Sang Dalang: Perdagangan Satwa Liar Asia

By , Rabu, 30 Desember 2009 | 11:44 WIB

Aku menoleh dengan sangat terkejut. Harimau nyaris punah di alam liar dan hanya tersisa 4.000 ekor. Sekarang, Anson Wong berencana mengkhususkan diri pada harimau.

Permintaan harimau di pasar gelap cukup tinggi. Warga Tibet mengenakan jubah dari kulit harimau; para kolektor kaya memajang kepala harimau; restoran eksotis menjual dagingnya; penisnya konon berkhasiat meningkatkan gairah seks; dan orang China menginginkan tulangnya untuk memulihkan kesehatan, termasuk arak tulang harimau, ibarat “sup ayam” dalam obat China. Para pakar memperkirakan harga di pasar gelap untuk harimau jantan dewasa yang sudah mati bisa mencapai 100 juta rupiah atau lebih. Di beberapa negara Asia, tujuan wisata berupa taman harimau secara rahasia disamarkan sebagai penangkaran harimau—membantai harimau peliharaan untuk dipanen bagian tubuhnya sekaligus menyediakan potensi pasar bagi para pemburu gelap harimau liar.

Anson memiliki riwayat kelam menyangkut kucing besar. Selama berlangsungnya Operasi Bunglon, dia meminta bantuan Morrison agar harimau peliharaannya dijual sebagai trofi (kepalanya dijadikan hiasan). Dia menawarkan untuk menyelundupkan puma (Puma concolor) keluar dari AS, dan kepada Morrison dia ingin menjual luwak (Pardofelis marmorata), satwa dalam Apendiks I. Setelah keluar dari penjara, anak-anak harimau miliknya dijajakan di toko hewan peliharaan di Kuala Lumpur.

Dia mengamati tas yang kusandang di bahu. “George Morrison merekam semuanya,” katanya, lalu berdiri. “Aku sibuk,” katanya.

Dia mengantarkanku ke pintu. “Kalau sudah selesai bukunya, kita bisa mengobrol tentang kisahku,” katanya. !break!

Saat itulah aku melakukan kesalahan. Kukatakan kepadanya bahwa aku pernah menulis artikel yang mengungkapkan per-janjian yang meragukan antara pemerintah AS dan pedagang koin Inggris untuk menjual koin yang paling berharga di dunia—dan yang juga merupakan barang curian—serta membagi dua keuntungannya. Biasanya, menceritakan kepada mantan narapidana bahwa kita pernah mempermalukan pemerintah bisa dipastikan akan mempererat hubungan. Namun, untuk sesaat aku melupakan premis Operasi Bunglon: Anson dan pemerintahnya berteman baik.

Anson menatapku. “Jadi, Anda wartawan,” katanya, dan langsung menjadi kaku.

Tampaknya dia keliru dan mengira aku seorang penulis biografi. Aku mulai menyusun jawaban, tetapi dengan cepat dia menyela. “Wartawan yang mengungkapkan sesuatu yang oleh orang lain tidak ingin diungkapkan bisa menjadi korban pembunuhan,” katanya dengan suara yang sangat tenang.

KECIL-KECIL CABai RAWITPada suatu siang di akhir Desember 2007, Mercedes-Benz hitam milik Anson berhenti di Bandara Internasional Penang untuk menjemput dua orang pejabat tinggi penegak hukum urusan satwa liar Malaysia, Direktur Divisi Penegakan Hukum Perhilitan, Sivananthan Elagupillay, dan atasannya, Wakil Direktur Jenderal Misliah Mohamad Basir untuk suatu konferensi pers me-resmikan pembukaan Desa Flora dan Fauna yang sekarang merupakan sebuah usaha patungan antara departemen kehutanan Penang dan perusahaan Anson Wong dan Michael Ooi. Kawasan ini berupa kebun binatang seluas dua hektare yang membentuk Suaka Hutan Teluk Bahang. Untuk membantu pembiayaannya, pemerintah negara bagian Penang menyumbang 700.000 ringgit (sekitar 2 miliar rupiah). Sebuah foto di koran Malaysia The Star menunjukkan para pejabat pemerintah sedang menginspeksi kandang harimau baru di kebun binatang itu.!break!

“Harga karcis masuk akan sangat terjangkau karena tujuan kami mendirikan desa ini juga untuk membantu pelestarian satwa terancam punah,” kata Ooi kepada para wartawan.

Anson sudah lama menyombongkan pengaruhnya atas pemerintah. Sekarang dia mendapatkan dukungan terbuka dari pemerintahan Penang dan departemen urusan satwa liar Malaysia. Kehadiran Misliah sungguh ironis. Pada masa Operasi Bunglon masih berkiprah, Misliah adalah pejabat urusan satwa liar yang bertugas di Penang. Pejabat wanita ini menandatangani izin CITES untuk Anson. Dalam kurun waktu empat tahun ketika Anson dipenjara, Misliah naik pangkat menjadi direktur divisi penegakan hukum Perhilitan, dan pada 2007 dia sudah menduduki posisi kedua di departemennya.

 “Dia teman baikku,” Misliah tertawa sambil duduk di balik meja di kantornya yang luas di kantor pusat Perhilitan. Dia seorang wanita kecil berperawakan gemuk. Suaranya adalah suara paling merdu yang pernah kudengar.