Ketika keharmonisan di Satichiwadi memburuk, masalah lain muncul. Ternak domba dan sapi merusaki rerumputan; pohon-pohon terakhir habis ditebangi. Benih-benih tanaman juga mulai melayu. Petani berhenti menanam padi yang memerlukan banyak air. Pada bulan Maret setiap tahun, sebagian besar sumur-sumur di perbukitan mengering.
Penduduk pun pergi ke luar desa mereka untuk bekerja di ladang tebu, menjadi kuli pembangunan jalan, menjadi buruh pabrik batu bata karena pangan dan pendapatan menipis. “Bahkan jika Anda datang ke sini tiga tahun yang lalu pada musim kemarau,” kata Sitaram Kale, petani yang juga memiliki toko kecil di Satichiwadi, “Anda hanya akan menemukan orang-orang jompo dan anak-anak kecil.”!break!
Penduduk desa tidak begitu saja menerima gagasan bahwa mereka dapat bekerja bersama dan menghidupkan kembali lembah tersebut. Diperlukan berbulan-bulan pertemuan untuk membuat mereka mengenyampingkan segala perbedaan, beberapa kali kunjungan penjajakan ke desa lain di mana program pembuatan daerah penampungan air WOTR sudah berhasil baik, juga pendekatan yang tekun selama enam bulan oleh Rohini Raosaheb Hande, pekerja sosial muda nan energik yang tak sungkan mendaki jalan berbukit ke Satichiwadi pada setiap kesempatan selama enam bulan. Hande adalah pekerja sosial kedua yang dikirim WOTR. Pekerja yang pertama menyerah setelah mencoba beberapa minggu. “Kata pekerja itu, tempat itu tidak punya harapan,” kata Hande mengenang. “Tidak ada seorang pun yang bahkan mau berbicara dengannya.”
Sesungguhnya, hambatan seperti itu umum adanya. Di desa Darewadi di mana program pembuatan daerah penampungan air sukses diwujudkan pada 2001, seorang penduduk desa pernah mengusir pekerja WOTR dengan kapak. Hal ini karena WOTR mendorong perubahan pada tatanan sosial secara simultan sekaligus mendorong dilakukannya perubahan lingkungan. Kerap, upaya tersebut ditentang penduduk dan berdampak buruk. Ketetapan dari WOTR misalnya bahwa keputusan yang berkaitan dengan air di tingkat desa haruslah melibatkan perempuan, mereka yang tak punya lahan, dan orang-orang dari kasta rendahan yang pada situasi normal tidak akan dilibatkan. Untuk memberi kesempatan tetumbuhan di daerah tersebut pulih, penduduk desa juga harus setuju untuk tidak membiarkan hewan-hewan ternak makan rumput dengan bebasnya dan tidak menebang pohon untuk kayu bakar selama beberapa tahun. Terakhir, mereka harus yakin pada potensi manfaat program ini sehingga dengan sukarela mau melakukan pekerjaan monoton yang terlihat tidak berprospek, yaitu menghabiskan tiga sampai lima tahun mencangkuli dan menyekopi tanah dan batuan untuk mengubah aliran air hujan.
Di Darewadi, seorang petani tua Chimaji Avahad yang hidup bersama keluarga besarnya di sebuah rumah dua kamar bercat terang dan dikelilingi ladang sorgum mengenang masa-masa sulit ketika harus beradaptasi dengan peraturan baru tersebut. Dia mengaku sempat dibuat tertegun oleh kecerewetan para perempuan di keluarganya. “Setiap dari mereka punya pendapat sendiri. Istri, anak perempuan, menantu perempuan, bahkan cucu perempuan saya.” katanya terkagum-kagum. Istrinya Nakabai, perempuan bertubuh mungil yang wajahnya bijak ditempa kerja di ladang selama bertahun-tahun langsung menambahkan, “Ini adalah perubahan yang sangat bagus.”
Pengamatan berkeliling Darewadi membenarkan hal itu. Desa yang pada satu dekade lebih lalu merupakan tempat yang muram dan gersang sebelum proyek ini dimulai, kini sudah memiliki pepohonan dan semak-semak hijau, juga ditumbuhi rumput-rumput liar. Sumur-sumur di desa itu kini tetap penuh air, meski di puncak kemarau. Dengan air yang lebih banyak, petani Darewadi dapat mencicipi kemakmuran pertama mereka, dari hanya menanam gandum untuk keperluan sehari-hari menjadi mampu juga menanam bawang, tomat, buah delima, dan kacang-kacangan serta menjual kelebihannya ke pasar di kota terdekat. Avahad sekarang mampu menabung 5.000 Rupee (sekitar Rp1 juta) per tahun di bank. Para perempuan Darewadi telah menggunakan pengaruh mereka yang baru untuk melarang penjualan minuman beralkohol dan membentuk koperasi simpanan pinjam milik para perempuan–sebuah proyek yang umum di WOTR–yang mengumpulkan uang bulanan dari hasil bertani dan kemudian dipinjamkan kepada anggota yang membutuhkan untuk membiayai pernikahan, mengurus ternak, atau membayar tagihan listrik yang sekarang sudah masuk desa.
Ketika saya kembali ke Satichiwadi pada bulan Januari, penduduk desa tersebut telah menemukan harapan di tanahnya sendiri. Tunas-tunas pohon di puncak bukit tumbuh subur. Perbukitan dan ladang dihiasi banyak parit dan dam kecil, tampak seperti riak yang bermunculan di kolam berwarna kecoklatan. Bhaskar Pawar, petani yang saat saya temui di kuil delapan bulan silam hanya duduk menunggu apakah program tersebut akan berhasil, dengan semangat melaporkan bahwa permukaan air di sumur-sumur desa telah meningkat sekitar tiga meter dari biasanya. Ini kabar bagus karena musim hujan kembali mengecewakan penduduk. Tidak ada setetes hujan pun turun selama bulan Juni tahun sebelumnya ataupun pada tiga minggu pertama bulan Juli. Benih milet yang sudah ditanam menjadi layu dan mati. “Saat itu merupakan saat yang menyengsarakan.” kenangnya.
Dan ketika hujan turun dengan derasnya di akhir Juli, mereka sudah siap untuk menampung air dan menggunakannya. Mereka telah menghabiskan musim gugur dengan memanen tomat. Sekarang mereka menanam bawang dan sorgum. Mereka juga memanen sesuatu yang tidak nyata: secercah keharmonisan baru.
Di suatu pagi saya melihat Sitaram Kale, si pemilik toko dan salah satu dari sembilan anggota Komite Pengembangan Daerah Penampungan Air Desa, mengendarai sepedanya menuju kediaman keluarga Pawar untuk memberitahu tentang pertemuan yang akan membahas program tersebut. Pertemuan bakal dilaksanakan hari itu di lapangan sekolah yang berdebu di bagian desa tempat tinggalnya. Dia mengabarkan berita tersebut kepada seorang nenek periang bernama Chandrakhanta Pawar yang langsung menyebarkan berita tersebut ke para tetangga dan memastikan bahwa mereka juga akan datang. “Ada pertemuan yang akan diadakan di Kampung Orang-orang Memuakkan,” ia mengumumkan, “Seseorang dari kumpulan Orang-orang Memuakan baru saja datang kemari memberitahu.”