Tibet yang Lain

By , Rabu, 25 November 2009 | 10:35 WIB

Beberapa detik pertama insiden di Urumqi hampir terlihat sebagai sesuatu yang menggembirakan mengingat apa yang terjadi pekan sebelumnya. Detik-detik itu tidak memberi pertanda apapun tentang apa yang bakal terjadi selanjutnya. Pada hari di bulan Juli tersebut, angin sejuk berembus di Urumqi sehingga banyak warga yang keluar rumah. Beberapa toko masih tutup karena jendelanya pecah, tetapi para penjaja makanan terlihat mendorong gerobak mereka ke jalan. Sepekan sebelumnya di kota ini pecah bentrokan antarsuku, hampir 200 orang tewas dalam salah satu unjuk rasa yang paling mematikan di China sejak pembantaian Lapangan Tiananmen dua dasawarsa lalu. Jadi, pemerintah China mengirimkan puluhan ribu aparat keamanan ke Urumqi, ibu kota Daerah Otonomi Xinjiang Uighur untuk memulihkan ketertiban antara suku Han dan Uighur. Suku Han mendominasi masyarakat China, tetapi Uighur, bangsa Asia Tengah yang berbahasa Turki, mengklaim bahwa tanah perbatasan di wilayah barat itu sebagai tanah leluhur mereka.!break!

Kembali pada detik-detik awal insiden, aparat keamanan suku Han berbaris di sepanjang semua jalan di kawasan suku Uighur di kota itu. Mereka tampak menakutkan dengan perlengkapan anti huru-hara dan senapan otomatis. Satu-satunya suara berasal dari pelantam di atas truk yang perlahan melintasi jalan-jalan pasar, menyiarkan kabar baik tentang keharmonisan etnis. Jika ada keresahan di Urumqi Senin itu, hal itu terbungkus dalam bisu.

Sebagian besar suku Uighur beragama Islam dan sekitar tengah hari saya berdiri di jalan di depan masjid agung dan bertanya-tanya ada berapa banyak orang di dalamnya. Seakan merupakan jawaban, massa membanjir keluar, ratusan orang terdorong dan terjatuh ke jalan. Penonton melihat, bertanya-tanya, tetapi massa yang keluar hanya memberikan isyarat yang aneh dan tak dapat dimengerti: banyak yang tak sempat memakai sepatu dan berlari hanya memakai kaus kaki. Mereka menjerit kaget tetapi juga mungkin bergembira, sementara ekspresi wajah mereka tampak seperti takut atau senang. Jika mereka melarikan diri dari bahaya, tak ada tanda-tandanya, dan kerumunan itu terpecah, bergegas ke arah yang terpisah. Dalam beberapa saat mereka menghilang.

Kemudian, muncullah tiga lelaki dari dalam masjid, tangan mereka memegang sesuatu yang mirip tongkat kayu. Seorang berbaju biru, satu berbaju hitam, dan satu lagi berbaju putih. Mereka berteriak dan tersenyum yang membuat wajah mereka tampak ceria. Unjuk rasa mereka terlihat sembrono: tidakkah mereka melihat polisi China di tiap sudut atau mendengar berita dari pelantam tentang kabar gembira yang terjadi?

Mereka berbelok ke selatan. Ketiganya berjalan dengan langkah-langkah panjang yang ganjil sambil mengayun-ayunkan tongkat di atas kepala, seperti tiga mayoret yang memutar-mutar tongkat yang ditinggalkan drumbennya. Mereka melewati barisan kios di pasar tempat orang-orang berteriak menyuruh mereka menghentikan apapun yang hendak mereka lakukan. Pemilik toko membanting pintu kedainya tertutup. Setelah dua blok, ketiganya berhenti dan berbalik kembali ke utara; persis sebelum mereka sampai ke tempatku, mereka menyeberang jalan. Mereka masih mengacungkan benda yang kemungkinan besar pedang berkarat.!break!

Begitu sampai di seberang, mereka mulai berlari menuju sekelompok aparat China yang bersenjata. Lelaki berbaju biru berlari di depan; sepertinya pasukan keamanan tidak siap, karena mereka berbalik dan lari. Detail kejadian berikutnya—arah si pria yang berlari, bajunya berkibar, udara yang sejuk aneh—terpotong oleh suara tembakan. Tetapi ketiga orang Uighur itu tidak takut mati. Mereka memburu kematian.

