Para petani di India sering membahas tentang cuaca, terutama bila awan hujan tidak muncul. Sepanjang bulan Mei tatkala tanah laksana tungku yang membara dan sebagian besar ladang kehilangan tanaman, tatkala sumur-sumur mengering dan Matahari mencibir dari tempat bertenggernya di langit tak berawan, tak ada topik lain yang bisa mengalahkan pokok pembicaraan tentang bila dan bagaimana musim hujan akan tiba. Musim hujan yang biasanya bermula di awal Juni dan selama kurang dari empat bulan selanjutnya menggelontorkan lebih dari tiga perempat curah hujan tahunan India akan berawal dengan lembut seperti rusa, begitu kata para petani. Lalu hujan akan berubah menjadi gajah yang menggemuruh. Namun, bisa juga hujan bermula sebagai gajah dan kemudian menjadi rusa. Atau, bisa juga hujan bertingkah tak menentu dan amat mengganggu seperti ayam. Dengan kata lain, tiada seorang pun yang benar-benar mengenal hujan. Meski begitu, tetap saja semua orang berbicara tentang hujan.!break!
Inilah yang terjadi pada suatu hari di tahun 2008 tatkala sebuah keluarga besar petani di desa Satichiwadi mendaki menuju kuil dewi pelindung desa di puncak bukit. Mereka hendak memohon agar sudi kiranya sang dewi menurunkan hujan. Saat itu paruh bulan Mei, suhu udara menyentuh 41 derajat Celcius, dan Satichiwadi belum lagi menikmati hujan yang sesungguhnya selama tujuh purnama. Satichiwadi adalah desa dengan 83 kepala keluarga yang terletak di lembah nan gersang di negara bagian Maharashtra, sekitar 160 kilometer timur laut Mumbai. Saat itu, hampir seluruh India terperangkap dalam sebuah penantian tahunan. Di New Delhi, panasnya udara telah memicu pemutusan aliran listrik. Badai debu yang menderu-deru dan diperparah dengan lembapnya udara menyebar ke negara-negara bagian di utara. Truk-truk tangki air berjejalan di jalan raya pedesaan, menyalurkan bantuan air minum dari pemerintah ke desa-desa yang sumurnya mengering. Sementara itu, para pembawa berita di radio baru saja melaporkan adanya kumpulan awan hujan melintasi Kepulauan Andaman di tenggara pesisir India.
Sepanjang hari, penduduk desa berspekulasi mengenai kedatangan awan hujan tersebut. Saat-saat tersebut menjadi masa pertaruhan bagi para petani tadah hujan di seantero India. Pada pekan-pekan menjelang awal musim hujan, banyak di antara mereka yang mengeluarkan uang, seringkali pinjaman, dalam jumlah besar untuk membeli pupuk dan benih gandum yang harus ditanam sebelum hujan turun. Banyak cara untuk kalah dalam taruhan ini. Musim hujan yang tertunda dapat menyebabkan benih yang sudah ditanam mengering dan mati. Atau jika hujan turun terlalu deras sebelum benih berakar di tanah, air dapat menyapu bersih benih–benih tersebut.
“Hidup kami sepenuhnya tergantung pada hujan” kata perempuan bernama Anusayabai Pawar dalam bahasa Marathi. “Jika hujan datang, kami memiliki segalanya. Jika hujan tidak datang, kami tidak punya apa-apa.” Sementara itu, orang-orang tetap mengawasi langit yang cerah tak berawan. “Seperti orang bodoh,” ujar seorang petani tua Yamaji Pawar. Keringat bercucuran di balik kopiah-Nehrunya yang putih, “kami hanya duduk diam menunggu.”
Jika dahulu penduduk Satichiwadi percaya bahwa dewa-dewalah yang mengendalikan hujan, kini mereka mulai berpikir di luar batas kepercayaan tersebut. Saat mereka membawa buah pinang dan dupa ke kuil dewi hujan, Saat satu per satu perempuan desa berlutut di depan patung batu perlambang dewi hujan, itu mereka lakukan semata untuk memperbesar kemungkinan hadirnya hujan. Pada saat seperti itulah Bhaskar Pawar, petani berkumis berumur 30-an yang logis cara berpikirnya, duduk di atas tembok kuil yang rendah sambil menatap dengan pandangan kosong saudari-saudarinya berdoa. “Kini, terutama generasi muda di sini paham bahwa masalahnya terkait dengan lingkungan,” ujar Bhaskar.
