Tibet yang Lain

By , Rabu, 25 November 2009 | 10:35 WIB

Aku melihat mereka berjalan, kemudian berbalik arah, lalu berlari ke arah aparat China. Awalnya ada satu tembakan, meleset. Ketiga orang Uighur itu terus menyerang dan aku menyadari bahwa para pria yang berlari membawa pedang karatan itu tidak berharap selamat. Mereka siap mati.

Beberapa saat kemudian perwira lain menyiramkan tembakan otomatis. Orang Uighur yang terdepan—lelaki berbaju biru—jatuh seketika seperti boneka kain yang dilemparkan. Badannya menghantam trotoar, tetapi momentum akibat berlari membuatnya terguling-guling, dan kakinya melayang di atas kepalanya.

Selama beberapa detik insiden yang berlangsung di seberang jalan itu tampak seperti film yang diperlambat. Dua orang Uighur yang tersisa berlari ke jalan, dan pemandangan itu menjadi tiga-dimensi, peluru beterbangan ke arahku. Aku berlari ke gedung terdekat dan menemukan diriku ada di lobi toserba yang besar. Orang-orang berdesakan di sudut dan di balik pajangan pakaian; para perempuan menjerit, dan dua lelaki memalang pintu dengan memasukkan batang logam ke gagang pintu. Di balik pintu kaca bangunan itu, ketiga orang Uighur itu terkapar di jalan, satu luka dan dua tewas. Tentara, polisi, dan petugas keamanan berpakaian preman menembak ke atas, ke jendela bangunan di sekitar situ.

Toserba tersebut memiliki arti penting bagi orang Uighur. Toserba itu milik perempuan pahlawan mereka Rebiya Kadeer, penatu yang menjadi raja yang dicintai orang sejak dia mulai berbicara menentang perlakuan China terhadap orang Uighur. Pada 1999, saat satu delegasi AS datang ke China untuk menemui Kadeer, aparat keamanan menahan perempuan itu. Dia dipenjara selama enam tahun, kemudian bergabung dengan suaminya yang diasingkan ke AS. Pemenjaraannya malah meninggikan statusnya di kalangan orang Uighur yang menganggapnya “ibu semua orang Uighur.”!break!

Rebiya adalah seorang nenek, tingginya hanya 1,5 meter, dan dia membuat takut penguasa China. Menyebut namanya di Xinjiang langsung mendatangkan hukuman berat. Saat aku bersama Ahun datang ke rumahnya di Kota Lama Kashgar, lelaki itu leluasa bicara tentang pemberontakan melawan pemerintah China, tetapi saat aku menyebut Rebiya Kadeer, dia bungkam. “Apabila China menemukan ini,” ujarnya sambil menunjuk perekamku dan kemudian berpura-pura mencekikku, “kau akan kucekik pada Hari Kiamat.”

Setelah kerusuhan Juli, truk yang dilengkapi pelantam mengitari alun-alun kota Urumqi, menyatakan bahwa kerusuhan itu diorganisasi oleh Rebiya dari kantornya di Washington DC. Lewat pemberitaan di seluruh dunia, pejabat China menuduhnya dan mengatakan bahwa Rebiya berniat meruntuhkan pusat perdagangannya. “Pihak berwenang China takut padaku karena perlakuan mereka pada orang Uighur,” kata Rebiya kepadaku baru-baru ini. Di dalam kantornya ada bendera Turkistan Timur yang besar—simbol negara Uighur yang merdeka—tergantung di dinding dan foto 11 anaknya tergantung di sisi yang lain. Dua di antara anaknya itu berada di penjara.

Dunia Barat mengetahui perjuangan kemerdekaan bangsa Tibet terutama karena Dalai Lama merupakan penjelmaan masyarakatnya yang hangat dan karismatis. Sementara Uighur tetap tak dikenal, salah satunya, karena mereka tak punya sosok seperti Dalai Lama. Namun, upaya pemerintah China baru-baru ini untuk menjelek-jelekkan sosok Rebiya Kadeer justru membuatnya menjadi sosok yang mewakili suku Uighur. “Aku terus mendorong bangsaku untuk menentukan sendiri nasib Uighur,” katanya. Apakah itu berarti otonomi di dalam China atau dorongan untuk merdeka penuh tergantung pada reaksi pemerintah, ujar Rebiya. “Saat ini aku sedang mencoba mengundang pemerintah China untuk dapat berdialog secara damai.”

Bahkan di saat Rebiya berbicara, episode konflik yang lain membayang di Xinjiang—desas-desus, tuduhan, protes—dan dia mengakui bahwa penyelesaian damai mungkin tidak dapat dicapai. Setelah melihat masa lalu dan masa kini wilayah itu melalui Hotan dan Kashgar, kita mungkin dapat memandang masa depannya di Urumqi: kota besar yang menghidupi kaum pendatang Han yang tertarik oleh sumber daya alam Xinjiang, sementara minoritas Uighur tetap terkurung di kawasan permukimannya.

Dan pada Senin sore yang biasanya tenang itu, tiga pria meledakkan diri di jalan hanya dengan bekal amarah mereka.