Perjuangan bangsa Tibet untuk meraih kemerdekaan dari China telah lama menarik perhatian Barat. Hanya sedikit orang yang tahu tentang perjuangan yang dapat dikatakan lebih genting tak jauh dari sana: perjuangan suku Uighur. Ketidaktahuan tersebut ironis mengingat Barat sudah memainkan peran tanpa sadar dalam krisis yang terjadi itu—dan karena Uighur yang budayanya kini tengah terancam hilang pernah mendiami simpul dunia beradab.

Xinjiang terletak di tengah Asia, dikelilingi beberapa pegunungan tertinggi di Bumi, seakan ada tali yang merapatkan puncak dunia seperti pundi-pundi uang. Jalan yang melintasi pegunungan bersalju itu dilewati saudagar dan kelana zaman dahulu di sepanjang jalur yang kemudian terkenal sebagai Jalur Sutra. “Mereka berkata ini tempat tertinggi di dunia,” tulis Marco Polo tentang pendakiannya di pegunungan Pamir dari arah Afghanistan. Saat dia melewati jalan gunung itu, sampailah dia di tanah air Uighur dan mengaguminya: “Dari negeri ini, banyak saudagar yang menyebar ke seluruh dunia.”

Kawasan tersebut menjadi titik tumpu perimbangan Asia dan Eropa. Penjarah Turki dan kemudian Jenghis Khan, umat Buddha dan kemudian Muslim, saudagar dan berbagai suku, misionaris dan biksu—semuanya melintasi persimpangan antara kedua belahan dunia tersebut dan masing-masing meninggalkan sesuatu dalam budaya Uighur. Saya melihat seorang perempuan Uighur yang berjilbab menggendong bayinya, rambut bayi itu dicukur sehingga membentuk pola yang biasa digunakan dukun pra-Islam untuk mengusir roh jahat yang hendak mencuri bayi. Sejarah Xinjiang juga terlukis di wajah masyarakatnya: wajah hitam dengan mata bulat. Juga wajah putih dengan mata sipit. Dan terkadang mata biru dengan rambut pirang.!break!

Geografi melindungi mosaik budaya Uighur di Hotan yang terletak jauh di sisi barat daya Xinjiang. Barisan pegunungan yang tertutup salju nan menjulang menjadi latar kota itu, sementara di depannya terbentang Taklimakan, gurun yang luasnya sekitar dua kali Pulau Jawa dan terkadang dijuluki sebagai Laut Kematian. Mayoritas penduduk Hotan adalah petani setiap hari Minggu adalah hari pasar yang diadakan di luar kota. Di tempat itulah pada hari pasar anak-anak dapat makan es manis yang diserut dari balok es yang hanyut di Sungai Karakax (Giok Hitam), sementara kaum perempuan memilih-milih dan belanja sutra yang dijajakan dalam tenda-tenda sementara para lelaki bercukur sambil bergurau.

Itu adalah pemandangan masa lalu, walau sesekali terlihat adanya kehadiran teknologi: pembuat pisau duduk berderet, masing-masing di belakang sepeda kuno yang dimodifikasi sebagai mesin pemutar gerinda sehingga terlihat seperti gerombolan agresor yang menaiki sepeda yang memercikkan api. Seorang pemuda Uighur bernama Otkur (nama warga Uighur di Xinjiang diubah demi keamanan) berbagi semangkuk paru kambing denganku dan setelah itu kami mendekati sebuah peralatan mengagumkan: ayunan setinggi gedung dua lantai dengan bangku besar yang muat untuk dua orang berdiri. Otkur tersenyum. “Untuk bermain,” ujarnya. Dua orang perempuan memanjat ke atas bangku ayunan dan berayun sangat tinggi hingga hilang ditelan cabang pohon.

Di kota aku bertemu Dawud, ahli musik yang mengajar sekelompok kecil siswa. Di sekolahnya, sebuah mural (lukisan di dinding) menggambarkan mashrap, pertemuan tradisional para lelaki—yang kini diatur ketat oleh pemerintah China—tempat orang Uighur bermain musik, membaca puisi, dan bersosialisasi. Dawud membuat pemetik dawai dari kawat dan benang, lalu memainkan jarinya di atas lima dawai rebab untuk menyajikan serangkaian lagu nan elusif yang akar musiknya paling tidak telah berusia lima abad.

Berbagai unsur yang membentuk kehidupan suku Uighur itu menekankan hal yang penting tentang suku itu secara keseluruhan: kehidupan berabad-abad di lokasi persinggahan jalur Eropa-Asia membuat mereka menjadi masyarakat yang kompleks sehingga tak mudah digolongkan. Namun, perlahan dunia melupakan hal tersebut, dan kelalaian itu menyebabkan bencana.!break!