Satichiwadi terletak di wilayah bayangan hujan negeri itu, kawasan yang khususnya kesulitan air dan meliputi sebagian besar wilayah tengah negara bagian Maharashtra. Setiap tahun setelah menghantam pantai barat India, monsun (iklim yang ditandai oleh pergantian arah angin) musim penghujan bergerak ke pedalaman melintasi dataran dan menabrak puncak-puncak pegunungan Ghats Barat yang mencapai 1.500 meter. Awan pun tertahan, membuat sisi di belakang pegunungan itu kerontang sekering-keringnya.
Dalam upaya mengurangi ketergantungan pada musim hujan, penduduk desa Satichiwadi melibatkan diri dalam program penampungan air nan ambisius selama tiga tahun yang dirancang untuk mengefisienkan penggunaan curah hujan yang hanya sedikit itu. Program tersebut difasilitasi oleh sebuah kolompok nirlaba Watershed Organization Trust (WOTR), tetapi pekerjaannya—yang terutama mengubah bentukan lembah secara besar-besaran—dilakukan sendiri oleh penduduk desa. Rata-rata, kelompok-kelompok petani bekerja lima hari per minggu untuk menggali, memindahkan tanah, dan menanam benih di pematang-pematang selokan yang dibuat. WOTR yang telah menjalankan program serupa di lebih dari 200 desa di India tengah, membayar penduduk untuk sekitar 80 persen dari total waktu kerja yang mereka habiskan, tetapi WOTR juga mensyaratkan setiap keluarga untuk menyumbang tenaga secara sukarela bagi proyek tersebut setiap bulannya—ini sebuah cara yang terencana untuk melibatkan semua orang.
Dilihat dari puncak kuil di atas bukit, hasil kerja keras penduduk tampak nyata: di balik petak-petak rumah beratap genting dan ladang kering yang pecah-pecah, tak sedikit lereng bukit telah dibuat berundak-undak, dan sejumlah parit yang baru digali sudah siap menampung air hujan. Tentunya, jika hujan benar - benar turun.!break!
Di Satichiwadi, harapan terhadap program tersebut sangatlah besar. “Sebentar lagi,” ujar Bhaskar, “kami akan mengetahui hasil dari pekerjaan ini.”
Monsun Asia Selatan yang rumit dan tidak menentu–secara luas dikenal sebagai sistem iklim musiman terkuat di Bumi, memengaruhi hampir setengah dari populasi penduduk dunia—sedari dulu sulit ditebak. Ditambah dengan pemanasan global yang mengacaukan pola cuaca, monsun tidak cuma membuat bingung ilmuwan. Petani India yang secara turun temurun telah menggunakan Panchangam, almanak tebal yang menjelaskan secara rinci pergerakan bintang dalam kepercayaan Hindu, untuk menentukan kapan musim hujan akan tiba dan kapan saat yang tepat untuk menanam benih, kini mengeluh bahwa sistem mereka itu tiada lagi dapat diandalkan.
“Ini bagian dari teka-teki,” ucap BN Goswami, direktur Institut Meteorologi Tropis India yang berbasis di Puna. Setelah mempelajari data curah hujan selama lima dekade di India-tengah, Goswami dan para koleganya menyimpulkan bahwa meski jumlah curah hujan tidak berubah, tetapi hujan turun dalam waktu yang lebih pendek, lebih deras, dengan gerimis yang semakin berkurang. Itu mencerminkan pola cuaca ekstrim yang lebih luas di seluruh dunia.
Selama ini, air tanah telah menolong sejumlah petani mengatasi hujan yang tiada tentu. Namun lapisan demi lapisan air tanah India terus menurun drastis, seiring dengan petani memakai pompa listrik yang mampu menyedot air lebih banyak daripada yang dapat digantikan musim hujan. Berdasarkan data Institut Manajemen Air Internasional yang berbasis di Sri Lanka, setengah dari jumlah sumur yang ada di India barat sudah tidak lagi berfungsi. “Tiga puluh tahun yang lalu kita dapat menemukan air pada kedalaman 10 meter,” kata kepala desa di Khandarmal, sebuah pemukiman berdebu berpenghuni sekitar 3.000 jiwa yang ada di punggung bukit, sekitar 32 kilometer dari Satichiwadi. “Sekarang kami harus menggali hingga 120 meter.” Itupun masih belum pasti. Selama bertahun-tahun, penduduk desa sudah menggali 500 sumur dan si kepala desa memperkirakan, 90 persen di antaranya sudah mengering.
