Dunga Nakuwa menutupi wajah dengan kedua tangannya dan mengingat suara ibunya. Ibunya sudah hampir dua tahun meninggal, tetapi bagi suku Dunga, orang mati tidak pernah terpisah jauh. Di pedesaan, mereka dikubur tidak jauh di bawah pondok orang hidup, terpisah dari perapian dan selimut kulit hewan hanya oleh tanah kering nan gersang yang tebalnya tak sampai semeter. Mereka juga tetap dikenang. Inilah sebabnya Dunga masih mendengar suara ibunya: Kapan kau akan membalas dendam pada pembunuh kakakmu?!break!
Saat masih hidup, ia berulang kali menanyakan hal ini, mengungkit perkara balas dendam pada saat Dunga mencoba melupakannya. Dia menjadi anak tertua setelah kakaknya, Kornan, dibunuh oleh anggota suku musuh. Dia tewas dalam penyergapan, eksekusi terencana.
Ayah Dunga juga dibunuh oleh pendekar dari suku yang sama, dan kewajiban dendam awalnya jatuh di pundak kakaknya. Tetapi, setelah Kornan terbunuh, beban ganda itu beralih ke Dunga. Kaum lelaki dari suku itu, suku Kara, terkenal sebagai penembak jitu. Mereka berhasil memukul mundur invasi suku yang jauh lebih besar dan bersenjata lebih baik, suku Nyangatom. Di kedua suku itu, pria yang berhasil membunuh musuh dihiasi dengan luka khusus yang ditorehkan di bahu atau perutnya. Jika ada kerabatnya yang terbunuh, pria di kedua suku itu akan menuntut balas.
Dan karena itulah, tersirat dalam pertanyaan ibunya, Dunga mendengar pertanyaan lain: Kapan kau akan menjadi lelaki dewasa?
Dunga berperawakan kecil, ramping, dan belum 30 tahun. Tangannya lembut akibat tahun-tahun yang dihabiskannya membaca buku, bukan tinggal di hutan. Kami duduk di restoran kecil di kota yang berjarak beberapa hari jalan kaki dari kampung halamannya. Setelah mengetahui bahwa saya juga memiliki saudara, dia bertanya, "Apa yang akan Anda lakukan?" Di Barat urusan balas dendam diserahkan ke pengadilan. Tetapi, di pelosok Etiopia ini, hampir tak dikenal sejarah sistem peradilan. Yang ada hanyalah tuntutan dari yang telah mati.
Dunga lahir di Dus, desa berisi pondok dari kayu-dan-rumput yang terletak di atas tebing tinggi di pinggir Sungai Omo. Dari dataran tinggi tengah, sungai yang lebar dan dalam mengalir cepat ke arah perbatasan barat daya negara itu, masuk ke Danau Turkana di Kenya. Dalam perjalanan 800 kilometernya, sungai itu berliku-liku melalui jurang-jurang batu gunung berapi dan saluran lumpur purba.!break!
Di dekat perbatasan Kenya, Sungai Omo membentuk kelokan saat daerah itu melandai, dan petak hutan tumbuh di sepanjang tepi sungai. Makhluk sungai, termasuk buaya dan kuda nil, beranak-pinak di sini. Lanskap itu dipenuhi banyak suku, di antaranya Kara, Mursi, Hamar, Suri, Nyangatom, Kwegu, dan Dassanech, dengan penduduk sekitar 200.000 jiwa. Gembala membawa ternaknya menembus hutan, dan petani mengarungi hulu dan hilir dengan kano seadanya. Tergantung musim, bantaran bisa menguning keemasan oleh merang pascapanen, atau diselimuti warna hijau lembap tanaman baru.
Untuk mencapai Dus, dibutuhkan waktu tiga jam perjalanan truk dari jalan terdekat, dan pada musim hujan terisolasi oleh lautan lumpur. Sebagaimana banyak permukiman di tepi Sungai Omo, desa itu terdiri atas beberapa pondok, sementara kandang kambing dan lumbung terletak di pinggiran, semuanya luntur oleh matahari dan diliputi debu.
