sampah ke perahu-sampah menggumamkan salam. Silvia berbelok ke Campiello dei Morti dan melewati tembok yang tertutup rumpun mawar putih; satu jembatan, dua lapangan, belok kiri di depan gedung bekas bioskop yang kini jadi restoran bergaya, lalu dia melanjutkan perjalanan ke Frezzeria. Di depan ada Museum Correr dan para wanita pembersih bekerja dengan ember dan sikat sambil berlutut. Dia melintasi Piazza San Marco, untungnya masih kosong di awal pagi. “Aku menapaki jalan batu dan jatuh cinta pada kota ini sekali lagi,” ujarnya. Jembatan lagi, berjalan cepat melintasi Campo San Filippo e Giacomo, dan sampailah di tujuan. Tepat pukul 7.58.

Dengar. Selain dilihat, Venesia juga harus didengar. Pada malam hari, mata tidak terganggu oleh kilau kubah yang bersepuh. Telinga dapat menangkap suara empasan daun jendela kayu, bunyi sepatu menapaki jembatan batu, drama singkat dari bisik percakapan, ombak menghempas kapal ke dinding pelindung laut, bunyi patah-patah titik hujan di kanopi kanvas, dan selalu, selalu, dentang bel yang berat dan sendu. Yang paling menonjol, bunyi Venesia bebas dari bising mobil.

Franco Filippi, penulis dan pemilik toko buku, kerap tidak dapat tidur, jadi dia bangun dan berjalan menyusuri jalan yang seperti labirin, sambil membawa lampu senter. Sesekali dia berhenti untuk menyorotkan sinar senterya ke batu dan fasad stucco di bagian depan gedung hingga lingkar cahayanya menampilkan lingkaran batu berpahat (patera) yang menggambarkan makhluk fantastis yang melata, berjalan, atau terbang. Saat seperti itulah, ketika kota itu tidur dan dia asyik merenungi peninggalan penting masa lalu kota itu, dia merebut kembali Venesianya dari kerumunan orang yang di siang hari memenuhi jalan, alun-alun, dan kanal.

Gherardo Ortalli, profesor sejarah abad pertengahan, menempuh jalan yang tidak sepuitis itu. “Ketika saya dan teman-teman berjalan di campo, saya terpaksa berhenti karena ada yang memotret seakan kami kaum aborigin,” ujarnya. “Mungkin suatu hari nanti begitulah nasib kami. Orang datang dan melihat keterangan di kandang. ‘Beri makan warga Venesia.’ Saat saya datang 30 tahun lalu, jumlah penduduknya 120.000. Kini kurang dari 60.000.”!break!

Penurunan itu sepertinya tak bisa dihentikan. Tahun lalu saja, jumlah penduduk menyusut 444 jiwa. Menurut Ortalli, Venesia akhirnya akan sekadar menjadi taman hiburan bagi orang kaya yang datang naik pesawat jet untuk melewatkan satu-dua hari di palazzo mereka, lalu pergi. Sekarang pukul 10 pagi dan Ortalli menuju kios koran di Campo Santa Margherita untuk membeli surat kabar sebelum berangkat ke kantor, walau sulit mencari koran di antara berbagai suvenir yang dijual untuk turis: miniatur topeng, pin gondola, serta topi badut dari laken. “Semuanya dijual,” kata Ortalli menghela napas. “Bahkan Venesia.”

Mari kita temui pejabat yang mengemban tugas mulia mengelola dampak negatif pariwisata. Namanya Augusto Salvadori dan di kartu namanya tertera jabatannya sebagai Direktur Pariwisata Promosi Tradisi, Sejarah, dan Budaya Venesia Perlindungan Sopan Santun dan Kebersihan KotaPencegahan Kerusakan Akibat Rambu Jalan Cinta bukanlah kata yang terlalu kuat—bahkan, itu tidak cukup menggambarkan perasaan Salvadori terhadap Venesia. Dia bukan hanya direktur pariwisata dan pembina tradisi kota; dia adalah pembela kota Venesia. Andai bisa, Salvadori akan memerintahkan agar setiap balkon berhias bunga kerenyam (dia membagikan 3.000 tanaman dengan harapan seperti itu). Pernah saat dia bersantap di restoran pinggir kanal, dia berdiri untuk memarahi pengayuh gondola yang lewat karena menyanyikan “O Sole Mio,” sebuah lagu Napoli, bukan Venesia.