Kekurangan air membuat para petani berkubang dalam lingkaran utang dan kekalutan, mendorong banyak di antara mereka–salah satu perkiraan menyebutkan angkanya mencapai 100 juta per tahun–mencari pekerjaan sebagai buruh pabrik atau buruh di pertanian yang jauh dan lebih baik irigasinya. Pada bulan-bulan kemarau, antara November dan Mei, kita dapat melihat mereka di jalanan: keluarga-keluarga yang bepergian di atas pedati tua yang ditarik kerbau, truk-truk taksi yang dijejali penduduk desa yang pergi dari kampung halaman. Perjudian yang terjadi itu tampaknya sangat tinggi. Berdasarkan catatan pemerintah, jumlah angka bunuh diri di antara petani laki-laki di Maharashtra telah berlipat tiga antara 1995 dan 2004.
Pada suatu sore di luar sebuah pabrik tebu tak jauh dari Satichiwadi, saya menemui anak lelaki bernamaValmik. Ia berumur 16 tahun, senyumnya manis dan telinga mencuat, mengenakan kaos coklat dan celana yang sobek di bagian bokong. Sambil berdiri di depan gerobaknya yang dipenuhi dua ton tebu baru dipanen, Valmik menjelaskan bahwa ia pernah membawa gerobaknya yang ditarik dua ekor sapi itu sejauh kira-kira 175 kilometer bersama kakak lelaki dan ibunya yang menjanda. Saat itu, mereka hendak bekerja di ladang selama lima bulan dengan alat cuma sebuah sabit. Kerja di ladang tersebut membuat lengan dan telapak tangannya dipenuhi luka-luka.
Dengan suara yang lembut, Valmik menceritakan salah satu paradoks kejam tentang ketergantungan terhadap air hujan. Setahun sebelumnyakeluarga Valmik meminjam 40.000 Rupee (sekitar 80 juta rupiah) dari rentenir untuk membeli benih dan pupuk bagi ladang mereka di kampung. Sayang, hingga kini mereka belum mampu membayar utang tersebut. Mengapa begitu? Hal itu disebabkan oleh kurangnya curah hujan dan mengeringnya benih yang ditanam. Apa yang akan keluarganya lakukan bila mereka sudah mampu membayar utang-utang tersebut? Yaitu, hal yang sama seperti yang mereka lakukan selama tiga tahun terakhir setelah panen tebu: mereka akan meminjam uang lagi, menabur lebih banyak benih, dan menggantungkan harapan pada keramahan musim hujan.
Menimbang besarnya permasalahan air di India, sebuah desa yang terdorong untuk mempertahankan dan melindungi daerah tampungan airnya tampak seperti jawaban yang lemah bagi sebuah krisis air nasional. Namun jika dibandingkan dengan usaha kontroversial pemerintah dalam membangun dam-dam besar dan mengatur penggalian sumur-sumur dalam yang tidak terencana, upaya pengelolaan yang yang hati-hati di tingkat akar rumput untuk mengatur air secara lokal dapat terlihat masuk akal dan berkelanjutan. Ketika saya mengunjungi desa Khandarmal bersama Ashok Sangle, salah satu insinyur teknik sipil yang bekerja untuk WOTR, penduduk di sana mengisahkan kegagalan proyek pembanguan senilai lima milyar rupiah berupa pemompaan air dari sungai terdekat ke atas bukit yang berjarak beberapa kilometer. Sangle geleng-geleng kepala. “Apa logikanya memompa air ke atas lereng, jika lebih mudah menadah hujan yang mengalir ke bawaht?” tanya dia.
Gagasan di balik pembuatan daerah tampungan air ini sangatlah sederhana: Jika manusia menebang lebih sedikit pohon, meningkatkan tutupan lahan, dan membangun serangkaian bendungan dan terasiring yang terencana dengan baik untuk membelokkan dan memperlambat limpasan air hujan ke kaki bukit, tanah akan punya lebih banyak waktu untuk menyerap air. Terasiring dan vegetasi yang baru juga akan mencegah erosi, menjaga agar lapisan tanah-atas yang subur tidak tergerus air atau tertiup angin, dan pada akhirnya bakal mendongkrak produksi lahan pertanian.
