Tibet yang Lain

By , Rabu, 25 November 2009 | 10:35 WIB

Saat Jalur Sutra menyepi dan perdagangan memindahkan jalurnya ke laut, baik Timur maupun Barat kehilangan minat terhadap Uighur dan benteng pegunungannya. Selama sekian generasi China tak melihat hal menjanjikan di tanah terpencil ini—Xinjiang berarti “perbatasan baru”—karena orang China mengutamakan pertanian dan alam liar di barat hanya berisi debu dan batu. Masyarakat di tanah terpencil itu juga cuma makan daging domba, bukan daging babi. Pada 1932, seorang opsir Inggris yang berkunjung ke Xinjiang menulis ramalan kelam, “Mungkin China yang tengah bangkit, yang tak punya tempat bagi jutaan warganya, akan berpikir jernih untuk mengembangkan [xinjiang] dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan Barat.” Namun, selama awal abad ke-20 pemerintah China tidak mengembangkan pengaruhnya ke daerah pinggiran dan suku Uighur dua kali memproklamasikan kemerdekaannya. Upaya kedua penentuan nasib sendiri, pada 1944, bertahan lima tahun, sampai Mao naik ke tampuk kekuasaan dan Partai Komunis China mengirimkan kekuatan militer dan kemudian membuat tempat pengujian nuklir Lop Nur di Xinjiang untuk memastikan kekuasaannya.

Menyadari bahwa kawasan kosong yang luas tersebut (jika memang tidak ada alasan yang lain) dapat menjadi pemisah antara China dan pengaruh luar, negeri pimpinan Mao itu membuat program Korps Konstruksi dan Produksi Xinjiang—gabungan antara pertanian, garnisun tentara, dan penjara—tempat pendatang dari berbagai provinsi China yang lain bercocok tanam dan menjaga perbatasan. Kedatangan pertama, pada 1954, termasuk 100.000 tentara yang dipecat. Ada yang dipaksa, tetapi aliran pendatang semakin besar saat pemerintah memperpanjang jalur kereta api ke barat hingga Urumqi pada 1962 dan menjanjikan makanan dan pakaian untuk memikat warga dari kota-kota yang terlalu padat seperti Shanghai.

Sementara itu, China menemukan bahwa peran Xinjiang jauh dari sekadar pelindung perbatasan: daerah itu memiliki sesuatu yang penting bagi kelangsungan hidup bangsa Bangsa China. Xinjiang memiliki sekitar 40 persen cadangan batubara dan lebih dari seperlima gas alam China. Yang terpenting, Xinjiang memiliki hampir seperlima cadangan terbukti minyak bumi negara itu, walaupun Beijing mengklaim cadangannya hingga sepertiga. Itu belum menghitung kandungan emas, garam, dan mineral lainnya yang berlimpah. Xinjiang tidaklah kosong. Justru strategis. Bersama kesadaran itu, hal-hal lain menjadi tampak jelas bagi para pemimpin China: Xinjiang adalah wilayah terjauh yang terbesar. Wilayah itu berbatasan dengan negara lain dalam jumlah yang lebih banyak daripada provinsi lainnya. Xinjiang dihuni kelompok suku yang belum lama ini sudah dua kali mencoba memerdekakan diri.

Pada 1947, pada saat perjuangan kemerdekaan Uighur yang kedua, ada sekitar 220.000 orang Han China di Xinjiang atau sekitar 5 persen dari penduduk provinsi itu. Orang Uighur berjumlah sekitar tiga juta, atau 75 persen, sisanya campuran berbagai suku Asia tengah. Pada 2007 penduduk Uighur meningkat hingga 9,6 juta. Namun, suku Han membengkak hingga 8,2 juta.!break!

Beberapa orang Uighur memanfaatkan pertambahan populasi itu. Pada 1980-an di Urumqi yang berkembang, seorang penatu bernama Rebiya Kadeer mengembangkan usahanya menjadi toserba, lalu membangun usaha itu menjadi kerajaan niaga internasional. Perempuan itu menjadi salah satu orang terkaya di China dan menjadi inspirasi orang sebangsanya—perempuan Uighur yang diliput Wall Street Journal Asia dan bertemu pengusaha seperti Bill Gates dan Warren Buffett. Dalam berbagai segi, Rebiya seakan menjadi simbol Xinjiang: dalam dua dasawarsa terakhir abad ke-20, PDB Sayangnya, lebih banyak orang Uighur yang merana. Bisnis penting di Xinjiang adalah minyak bumi yang semuanya dikendalikan dari Beijing oleh perusahaan energi milik negara. Banyak pekerjaan bagus di Xinjiang adalah menjadi pegawai negeri dan para pekerja lebih mudah mendapat posisi lebih baik jika bergabung dengan Partai Komunis yang mewajibkan mereka meninggalkan agama. Namun, sebagian besar orang Uighur tak mau melakukannya. Hasilnya adalah ironi yang menghasilkan ketegangan yang tinggi: sementara pemukim Han membanjir, orang Uighur, yang tak bisa mendapatkan pekerjaan di tanah airnya yang sangat luas dan makmur, hijrah ke timur untuk bekerja di pabrik swasta di kota-kota pantai yang padat.

Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, perlawanan lokal meledak—bervariasi dalam skala maupun tingkat kekerasan—di sekitar Xinjiang. Selama 1980-an para pelajar Uighur memerotes perlakuan polisi dalam sejumlah insiden; pada 1990 sebuah kerusuhan di selatan Kashgar yang memerotes batasan kelahiran menyebabkan jatuhnya sekitar 50 korban. Pada 1997 ratusan orang di kota Gulja berpawai menentang pelarangan ibadah Islam dan mereka ditangkap; jumlah korban tak diketahui. Banyak contoh lain, termasuk bom bus dan pembunuhan.

Pemerintah China sadar bahwa mereka punya masalah di Xinjiang, sama seperti masalah yang mereka hadapi di Tibet yang bertetangga. Selain mengatur mashrap—pertemuan tradisional itu—pemerintah memantau khotbah di masjid, khawatir kalau khotbah itu memicu protes. Secara umum, pejabat mengecilkan kerusuhan sebagai perbuatan segelintir “bandit” di tengah masyarakat Uighur yang hidup bahagia. Pada awal September 2001, Sekretaris Partai Komunis Xinjiang Wang Lequan mengumumkan di Urumqi bahwa “masyarakat stabil, mereka hidup dan bekerja dengan tenang dan damai.”

Beberapa hari kemudian, Beijing memeroleh alat propaganda ampuh yang tak terduga: Peristiwa 11 September 2001.!break!

Saat AS dan banyak negara Barat melancarkan “perang terhadap teror,” China mengenali momentum opini publik global dan memilih jalur baru. Perubahan itu terjadi begitu cepat dan drastis. Pada 11 Oktober juru bicara Kementerian Luar Negeri China menggambarkan China sebagai “korban terorisme internasional.” Lalu pemerintah mengeluarkan laporan tentang kerusuhan di Xinjiang yang mengambinghitamkan Osama bin Laden. “Ini strategi yang efektif,” ujar James Millward, profesor di Georgetown University sekaligus pakar tentang Xinjiang, “karena di AS orang melihat Muslim di suatu tempat yang resah dan mungkin brutal, dan orang AS berasumsi itu karena alasan agama.”

Dan begitu saja, orang Uighur—dengan budayanya yang kompleks, kekayaan sejarahnya, dan banyaknya penderitaan mereka akibat negara China—masuk ke dalam klasifikasi sederhana. China meminta AS memasukkan kelompok separatis militan Uighur ke dalam daftar yang dimiliki AS tentang organisasi teroris, tetapi permintaan itu ditolak—setidaknya pada awalnya.

Pada Desember 2001, 22 orang Uighur ditangkap di Pakistan dan Afghanistan, tempat mereka mungkin mendapat pelatihan senjata dengan tujuan melawan militer China di Xinjiang. Orang-orang itu ditangkap oleh para pemburu hadiah, diserahkan kepada militer AS, lalu dikirim ke Guant·namo Bay (beberapa tahun kemudian pengadilan AS memerintahkan agar mereka dibebaskan.) Pada Agustus 2002, Deputi Menteri Luar Negeri AS Richard Armitage mengunjungi Beijing untuk mendiskusikan, salah satunya, misi AS ke Irak. Saat berada di sana, dia mengumumkan perubahan sikap AS: Kelompok Uighur militan yang bernama Gerakan Islam Turkistan Timur kini digolongkan sebagai organisasi teroris.

Pusat tradisi Uighur berada di ibu kota kuno Kashgar. Kini Kota Lamanya masih terlihat seperti saat Marco Polo datang setelah menuruni celah pegunungan—sarang yang terdiri atas gang dan rumah kuno dari bata lumpur yang mirip balok mainan anak yang berukuran besar. Pada awal tahun ini pemerintah China mengambil langkah berani: mereka mulai secara sistematis membuldoser Kota Lama blok demi blok dan memindahkan penghuninya ke kampung baru di pinggir kota.!break!