Pada musim gugur 2007 dia mengutus sekelompok sukarelawan untuk memberi penyuluhan tentang kebersihan di Piazza San Marco. Mereka mengingatkan pengunjung agar mematuhi prinsip perilaku baik: tidak makan, minum, atau duduk selain di tempat yang ditentukan. “Kami berjuang mempertahankan martabat Venesia,” kata Salvadori. Pada musim semi 2008, dia mengumumkan minggu susila; 72.000 kantong plastik dibagikan kepada warga agar mereka dapat membuang kotoran anjing. Bermanfaat, sayangnya tak ada yang menyediakan tempat sampah tambahan untuk plastik itu.

“Kota ini menjadi korban pariwisata,” ujar Salvadori sambil duduk di kantornya di Palazzo Contarini Mocenigo yang dibuat pada abad ke-16. “Apa imbalan yang didapat warga Venesia?” Alisnya berkerenyit. “Layanan umum sulit didapatkan. Selama waktu-waktu tertentu warga Venesia tidak dapat masuk ke dalam transportasi umum yang penuh sesak. Iuran sampah naik; demikian pula biaya hidup.” Demikianlah kenyataannya, terutama menyangkut properti tempat tinggal. Undang-undang 1999 yang memperingan persyaratan konversi bangunan tempat tinggal menjadi tempat menginap turis memperparah krisis tempat tinggal. Sementara itu, jumlah hotel dan wisma meningkat 600 persen dibandingkan 1999.

“Mungkin untuk menanggulanginya,” ujar Salvadori, “kami akan mengenakan pajak kota untuk hotel dan restoran. Ada yang bilang turis tak akan datang lagi—tapi menurutku, masak turis tidak datang hanya karena beberapa euro?” Matanya melotot. “Aku tak bisa mengkhawatirkan hotel. Warga Venesia yang harus kupikirkan. Perjuanganku adalah untuk kota ini. Karena Venesia”—suaranya memelan, dia menyentuh dadanya—“adalah cinta sejatiku.”

Pariwisata sudah menjadi bagian dari landskap Venesia sejak abad ke-14, saat peziarah singgah dalam perjalanannya ke Tanah Suci. Dengan adanya Reformasi Protestan pada 1500-an, pariwisata meredup, tetapi kembali marak pada abad ke-17 saat kelas atas Eropa yang bermaksud mengasah pengetahuan budayanya melakukan “tur agung.”!break!

Jadi, apa bedanya dengan pariwisata saat ini? tanyaku pada Ortalli setelah dia sampai di kantornya. “Ya, dulu memang ada tur agung,” jawabnya. “Lalu warga ikut menyambut mereka. Kini, Venesia didatangi kapal pesiar raksasa. Kapal itu 10 tingkat tingginya. Orang tak akan bisa memahami Venesia dari tingkat 10. Sama saja seperti dari helikopter. Namun, itu tidak penting. Bagi mereka, yang penting adalah sampai di Venesia, mengirimkan kartu pos, dan mengenang betapa indahnya malam yang dilalui.”

Ini penyakit kronis. Awal infeksinya, kata sejarawan seni Margaret Plant, terjadi pada 1880-an ketika kota itu “dielu-elukan dan wajahnya dengan pasti dihadapkan ke masa lalu. Pada titik itu Venesia yang dijaga dengan berapi-api berubah menjadi kota komoditas, sebuah bingkisan yang sangat indah. Warganya dipastikan jadi kelas dua.”

