Memanen Hujan Ala India

By , Senin, 26 Oktober 2009 | 09:49 WIB

Para petani di India sering membahas tentang cuaca, terutama bila awan hujan tidak muncul. Sepanjang bulan Mei tatkala tanah laksana tungku yang membara dan sebagian besar ladang kehilangan tanaman, tatkala sumur-sumur mengering dan Matahari mencibir dari tempat bertenggernya di langit tak berawan, tak ada topik lain yang bisa mengalahkan pokok pembicaraan tentang bila dan bagaimana musim hujan akan tiba. Musim hujan yang biasanya bermula di awal Juni dan selama kurang dari empat bulan selanjutnya menggelontorkan lebih dari tiga perempat curah hujan tahunan India akan berawal dengan lembut seperti rusa, begitu kata para petani. Lalu hujan akan berubah menjadi gajah yang menggemuruh. Namun, bisa juga hujan bermula sebagai gajah dan kemudian menjadi rusa. Atau, bisa juga hujan bertingkah tak menentu dan amat mengganggu seperti ayam. Dengan kata lain, tiada seorang pun yang benar-benar mengenal hujan. Meski begitu, tetap saja semua orang berbicara tentang hujan.!break!

Inilah yang terjadi pada suatu hari di tahun 2008 tatkala sebuah keluarga besar petani di desa Satichiwadi mendaki menuju kuil dewi pelindung desa di puncak bukit. Mereka hendak memohon agar sudi kiranya sang dewi menurunkan hujan. Saat itu paruh bulan Mei, suhu udara menyentuh 41 derajat Celcius, dan Satichiwadi belum lagi menikmati hujan yang sesungguhnya selama tujuh purnama. Satichiwadi adalah desa dengan 83 kepala keluarga yang terletak di lembah nan gersang di negara bagian Maharashtra, sekitar 160 kilometer timur laut Mumbai. Saat itu, hampir seluruh India terperangkap dalam sebuah penantian tahunan. Di New Delhi, panasnya udara telah memicu pemutusan aliran listrik. Badai debu yang menderu-deru dan diperparah dengan lembapnya udara menyebar ke negara-negara bagian di utara. Truk-truk tangki air berjejalan di jalan raya pedesaan, menyalurkan bantuan air minum dari pemerintah ke desa-desa yang sumurnya mengering. Sementara itu, para pembawa berita di radio baru saja melaporkan adanya kumpulan awan hujan melintasi Kepulauan Andaman di tenggara pesisir India.

Sepanjang hari, penduduk desa berspekulasi mengenai kedatangan awan hujan tersebut. Saat-saat tersebut menjadi masa pertaruhan bagi para petani tadah hujan di seantero India. Pada pekan-pekan menjelang awal musim hujan, banyak di antara mereka yang mengeluarkan uang, seringkali pinjaman, dalam jumlah besar untuk membeli pupuk dan benih gandum yang harus ditanam sebelum hujan turun. Banyak cara untuk kalah dalam taruhan ini. Musim hujan yang tertunda dapat menyebabkan benih yang sudah ditanam mengering dan mati. Atau jika hujan turun terlalu deras sebelum benih berakar di tanah, air dapat menyapu bersih benih–benih tersebut.

“Hidup kami sepenuhnya tergantung pada hujan” kata perempuan bernama Anusayabai Pawar dalam bahasa Marathi. “Jika hujan datang, kami memiliki segalanya. Jika hujan tidak datang, kami tidak punya apa-apa.” Sementara itu, orang-orang tetap mengawasi langit yang cerah tak berawan. “Seperti orang bodoh,” ujar seorang petani tua Yamaji Pawar. Keringat bercucuran di balik kopiah-Nehrunya yang putih, “kami hanya duduk diam menunggu.”

Jika dahulu penduduk Satichiwadi percaya bahwa dewa-dewalah yang mengendalikan hujan, kini mereka mulai berpikir di luar batas kepercayaan tersebut. Saat mereka membawa buah pinang dan dupa ke kuil dewi hujan, Saat satu per satu perempuan desa berlutut di depan patung batu perlambang dewi hujan, itu mereka lakukan semata untuk memperbesar kemungkinan hadirnya hujan. Pada saat seperti itulah Bhaskar Pawar, petani berkumis berumur 30-an yang logis cara berpikirnya, duduk di atas tembok kuil yang rendah sambil menatap dengan pandangan kosong saudari-saudarinya berdoa. “Kini, terutama generasi muda di sini paham bahwa masalahnya terkait dengan lingkungan,” ujar Bhaskar.

Satichiwadi terletak di wilayah bayangan hujan negeri itu, kawasan yang khususnya kesulitan air dan meliputi sebagian besar wilayah tengah negara bagian Maharashtra. Setiap tahun setelah menghantam pantai barat India, monsun (iklim yang ditandai oleh pergantian arah angin) musim penghujan bergerak ke pedalaman melintasi dataran dan menabrak puncak-puncak pegunungan Ghats Barat yang mencapai 1.500 meter. Awan pun tertahan, membuat sisi di belakang pegunungan itu kerontang sekering-keringnya.

