Memanen Hujan Ala India

By , Senin, 26 Oktober 2009 | 09:49 WIB

Pada suatu sore di luar sebuah pabrik tebu tak jauh dari Satichiwadi, saya menemui anak lelaki bernamaValmik. Ia berumur 16 tahun, senyumnya manis dan telinga mencuat, mengenakan kaos coklat dan celana yang sobek di bagian bokong. Sambil berdiri di depan gerobaknya yang dipenuhi dua ton tebu baru dipanen, Valmik menjelaskan bahwa ia pernah membawa gerobaknya yang ditarik dua ekor sapi itu sejauh kira-kira 175 kilometer bersama kakak lelaki dan ibunya yang menjanda. Saat itu, mereka hendak bekerja di ladang selama lima bulan dengan alat cuma sebuah sabit. Kerja di ladang tersebut membuat lengan dan telapak tangannya dipenuhi luka-luka.

Dengan suara yang lembut, Valmik menceritakan salah satu paradoks kejam tentang ketergantungan terhadap air hujan. Setahun sebelumnyakeluarga Valmik meminjam 40.000 Rupee (sekitar 80 juta rupiah) dari rentenir untuk membeli benih dan pupuk bagi ladang mereka di kampung. Sayang, hingga kini mereka belum mampu membayar utang tersebut. Mengapa begitu? Hal itu disebabkan oleh kurangnya curah hujan dan mengeringnya benih yang ditanam. Apa yang akan keluarganya lakukan bila mereka sudah mampu membayar utang-utang tersebut? Yaitu, hal yang sama seperti yang mereka lakukan selama tiga tahun terakhir setelah panen tebu: mereka akan meminjam uang lagi, menabur lebih banyak benih, dan menggantungkan harapan pada keramahan musim hujan.

Menimbang besarnya permasalahan air di India, sebuah desa yang terdorong untuk mempertahankan dan melindungi daerah tampungan airnya tampak seperti jawaban yang lemah bagi sebuah krisis air nasional. Namun jika dibandingkan dengan usaha kontroversial pemerintah dalam membangun dam-dam besar dan mengatur penggalian sumur-sumur dalam yang tidak terencana, upaya pengelolaan yang yang hati-hati di tingkat akar rumput untuk mengatur air secara lokal dapat terlihat masuk akal dan berkelanjutan. Ketika saya mengunjungi desa Khandarmal bersama Ashok Sangle, salah satu insinyur teknik sipil yang bekerja untuk WOTR, penduduk di sana mengisahkan kegagalan proyek pembanguan senilai lima milyar rupiah berupa pemompaan air dari sungai terdekat ke atas bukit yang berjarak beberapa kilometer. Sangle geleng-geleng kepala. “Apa logikanya memompa air ke atas lereng, jika lebih mudah menadah hujan yang mengalir ke bawaht?” tanya dia.

Gagasan di balik pembuatan daerah tampungan air ini sangatlah sederhana: Jika manusia menebang lebih sedikit pohon, meningkatkan tutupan lahan, dan membangun serangkaian bendungan dan terasiring yang terencana dengan baik untuk membelokkan dan memperlambat limpasan air hujan ke kaki bukit, tanah akan punya lebih banyak waktu untuk menyerap air. Terasiring dan vegetasi yang baru juga akan mencegah erosi, menjaga agar lapisan tanah-atas yang subur tidak tergerus air atau tertiup angin, dan pada akhirnya bakal mendongkrak produksi lahan pertanian.

“Di mana air hujan berlari, kita membuatnya berjalan; di mana air hujan berjalan, kita memaksanya merangkak,” kata Crispino Lobo, salah satu pendiri WOTR menjelaskan sambil menggunakan kiasan yang kerap dipakai organisasinya ketika memperkenalkan konsep-konsep di balik pekerjaan menampung air kepada para petani. “Di mana air hujan merangkak, kita membuatnya masuk ke dalam tanah.” Maka lebih sedikit air yang terbuang. Dengan begitu air limpasan berkurang. Lapisan-lapisan air tanah di seluruh kawasan pun meningkat, sumur–sumur kemungkinan akan lebih sulit mengering, dan terutama dengan beberapa usaha simultan untuk menggunakan air secara lebih efisien, semua orang tidak perlu lagi terlalu khawatir kapan hujan kembali akan turun.

Manfaat yang akan diperoleh—setidaknya secara hipotesis—dari program itu akan menyebar ke berbagai lini. Bertambahnya lahan produktif berarti bertambahnya pangan dan meningkatnya kualitas kesehatan bagi penduduk desa, dan itu membuka kesempatan untuk menanam tanaman yang menguntungkan. “Hal pertama yang dilakukan petani ketika persediaan air mencukupi dan penghasilan mereka meningkat,” kata Lobo, “adalah mengeluarkan anak-anak mereka dari ladang dan menyekolahkannya.”!break!

