Venesia yang Punah

By , Jumat, 31 Juli 2009 | 13:42 WIB

Pariwisata sudah menjadi bagian dari landskap Venesia sejak abad ke-14, saat peziarah singgah dalam perjalanannya ke Tanah Suci. Dengan adanya Reformasi Protestan pada 1500-an, pariwisata meredup, tetapi kembali marak pada abad ke-17 saat kelas atas Eropa yang bermaksud mengasah pengetahuan budayanya melakukan “tur agung.”!break!

Jadi, apa bedanya dengan pariwisata saat ini? tanyaku pada Ortalli setelah dia sampai di kantornya. “Ya, dulu memang ada tur agung,” jawabnya. “Lalu warga ikut menyambut mereka. Kini, Venesia didatangi kapal pesiar raksasa. Kapal itu 10 tingkat tingginya. Orang tak akan bisa memahami Venesia dari tingkat 10. Sama saja seperti dari helikopter. Namun, itu tidak penting. Bagi mereka, yang penting adalah sampai di Venesia, mengirimkan kartu pos, dan mengenang betapa indahnya malam yang dilalui.”

Ini penyakit kronis. Awal infeksinya, kata sejarawan seni Margaret Plant, terjadi pada 1880-an ketika kota itu “dielu-elukan dan wajahnya dengan pasti dihadapkan ke masa lalu. Pada titik itu Venesia yang dijaga dengan berapi-api berubah menjadi kota komoditas, sebuah bingkisan yang sangat indah. Warganya dipastikan jadi kelas dua.”

Penyakit ini menular sepanjang jalan, menaiki jembatan, dan menyeberangi piazza. “Hilanglah bagian lain dari Venesia,” kata Silvia Zanon, sang guru, dengan sedih saat La Camiceria San Marco, toko pakaian yang sudah berada di dekat Piazza San Marco selama 60 tahun harus pindah ke tempat yang lebih kecil dan lebih murah karena sewanya naik tiga kali lipat. Toko itu, bagian Venesia yang sangat penting, pernah membuat piama untuk Duke of Windsor dan baju olahraga untuk Ernest Hemingway. “Seperti meninggalkan rumah tempat kita dilahirkan,” kata Susanna Cestari yang sudah bekerja di La Camiceria San Marco selama 32 tahun saat berkemas pindah.

Pada Agustus 2007, Molin Giocattoli, sebuah toko mainan yang sangat populer sehingga jembatan di dekatnya disebut Jembatan Mainan, ditutup. Sejak Desember 2007, ada 10 toko perkakas yang gulung tikar. Di pasar Rialto, penjual cendera mata menggantikan pedagang sosis, roti, dan sayur-mayur. Wisatawan tak akan menyadarinya. Mereka datang ke Venesia bukan untuk membeli terung.

Mereka datang, antara lain, untuk menikah. Industri pariwisata menawarkan pula prosesi pernikahan—720 pada 2007. Sudah dapat diduga, orang luar yang menikah di Venesia tahun itu melebihi penduduk asli hingga hampir tiga kali lipat. Jika ingin menikah, dinas pernikahan Kota Venesia dapat mengadakannya dengan biaya sekitar 24 juta rupiah pada hari biasa. Pada akhir pekan, sekitar 55 juta rupiah. Apakah pasangan yang berbahagia ini ingin upacara nikahnya disiarkan di internet? Sekitar 1,9 juta rupiah, murah kan?

Selama Karnaval—yang dulu merupakan acara masyarakat yang memukau, kini menjadi kegilaan komersial (“pembajakan budaya,” tulis Robert C. Davis, profesor sejarah di Ohio State University, dalam Venice, the Tourist Maze)—warga Venesia yang waras hengkang dari kota itu.

Satu hal yang tidak luntur dari Venesia adalah sifat sinisnya. Ketika eksodus selesai, saat kota itu tinggal hanya bonbonnière (kotak permen) bersepuh nan indah, “Siapa yang akan menjadi warga Venesia terakhir?” demikian pertanyaan kepada seorang wanita yang keluarganya tinggal di kota itu selama beberapa generasi. “Aku tidak tahu,” jawabnya. “Namun, yang pasti warga terakhir itu ingin dibayar untuk hal tersebut.”

Sementara itu, berbagai rencana penyelamatan kota timbul tenggelam seperti pasang air laut dan banyak yang bergantung pada hal ini: Pariwisata di Venesia menghasilkan pendapatan sekitar 20 triliun rupiah setahun, bahkan mungkin lebih karena banyak bisnis yang tidak dilaporkan. Menurut laporan Pusat Kajian Internasional Ekonomi Pariwisata Universitas Venesia, pariwisata adalah “jantung dan hati ekonomi Venesia—baik maupun buruk.”!break!

Ada yang berpendapat bahwa luka Venesia merupakan buah perbuatan sendiri—akibat ketamakan meraup hingga euro, yen, dan dolar terakhir dari pariwisata. “Mereka tidak ingin wisatawan,” kata seorang mantan warga mengamati, “tapi mereka ingin uangnya. Wisatawan Amerika paling disukai. Mereka royal. Turis dari Eropa Timur membawa makanan dan minuman sendiri. Kadang membeli gondola plastik kecil.”

Ada wacana, selalu wacana (ini Italia, Bung) tentang membatasi wisatawan, menarik pajak dari wisatawan, meminta mereka menghindari musim sibuk saat Paskah dan Karnaval, tetapi pariwisata—yang terkait dengan menurunnya jumlah warga, diperumit oleh kekuatan pengusaha hotel, pendayung gondola, pengemudi taksi air, yang ingin menambah jumlah pengunjung—mempersulit pencarian solusi.

“Harus saya ingatkan bahwa penurunan jumlah penduduk... bukan hanya masalah di Venesia tetapi di semua kota bersejarah, bukan hanya di Italia,” ujar Walikota Cacciari mengingatkan. “Yang disebut eksodus ini, yang sudah terjadi sejak dahulu kala, awalnya ditimbulkan oleh masalah tempat tinggal.”