“Di mana air hujan berlari, kita membuatnya berjalan; di mana air hujan berjalan, kita memaksanya merangkak,” kata Crispino Lobo, salah satu pendiri WOTR menjelaskan sambil menggunakan kiasan yang kerap dipakai organisasinya ketika memperkenalkan konsep-konsep di balik pekerjaan menampung air kepada para petani. “Di mana air hujan merangkak, kita membuatnya masuk ke dalam tanah.” Maka lebih sedikit air yang terbuang. Dengan begitu air limpasan berkurang. Lapisan-lapisan air tanah di seluruh kawasan pun meningkat, sumur–sumur kemungkinan akan lebih sulit mengering, dan terutama dengan beberapa usaha simultan untuk menggunakan air secara lebih efisien, semua orang tidak perlu lagi terlalu khawatir kapan hujan kembali akan turun.
Manfaat yang akan diperoleh—setidaknya secara hipotesis—dari program itu akan menyebar ke berbagai lini. Bertambahnya lahan produktif berarti bertambahnya pangan dan meningkatnya kualitas kesehatan bagi penduduk desa, dan itu membuka kesempatan untuk menanam tanaman yang menguntungkan. “Hal pertama yang dilakukan petani ketika persediaan air mencukupi dan penghasilan mereka meningkat,” kata Lobo, “adalah mengeluarkan anak-anak mereka dari ladang dan menyekolahkannya.”!break!
Lobo memulai bekerja di bidang perairan sejak awal 1980-an melalui program pembanguan yang didanai oleh pemerintah Jerman. Sekarang WOTR dipimpin oleh Marcella D’Souza, dokter medis sekaligus istri Lobo, yang usahanya dalam melibatkan kaum perempuan dalam pengembangan kembali daerah penampungan air telah diakui dunia internasional. Mereka juga percaya adanya aspek emosional yang penting untuk membuat daerah penampungan air berfungsi. “Jika para petani mampu memperbaiki dan memulihkan kualitas lahan, kita akan melihat perubahan dari cara mereka memandang diri sendiri,” kata Lobo. “Tanah tersebut mencerminkan harapan yang kembali dimiliki petani.”
Yang jelas, ini bukanlah usaha yang selalu mudah. Sejak akhir 1990-an, baik pemerintah India maupun berbagai lembaga nonpemerintah telah menyalurkan bantuan sekitar Rp 5 triliun per tahun untuk pengembangan ulang daerah penampungan air di wilayah pedesaan yang cenderung gersang. Namun para ahli berpendapat, banyak usaha seperti itu yang tidak sepenuhnya berhasil mencapai tujuan, atau terbukti tak berkelanjutan. Sebagian besar karena program tersebut terlalu difokuskan pada aspek teknis peningkatan daerah penampungan air dan terlalu sedikit perhatian pada aspek dinamika sosial desa pertanian. Dengan kata lain, tidak ada usaha yang dapat berhasil tanpa kerjasama dari banyak pihak. Dan jika kita bertanya-tanya, serumit apakah situasi yang dihadapi sekelompok kecil petani pinggiran yang tinggal di desa terpencil, kita harus berkunjung ke Satichiwadi dan tinggal sementara bersama keluarga Kale dan Pawar.
Satichiwadi terletak beberapa kilometer dari jalanan dua jalur yang melintasi dataran tinggi semiarid dengan lahan-lahan pertanian miskin dan pohon-pohon mahoni yang tersebar di beberapa titik. Jalan menuju desa yang selesai dibangun tahun lalu merupakan jalan yang belum diaspal, hanya berupa jalur bekas perataan tanah bebatuan yang menurun dari tebing curam berketinggian sekitar 182 meter menuju ke dataran di lembah. Banyak penduduk desa yang tetap datang dan pergi dengan cara lama, menempuh perjalanan mendaki yang melelahkan selama 45 menit dengan jalan kaki.
Para anggota keluarga Pawar selalu mengatakan bahwa merekalah yang pertama mendiami desa tersebut. Sekitar 100 tahun silam tatkala wilayah ini masih berupa daerah berhutan yang nyaris tak berpenghuni, leluhur Soma Pawar yang merupakan penggembala berpindah suku Thakar lalu turun dari bukit-bukit curam yang terkucil, lalu terkesan pada tempat tersebut. Beberapa waktu setelah itu–yang kurun waktunya masih diperdebatkan–leluhur Goma Genu Kale yang juga suku Thakar, berjalan-jalan ke tempat itu, lalu memutuskan untuk menetap.