Dalam upaya mengurangi ketergantungan pada musim hujan, penduduk desa Satichiwadi melibatkan diri dalam program penampungan air nan ambisius selama tiga tahun yang dirancang untuk mengefisienkan penggunaan curah hujan yang hanya sedikit itu. Program tersebut difasilitasi oleh sebuah kolompok nirlaba Watershed Organization Trust (WOTR), tetapi pekerjaannya—yang terutama mengubah bentukan lembah secara besar-besaran—dilakukan sendiri oleh penduduk desa. Rata-rata, kelompok-kelompok petani bekerja lima hari per minggu untuk menggali, memindahkan tanah, dan menanam benih di pematang-pematang selokan yang dibuat. WOTR yang telah menjalankan program serupa di lebih dari 200 desa di India tengah, membayar penduduk untuk sekitar 80 persen dari total waktu kerja yang mereka habiskan, tetapi WOTR juga mensyaratkan setiap keluarga untuk menyumbang tenaga secara sukarela bagi proyek tersebut setiap bulannya—ini sebuah cara yang terencana untuk melibatkan semua orang.

Dilihat dari puncak kuil di atas bukit, hasil kerja keras penduduk tampak nyata: di balik petak-petak rumah beratap genting dan ladang kering yang pecah-pecah, tak sedikit lereng bukit telah dibuat berundak-undak, dan sejumlah parit yang baru digali sudah siap menampung air hujan. Tentunya, jika hujan benar - benar turun.!break!

Di Satichiwadi, harapan terhadap program tersebut sangatlah besar. “Sebentar lagi,” ujar Bhaskar, “kami akan mengetahui hasil dari pekerjaan ini.”

Monsun Asia Selatan yang rumit dan tidak menentu–secara luas dikenal sebagai sistem iklim musiman terkuat di Bumi, memengaruhi hampir setengah dari populasi penduduk dunia—sedari dulu sulit ditebak. Ditambah dengan pemanasan global yang mengacaukan pola cuaca, monsun tidak cuma membuat bingung ilmuwan. Petani India yang secara turun temurun telah menggunakan Panchangam, almanak tebal yang menjelaskan secara rinci pergerakan bintang dalam kepercayaan Hindu, untuk menentukan kapan musim hujan akan tiba dan kapan saat yang tepat untuk menanam benih, kini mengeluh bahwa sistem mereka itu tiada lagi dapat diandalkan.

“Ini bagian dari teka-teki,” ucap BN Goswami, direktur Institut Meteorologi Tropis India yang berbasis di Puna. Setelah mempelajari data curah hujan selama lima dekade di India-tengah, Goswami dan para koleganya menyimpulkan bahwa meski jumlah curah hujan tidak berubah, tetapi hujan turun dalam waktu yang lebih pendek, lebih deras, dengan gerimis yang semakin berkurang. Itu mencerminkan pola cuaca ekstrim yang lebih luas di seluruh dunia.

Selama ini, air tanah telah menolong sejumlah petani mengatasi hujan yang tiada tentu. Namun lapisan demi lapisan air tanah India terus menurun drastis, seiring dengan petani memakai pompa listrik yang mampu menyedot air lebih banyak daripada yang dapat digantikan musim hujan. Berdasarkan data Institut Manajemen Air Internasional yang berbasis di Sri Lanka, setengah dari jumlah sumur yang ada di India barat sudah tidak lagi berfungsi. “Tiga puluh tahun yang lalu kita dapat menemukan air pada kedalaman 10 meter,” kata kepala desa di Khandarmal, sebuah pemukiman berdebu berpenghuni sekitar 3.000 jiwa yang ada di punggung bukit, sekitar 32 kilometer dari Satichiwadi. “Sekarang kami harus menggali hingga 120 meter.” Itupun masih belum pasti. Selama bertahun-tahun, penduduk desa sudah menggali 500 sumur dan si kepala desa memperkirakan, 90 persen di antaranya sudah mengering.

Kekurangan air membuat para petani berkubang dalam lingkaran utang dan kekalutan, mendorong banyak di antara mereka–salah satu perkiraan menyebutkan angkanya mencapai 100 juta per tahun–mencari pekerjaan sebagai buruh pabrik atau buruh di pertanian yang jauh dan lebih baik irigasinya. Pada bulan-bulan kemarau, antara November dan Mei, kita dapat melihat mereka di jalanan: keluarga-keluarga yang bepergian di atas pedati tua yang ditarik kerbau, truk-truk taksi yang dijejali penduduk desa yang pergi dari kampung halaman. Perjudian yang terjadi itu tampaknya sangat tinggi. Berdasarkan catatan pemerintah, jumlah angka bunuh diri di antara petani laki-laki di Maharashtra telah berlipat tiga antara 1995 dan 2004.