Sapi dan kambing adalah harta keluarga yang paling berharga di sini, tetapi tanamanlah, yang subur berkat Sungai Omo, yang menyediakan kebutuhan penduduk Dus dan desa lainnya. Setelah banjir musiman Sungai Omo merendam dan menyuburkan kembali bantaran sungai, petani Kara menugal lumpur hitam itu dan memasukkan biji sorgum atau jagung. Berkat perilaku sungai yang dapat diduga, sekitar 2.000 orang Kara dapat hidup tanpa perlu berpindah-pindah seperti beberapa tetangga mereka, yang harus terus-menerus menggembalakan ternak ke padang rumput baru. Nama desa itu—Dus—berarti, kurang lebih, "Aku telah melihat tempat-tempat lain, tetapi di sini baik. Aku akan tinggal."
Selama sekian generasi, suku-suku Sungai Omo terisolasi dari dunia luar oleh pegunungan, sabana, dan status unik Etiopia sebagai satu-satunya negara Afrika yang tidak pernah dijajah oleh Eropa. Pada akhir 1960-an dan '70-an, antropolog mulai menyadari makna hal ini—orang yang tinggal di dekat sungai secara umum lolos dari kesalahan kolonial dan konflik yang mencabik-cabik masyarakat lain. Suku-suku itu tetap utuh, masih berpindah, berperang, dan berdamai dengan cara yang telah menghilang hampir di semua tempat lain. Gaya hidup Afrika ini masih muncul di cakram hiasan bibir dari tanah liat yang dipakai sebagai lambang kecantikan oleh wanita suku Mursi atau dalam pertandingan duel musiman suku Suri, yang memakai perisai kulit kambing dan bertarung dengan tongkat panjang. Masih ada pula ritual suku Hamar yang perempuannya meminta dicambuk sampai berdarah, dan ada pula upacara inisiasi lompat-ternak, yaitu anak laki-laki berlari di atas punggung ternak untuk membuktikan bahwa mereka siap memasuki kedewasaan.!break!
Kini Lembah Omo merupakan tujuan wisatawan kaya yang menempuh perjalanan jauh nan berat untuk menyaksikan ritual tersebut—bermobil-mobil wajah berkulit putih, sebagian besar dari Eropa, berharap melihat sesuatu dari Afrika yang ada dalam bayangan Barat, binatang liar, wajah bercat, dan tarian.Namun, wilayah Omo, yang merupakan salah satu lanskap budaya Afrika yang paling utuh, kini sedang berubah. Hewan buruan besar sulit didapatkan, karena nyaris habis diburu dengan senjata yang mengalir masuk dari peperangan di sepanjang perbatasan Sudan atau Somalia. Organisasi santunan mengirim makanan, membangun sekolah, dan merencanakan proyek irigasi. Pemerintah, yang boleh dibilang tak mengacuhkan tempat ini selama beberapa generasi, sekarang berupaya memodernkan suku-suku Omo, dan beberapa pejabat berbicara seolah-olah telah ada jadwal pasti tentang waktu dan cara penggantian gaya hidup yang lama tersebut. Kebiasaan balas dendam, seperti yang membebani Dunga Nakuwa, diharapkan akan segera punah.
Ternaklah yang mengungkapkan rahasia Dunga. Ketika ia menghilang, meninggalkan ternak keluarganya di semak-semak, kawanan hewan itu berputar dan merumput ke arah pulang. Di desa, kakak Dunga, Kornan, terkejut saat hewan-hewan itu kembali begitu cepat—tanpa Dunga.
Ini terjadi pada akhir 1980-an atau awal 1990-an. Singa, macan tutul, dan dubuk memenuhi sabana. Gajah dan kerbau kadang-kadang berderap keluar dari semak-semak. Suku-suku musuh juga berpatroli di sana: Suku Nyangatom, yang telah membunuh ayah mereka, telah merangsek ke daerah itu dengan bersenjatakan senapan otomatis. Sejak pembunuhan ayah mereka, Kornan telah mengambil alih urusan keluarga, tetapi ia tidak mengkhawatirkan keselamatan adiknya itu. Dia dapat menduga ke mana Dunga pergi, dan dia sangat marah.