Pada suatu masa keluarga Kale dan Pawar hidup berdampingan dengan harmonis dalam sekelompok rumah beratap genteng dan berdinding lumpur di dekat kuil. Mereka bekerja bersama membuka lahan dan menanaminya dengan padi serta beberapa jenis gandum. Kemudian, sekitar 40 atau 50 tahun lalu, keluarga Kale tiba-tiba pindah ke sisi lain lembah. Alasannya juga masih diperdebatkan: keluarga Kale mengatakan bahwa mereka lelah berjalan kaki pergi-pulang hampir sejauh satu kilometer dari rumah ke ladang mereka. Keluarga Pawar mengatakan dengan nada yang mencela, keluarga Kale bosan hidup berdampingan dengan mereka.
Apapun masalahnya, dua keluarga tersebut—walaupun cuma terpisah tak lebih dari 450 meter oleh perladangan—berhenti saling menyapa. Mereka merayakan hari raya untuk menghormati dewi Sati secara sendiri-sendiri dan dengan tegas tidak mau menghadiri pernikahan keluarga lainnya. Keluarga Pawar tidak lagi menyapa anggota-anggota keluarga Kale dengan menyebut nama mereka, sebaliknya menjuluki mereka dengan sebutan “Orang-orang yang Memuakkan”. Daerah tempat keluarga Kale tinggal sekarang dinamakan Vaitagwadi yang berarti Kampung yang Memuakkan.
Ketika keharmonisan di Satichiwadi memburuk, masalah lain muncul. Ternak domba dan sapi merusaki rerumputan; pohon-pohon terakhir habis ditebangi. Benih-benih tanaman juga mulai melayu. Petani berhenti menanam padi yang memerlukan banyak air. Pada bulan Maret setiap tahun, sebagian besar sumur-sumur di perbukitan mengering.
Penduduk pun pergi ke luar desa mereka untuk bekerja di ladang tebu, menjadi kuli pembangunan jalan, menjadi buruh pabrik batu bata karena pangan dan pendapatan menipis. “Bahkan jika Anda datang ke sini tiga tahun yang lalu pada musim kemarau,” kata Sitaram Kale, petani yang juga memiliki toko kecil di Satichiwadi, “Anda hanya akan menemukan orang-orang jompo dan anak-anak kecil.”!break!
Penduduk desa tidak begitu saja menerima gagasan bahwa mereka dapat bekerja bersama dan menghidupkan kembali lembah tersebut. Diperlukan berbulan-bulan pertemuan untuk membuat mereka mengenyampingkan segala perbedaan, beberapa kali kunjungan penjajakan ke desa lain di mana program pembuatan daerah penampungan air WOTR sudah berhasil baik, juga pendekatan yang tekun selama enam bulan oleh Rohini Raosaheb Hande, pekerja sosial muda nan energik yang tak sungkan mendaki jalan berbukit ke Satichiwadi pada setiap kesempatan selama enam bulan. Hande adalah pekerja sosial kedua yang dikirim WOTR. Pekerja yang pertama menyerah setelah mencoba beberapa minggu. “Kata pekerja itu, tempat itu tidak punya harapan,” kata Hande mengenang. “Tidak ada seorang pun yang bahkan mau berbicara dengannya.”
Sesungguhnya, hambatan seperti itu umum adanya. Di desa Darewadi di mana program pembuatan daerah penampungan air sukses diwujudkan pada 2001, seorang penduduk desa pernah mengusir pekerja WOTR dengan kapak. Hal ini karena WOTR mendorong perubahan pada tatanan sosial secara simultan sekaligus mendorong dilakukannya perubahan lingkungan. Kerap, upaya tersebut ditentang penduduk dan berdampak buruk. Ketetapan dari WOTR misalnya bahwa keputusan yang berkaitan dengan air di tingkat desa haruslah melibatkan perempuan, mereka yang tak punya lahan, dan orang-orang dari kasta rendahan yang pada situasi normal tidak akan dilibatkan. Untuk memberi kesempatan tetumbuhan di daerah tersebut pulih, penduduk desa juga harus setuju untuk tidak membiarkan hewan-hewan ternak makan rumput dengan bebasnya dan tidak menebang pohon untuk kayu bakar selama beberapa tahun. Terakhir, mereka harus yakin pada potensi manfaat program ini sehingga dengan sukarela mau melakukan pekerjaan monoton yang terlihat tidak berprospek, yaitu menghabiskan tiga sampai lima tahun mencangkuli dan menyekopi tanah dan batuan untuk mengubah aliran air hujan.