Lobo memulai bekerja di bidang perairan sejak awal 1980-an melalui program pembanguan yang didanai oleh pemerintah Jerman. Sekarang WOTR dipimpin oleh Marcella D’Souza, dokter medis sekaligus istri Lobo, yang usahanya dalam melibatkan kaum perempuan dalam pengembangan kembali daerah penampungan air telah diakui dunia internasional. Mereka juga percaya adanya aspek emosional yang penting untuk membuat daerah penampungan air berfungsi. “Jika para petani mampu memperbaiki dan memulihkan kualitas lahan, kita akan melihat perubahan dari cara mereka memandang diri sendiri,” kata Lobo. “Tanah tersebut mencerminkan harapan yang kembali dimiliki petani.”

Yang jelas, ini bukanlah usaha yang selalu mudah. Sejak akhir 1990-an, baik pemerintah India maupun berbagai lembaga nonpemerintah telah menyalurkan bantuan sekitar Rp 5 triliun per tahun untuk pengembangan ulang daerah penampungan air di wilayah pedesaan yang cenderung gersang. Namun para ahli berpendapat, banyak usaha seperti itu yang tidak sepenuhnya berhasil mencapai tujuan, atau terbukti tak berkelanjutan. Sebagian besar karena program tersebut terlalu difokuskan pada aspek teknis peningkatan daerah penampungan air dan terlalu sedikit perhatian pada aspek dinamika sosial desa pertanian. Dengan kata lain, tidak ada usaha yang dapat berhasil tanpa kerjasama dari banyak pihak. Dan jika kita bertanya-tanya, serumit apakah situasi yang dihadapi sekelompok kecil petani pinggiran yang tinggal di desa terpencil, kita harus berkunjung ke Satichiwadi dan tinggal sementara bersama keluarga Kale dan Pawar.

Satichiwadi terletak beberapa kilometer dari jalanan dua jalur yang melintasi dataran tinggi semiarid dengan lahan-lahan pertanian miskin dan pohon-pohon mahoni yang tersebar di beberapa titik. Jalan menuju desa yang selesai dibangun tahun lalu merupakan jalan yang belum diaspal, hanya berupa jalur bekas perataan tanah bebatuan yang menurun dari tebing curam berketinggian sekitar 182 meter menuju ke dataran di lembah. Banyak penduduk desa yang tetap datang dan pergi dengan cara lama, menempuh perjalanan mendaki yang melelahkan selama 45 menit dengan jalan kaki.

Para anggota keluarga Pawar selalu mengatakan bahwa merekalah yang pertama mendiami desa tersebut. Sekitar 100 tahun silam tatkala wilayah ini masih berupa daerah berhutan yang nyaris tak berpenghuni, leluhur Soma Pawar yang merupakan penggembala berpindah suku Thakar lalu turun dari bukit-bukit curam yang terkucil, lalu terkesan pada tempat tersebut. Beberapa waktu setelah itu–yang kurun waktunya masih diperdebatkan–leluhur Goma Genu Kale yang juga suku Thakar, berjalan-jalan ke tempat itu, lalu memutuskan untuk menetap.

Pada suatu masa keluarga Kale dan Pawar hidup berdampingan dengan harmonis dalam sekelompok rumah beratap genteng dan berdinding lumpur di dekat kuil. Mereka bekerja bersama membuka lahan dan menanaminya dengan padi serta beberapa jenis gandum. Kemudian, sekitar 40 atau 50 tahun lalu, keluarga Kale tiba-tiba pindah ke sisi lain lembah. Alasannya juga masih diperdebatkan: keluarga Kale mengatakan bahwa mereka lelah berjalan kaki pergi-pulang hampir sejauh satu kilometer dari rumah ke ladang mereka. Keluarga Pawar mengatakan dengan nada yang mencela, keluarga Kale bosan hidup berdampingan dengan mereka.

Apapun masalahnya, dua keluarga tersebut—walaupun cuma terpisah tak lebih dari 450 meter oleh perladangan—berhenti saling menyapa. Mereka merayakan hari raya untuk menghormati dewi Sati secara sendiri-sendiri dan dengan tegas tidak mau menghadiri pernikahan keluarga lainnya. Keluarga Pawar tidak lagi menyapa anggota-anggota keluarga Kale dengan menyebut nama mereka, sebaliknya menjuluki mereka dengan sebutan “Orang-orang yang Memuakkan”. Daerah tempat keluarga Kale tinggal sekarang dinamakan Vaitagwadi yang berarti Kampung yang Memuakkan.