Penyakit ini menular sepanjang jalan, menaiki jembatan, dan menyeberangi piazza. “Hilanglah bagian lain dari Venesia,” kata Silvia Zanon, sang guru, dengan sedih saat La Camiceria San Marco, toko pakaian yang sudah berada di dekat Piazza San Marco selama 60 tahun harus pindah ke tempat yang lebih kecil dan lebih murah karena sewanya naik tiga kali lipat. Toko itu, bagian Venesia yang sangat penting, pernah membuat piama untuk Duke of Windsor dan baju olahraga untuk Ernest Hemingway. “Seperti meninggalkan rumah tempat kita dilahirkan,” kata Susanna Cestari yang sudah bekerja di La Camiceria San Marco selama 32 tahun saat berkemas pindah.

Pada Agustus 2007, Molin Giocattoli, sebuah toko mainan yang sangat populer sehingga jembatan di dekatnya disebut Jembatan Mainan, ditutup. Sejak Desember 2007, ada 10 toko perkakas yang gulung tikar. Di pasar Rialto, penjual cendera mata menggantikan pedagang sosis, roti, dan sayur-mayur. Wisatawan tak akan menyadarinya. Mereka datang ke Venesia bukan untuk membeli terung.

Mereka datang, antara lain, untuk menikah. Industri pariwisata menawarkan pula prosesi pernikahan—720 pada 2007. Sudah dapat diduga, orang luar yang menikah di Venesia tahun itu melebihi penduduk asli hingga hampir tiga kali lipat. Jika ingin menikah, dinas pernikahan Kota Venesia dapat mengadakannya dengan biaya sekitar 24 juta rupiah pada hari biasa. Pada akhir pekan, sekitar 55 juta rupiah. Apakah pasangan yang berbahagia ini ingin upacara nikahnya disiarkan di internet? Sekitar 1,9 juta rupiah, murah kan?

Selama Karnaval—yang dulu merupakan acara masyarakat yang memukau, kini menjadi kegilaan komersial (“pembajakan budaya,” tulis Robert C. Davis, profesor sejarah di Ohio State University, dalam Venice, the Tourist Maze)—warga Venesia yang waras hengkang dari kota itu.

Satu hal yang tidak luntur dari Venesia adalah sifat sinisnya. Ketika eksodus selesai, saat kota itu tinggal hanya bonbonnière (kotak permen) bersepuh nan indah, “Siapa yang akan menjadi warga Venesia terakhir?” demikian pertanyaan kepada seorang wanita yang keluarganya tinggal di kota itu selama beberapa generasi. “Aku tidak tahu,” jawabnya. “Namun, yang pasti warga terakhir itu ingin dibayar untuk hal tersebut.”

Sementara itu, berbagai rencana penyelamatan kota timbul tenggelam seperti pasang air laut dan banyak yang bergantung pada hal ini: Pariwisata di Venesia menghasilkan pendapatan sekitar 20 triliun rupiah setahun, bahkan mungkin lebih karena banyak bisnis yang tidak dilaporkan. Menurut laporan Pusat Kajian Internasional Ekonomi Pariwisata Universitas Venesia, pariwisata adalah “jantung dan hati ekonomi Venesia—baik maupun buruk.”!break!

Ada yang berpendapat bahwa luka Venesia merupakan buah perbuatan sendiri—akibat ketamakan meraup hingga euro, yen, dan dolar terakhir dari pariwisata. “Mereka tidak ingin wisatawan,” kata seorang mantan warga mengamati, “tapi mereka ingin uangnya. Wisatawan Amerika paling disukai. Mereka royal. Turis dari Eropa Timur membawa makanan dan minuman sendiri. Kadang membeli gondola plastik kecil.”

Ada wacana, selalu wacana (ini Italia, Bung) tentang membatasi wisatawan, menarik pajak dari wisatawan, meminta mereka menghindari musim sibuk saat Paskah dan Karnaval, tetapi pariwisata—yang terkait dengan menurunnya jumlah warga, diperumit oleh kekuatan pengusaha hotel, pendayung gondola, pengemudi taksi air, yang ingin menambah jumlah pengunjung—mempersulit pencarian solusi.