Di Darewadi, seorang petani tua Chimaji Avahad yang hidup bersama keluarga besarnya di sebuah rumah dua kamar bercat terang dan dikelilingi ladang sorgum mengenang masa-masa sulit ketika harus beradaptasi dengan peraturan baru tersebut. Dia mengaku sempat dibuat tertegun oleh kecerewetan para perempuan di keluarganya. “Setiap dari mereka punya pendapat sendiri. Istri, anak perempuan, menantu perempuan, bahkan cucu perempuan saya.” katanya terkagum-kagum. Istrinya Nakabai, perempuan bertubuh mungil yang wajahnya bijak ditempa kerja di ladang selama bertahun-tahun langsung menambahkan, “Ini adalah perubahan yang sangat bagus.”
Pengamatan berkeliling Darewadi membenarkan hal itu. Desa yang pada satu dekade lebih lalu merupakan tempat yang muram dan gersang sebelum proyek ini dimulai, kini sudah memiliki pepohonan dan semak-semak hijau, juga ditumbuhi rumput-rumput liar. Sumur-sumur di desa itu kini tetap penuh air, meski di puncak kemarau. Dengan air yang lebih banyak, petani Darewadi dapat mencicipi kemakmuran pertama mereka, dari hanya menanam gandum untuk keperluan sehari-hari menjadi mampu juga menanam bawang, tomat, buah delima, dan kacang-kacangan serta menjual kelebihannya ke pasar di kota terdekat. Avahad sekarang mampu menabung 5.000 Rupee (sekitar Rp1 juta) per tahun di bank. Para perempuan Darewadi telah menggunakan pengaruh mereka yang baru untuk melarang penjualan minuman beralkohol dan membentuk koperasi simpanan pinjam milik para perempuan–sebuah proyek yang umum di WOTR–yang mengumpulkan uang bulanan dari hasil bertani dan kemudian dipinjamkan kepada anggota yang membutuhkan untuk membiayai pernikahan, mengurus ternak, atau membayar tagihan listrik yang sekarang sudah masuk desa.
Ketika saya kembali ke Satichiwadi pada bulan Januari, penduduk desa tersebut telah menemukan harapan di tanahnya sendiri. Tunas-tunas pohon di puncak bukit tumbuh subur. Perbukitan dan ladang dihiasi banyak parit dan dam kecil, tampak seperti riak yang bermunculan di kolam berwarna kecoklatan. Bhaskar Pawar, petani yang saat saya temui di kuil delapan bulan silam hanya duduk menunggu apakah program tersebut akan berhasil, dengan semangat melaporkan bahwa permukaan air di sumur-sumur desa telah meningkat sekitar tiga meter dari biasanya. Ini kabar bagus karena musim hujan kembali mengecewakan penduduk. Tidak ada setetes hujan pun turun selama bulan Juni tahun sebelumnya ataupun pada tiga minggu pertama bulan Juli. Benih milet yang sudah ditanam menjadi layu dan mati. “Saat itu merupakan saat yang menyengsarakan.” kenangnya.
Dan ketika hujan turun dengan derasnya di akhir Juli, mereka sudah siap untuk menampung air dan menggunakannya. Mereka telah menghabiskan musim gugur dengan memanen tomat. Sekarang mereka menanam bawang dan sorgum. Mereka juga memanen sesuatu yang tidak nyata: secercah keharmonisan baru.
Di suatu pagi saya melihat Sitaram Kale, si pemilik toko dan salah satu dari sembilan anggota Komite Pengembangan Daerah Penampungan Air Desa, mengendarai sepedanya menuju kediaman keluarga Pawar untuk memberitahu tentang pertemuan yang akan membahas program tersebut. Pertemuan bakal dilaksanakan hari itu di lapangan sekolah yang berdebu di bagian desa tempat tinggalnya. Dia mengabarkan berita tersebut kepada seorang nenek periang bernama Chandrakhanta Pawar yang langsung menyebarkan berita tersebut ke para tetangga dan memastikan bahwa mereka juga akan datang. “Ada pertemuan yang akan diadakan di Kampung Orang-orang Memuakkan,” ia mengumumkan, “Seseorang dari kumpulan Orang-orang Memuakan baru saja datang kemari memberitahu.”