Tapal Batas Terakhir Afrika

By , Senin, 22 Februari 2010 | 10:48 WIB

Kedua saudara itu tumbuh sebagaimana anak laki-laki Kara pada umumnya—mengejar binatang di semak dengan busur dan anak panah. Mereka ditugasi menjaga ladang sorgum, mengatapel burung yang mencuri dengan peluru tanah. Mereka belajar berwaspada terhadap buaya pada musim hujan, ketika Sungai Omo meluap. Dan mereka mempelajari dasar tanggung jawab kaum lelaki: memelihara ternak.

Di sepanjang Sungai Omo, kekayaan dan martabat diukur dengan sapi dan kambing. Tanpa hewan itu, seorang laki-laki dianggap miskin dan, di kebanyakan suku, tidak bisa menikah karena tak mampu menawarkan mahar. Pada masa kelaparan, binatang dapat dijual untuk membeli makanan atau diambil susunya. Menelantarkan ternak sama seperti membuang tabungan keluarga ke dalam sungai.!break!

Kornan memilih sebatang tongkat kecil, kemudian bergegas ke sekolah terdekat dan menemukan Dunga di sana. Kedua saudara ini akrab, tapi ini? Mengabaikan ternak demi sekolah? Kornan memukuli Dunga sampai anak itu menangis. Keesokan paginya, setelah kesakitan dan dimarahi, Dunga membawa ternaknya ke sungai saat fajar. Tetapi, beberapa hari kemudian dia kabur ke sekolah lagi. Dan Kornan menggebukinya lagi.

"Aku menyayangi Kornan," ujar Dunga. "Dia seperti ayah bagiku, dia adalah segalanya. Tetapi, aku ingin sekolah." Pukulan itu membulatkan tekad Dunga, tetapi melunakkan hati Kornan. Dia akhirnya menyadari bahwa hukuman tidak akan menghalangi Dunga. Merekapun membuat kesepakatan. Dunga boleh bersekolah selama nilainya bagus. Jika nilainya turun, dia harus kembali ke hutan menggembalakan ternak. Dunga sangat gembira. Dia melanjutkan ke sekolah asrama di kota terdekat, dan kian lama kian tenggelam dalam dunia yang baru. Dia semakin jarang pulang ke rumah.

Sementara itu, Kornan telah menjadi pemimpin muda yang dihormati. Dia telah memiliki anak-istri, serta dikenal sebagai pemburu tiada tanding. Istri para lelaki lain memberi Kornan peluru dan berkata, ambillah ini dan berburulah bagiku. Tetapi, masih ada tugas membalas dendam atas kematian ayahnya. Saudara, teman, dan sesepuh mendesaknya menyelesaikan masalah itu. Kapan kau akan membunuh pembunuh ayahmu?

Di tengah alam liar, di antara kepulan debu dan suara mesin berat, sebuah bendungan tengah dibangun 515 kilometer di hulu kampung halaman suku Kara. Bendungan ini, dinamai Gilgel Gibe III, akan menjadi salah satu bendungan terbesar di dunia. Bendungan ini akan menjadi waduk air yang sama besarnya, dan airnya akan digunakan untuk menghasilkan listrik hingga 1.870 megawatt yang rencananya akan dijual Etiopia kepada tetangganya yang kekurangan energi, seperti Kenya dan Sudan. Proyek ini baru dijadwalkan selesai pada 2013, tetapi kontrak penjualan telah ditandatangani.

Gibe III akan menghasilkan uang untuk Etiopia dan memproduksi listrik yang sangat dibutuhkan oleh negara yang hanya 33 persen penduduknya menikmati listrik. Tetapi, ini juga akan mengurangi aliran sungai dan mengekang siklus banjir-surut yang justru diandalkan suku-suku yang tinggal di hilir, seperti Kara, Nyangatom, dan lain-lain, untuk menyuburkan tanaman. Suku-suku pribumi tersebut tak memiliki kekuatan untuk menentang proyek yang direstui secara resmi dan bermomentum besar. Banyak yang tidak menyadari bahwa bendungan dapat mengubah kehidupan mereka; sementara banyak pula yang mendukung pemerintah, walaupun tidak sepenuhnya memahami rencana tersebut.!break!

Di desa Dunga, setiap bulan baru, di dekat muara Sungai Omo ke Danau Turkana, orang yang dapat berbicara kepada buaya turun dalam kegelapan untuk melakukan upacara singkat yang melindungi sukunya dari makhluk raksasa yang berkeliaran di Sungai Omo itu. Dia membawa seikat cabang berdaun, mencelupkannya ke air, lalu memercikkannya ke hulu dan hilir, sambil berbicara dengan wewenang yang tidak diberikan oleh manusia."Hai, buaya! Dengarkan! Tempat ini milikku, dari ayahku, dari ayah ayahku. Menjauhlah dari sini. Biarkan rakyatku dan ternaknya turun minum, dan biarkan anak-anak berenang. Jika kau mendekat, peluruku akan mengenaimu!"

Dia kemudian meletakkan cabang tersebut di lumpur dan masuk ke dalam air hitam, lalu mandi.Pria itu mempunyai hubungan khusus dengan reptil purba, sebagaimana ayahnya sebelumnya. Bahkan buaya berbicara kepadanya dalam mimpi.

"Apa yang mereka katakan kepadamu?" tanyaku."Bukan urusanmu," jawabnya.

Apapun yang dikatakan buaya, yang pasti hewan itu mendengarkan, karena sejauh ingatan suku itu, belum pernah ada buaya yang memakan manusia di bawah desa itu. Ramainya anggukan orang-orang tua yang duduk melingkar di bangku kayu mengelilingi kami membuktikan kebenaran fakta ini. "Bagaimana dengan wanita hamil yang terbunuh tahun lalu?"

"Yah. Dia sih tidak mendengarkan." Orang itu melambaikan tangan ke arah hilir. "Dia terbunuh di sana. Aku tidak melindungi tempat itu."Para tetua mengangguk, peringatannya jelas. Wanita ini melanggar batas tanah milik orang lain.