“Harus saya ingatkan bahwa penurunan jumlah penduduk... bukan hanya masalah di Venesia tetapi di semua kota bersejarah, bukan hanya di Italia,” ujar Walikota Cacciari mengingatkan. “Yang disebut eksodus ini, yang sudah terjadi sejak dahulu kala, awalnya ditimbulkan oleh masalah tempat tinggal.”

Mungkin tak ada solusinya. “Sudah terlambat,” kata Gherardo Ortalli, sejarawan. “Ninewe musnah. Babilonia musnah. Venesia akan bertahan. Tepatnya, batu-batunya akan bertahan. Orangnya tidak.” Namun, saat ini masih ada kehidupan, seperti halnya kematian di Venesia. Franco Filippi berjalan di malam hari mencari ukiran di tembok tua. Silvia Zanon berangkat mengajar, menyeberangi San Marco dan selalu jatuh cinta lagi pada kota ini, dan kalau sedang musimnya, kita masih bisa mendapatkan terung.

“Venesia mungkin akan mati,” tegas Cacciari. “Tapi tak akan pernah berubah menjadi museum. Tak akan pernah.” Barangkali. Pada 1852 kritikus seni John Ruskin menulis bahwa Istana Doge tak akan bertahan lima tahun. Satu setengah abad kemudian, istana itu masih tetap berdiri.

Saat meluncur di atas laguna berair hijau kebiruan, melewati San Giorgio Maggiore ke arah Cekungan San Marco, mendekati Istana Doge yang berhias pilar dan lengkungan, dan melihatnya sebagaimana para doge (hakim) melihatnya—duduk di atas singgasana perahu kencana yang melintasi laut perak, dayung turun naik, panji berkibar ditiup angin—tampak bahwa keindahan yang sulit dipahami dan lapuk itu masih bertahan.

Demikian pula dengan kisah romansa. Apa guna Venesia—begitu memukau dan memikat—kalau tidak menjadi latar terindah bagi hati yang dirundung asmara?

Misalnya, suatu hari di musim gugur belum lama ini, dua anak berumur 12 dan 13 tahun dari Grosseto, sebuah kota di Tuscany, memutuskan untuk minggat. Orang tua tidak menyetujui hubungan mereka, jadi mereka menabung dan menghabiskan uang saku untuk biaya kereta ke Venesia. Mereka kelayapan di jalan-jalan batu yang sempit lalu menongkrong di jembatan yang melintasi kanal. Malam tiba, dan mereka perlu tempat menginap. Mereka sampai di Hotel Zecchini, sebuah wisma sederhana dengan kanopi putih-jingga yang mengundang. Sang kerani mendengar orang memesan kamar dengan suara pelan, dia tengadah, tak melihat apa-apa, berdiri, dan terlihatlah wajah dua orang anak-anak. Karena tidak percaya pada cerita mereka tentang bibinya yang akan segera tiba, dia dengan lembut bertanya dan mendengarkan mereka, lalu memanggil carabinieri.

“Begitu polos dan muda. Mereka hanya ingin bersama,” kata Elisa Semenzato, manajer hotel. Ketika carabinieri tiba, mereka membawa dua sejoli itu tur keliling kota dengan kapal mereka, lalu menuju ke pusat distrik dan menempatkannya mereka dalam kamar terpisah di sebuah bekas biara. Keesokan hari mereka mendapat jamuan tiga hidangan di meja berlapis linen dalam aula yang menghadap halaman abad ke-15.

Cinta berjaya; realitas meningkah. Orang tua mereka, yang tak tergugah oleh kisah Romeo dan Juliet yang dilakukan anak-anaknya, tiba sore itu untuk membawa mereka pulang ke Grosseto, meninggalkan luka cinta pertama mereka dan keindahan kencana Venesia.

Ciuman berakhir. Impian musnah, dan terkadang demikian pula kota. Kita merindukan akhir yang sempurna, sayangnya layar ditutup bersama hati kita.

Keindahan itu demikian sulit.