Aku bertanya tentang Gibe III kepada pria itu. Tiba-tiba suasana berubah, seperti yang selalu terjadi apabila saya menyebut soal bendungan. Kerumunan mendekat. Beberapa orang telah mendengar hal ini. Pria itu bertanya, "Apa persisnya bendungan itu?"
Lalu, mereka semua ingin tahu apa pengaruhnya bagi kehidupan mereka.!break!
Dulu suku Kara menguasai tanah di kedua sisi Sungai Omo, tetapi lambat laun suku Nyangatom mendesak mereka hingga hanya tinggal menguasai tepi timur. Nyangatom, suku seminomaden dari barat daya Etiopia, merupakan salah satu kelompok pertama di wilayah itu yang mendapatkan akses ke senapan otomatis, sebagian besar dari Sudan. Selama tahun 1980-an dan 90-an suku ini memperbesar wilayahnya, menekan suku-suku tetangga, seperti Kara, yang masih membawa tombak. Jumlah populasinya tumbuh.
Namun, suku Kara tidak menyerahkan wilayah begitu saja. Saat Dunga duduk di tahun terakhir sekolah menengah, sebagian besar suku Omo sudah memiliki senjata, dan ketegangan memuncak. Penembak jitu Kara bersembunyi di pepohonan di sepanjang tepi sungai, mengincar orang Nyangatom yang mendekati air. Kadang-kadang sekelompok kecil orang Nyangatom menyerang ke seberang. Terkadang mereka menyeberang dalam kelompok besar. Pada saat inilah Kornan pergi berburu ke hutan bersama sepupunya. Kebanyakan hewan buruan besar sudah dibunuh, tetapi di hutan masih ada kijang, kudu, bushbuck, bahkan gajah di beberapa tempat. Mereka tinggal menguntit melalui semak pohon berduri dan melihat apa yang dapat ditemukan.Saat para pemburu itu bertemu sekelompok prajurit Nyangatom, meletuslah baku tembak. Kornan menembak perut seorang Nyangatom sebelum mundur, dan orang itu kemudian meninggal. Dia tidak berniat membunuh orang itu, jadi tidak masuk hitungan dalam pembalasan dendam atas pembunuhan ayahnya. Pada saat yang sama, Kornan tahu apa yang telah dimulainya. Dia tahu bahwa sekarang ia akan diburu juga.
Meskipun saling berperang, suku Kara sering membeli amunisi dari Nyangatom. Sulit dijelaskan, tetapi bahkan konflik tidak dapat menghentikan perdagangan yang menguntungkan. Kornan telah memberi uang pembeli peluru kepada seorang lelaki Kwegu, suku kecil yang hidup di kedua sisi sungai. Lelaki Kwegu itu tidak mengantarkan peluru, dan Kornan menjadi marah. Tak berapa lama kemudian si pedagang mengundang Kornan untuk minum kopi di gubuknya di seberang sungai untuk menyelesaikan masalah itu. Kornan mengambil AK-47 dan ia pun menyeberangi sungai cokelat nan lebar itu.
Kornan berada di wilayah musuh, maka ia waspada. Tetapi, dia tidak tahu bahwa pertemuan itu telah diatur oleh adik prajurit yang dibunuhnya di hutan itu. Kornan bertemu dengan pria Kwegu itu di bawah naungan yang terbuat dari cabang kayu. Kopi diseduh dalam gerabah; kedua pria itu mengobrol. Ketika sekelompok orang Nyangatom mendekat dan duduk di dekatnya dan berbasa-basi, Kornan berjaga-jaga, tetapi tidak ada yang terjadi. Hari itu panas, bahkan di tempat teduh sekalipun, dan akhirnya ia santai dan meletakkan senapannya.!break!
Mereka berbicara ngalor-ngidul. Pria Kwegu itu berkata dia hendak mengukir mangkuk dari labu besar. Apakah Kornan mau menolongnya? Walaupun merasa kesal terhadap pria Kwegu ini, Kornan orang yang biasa bertindak. Ia mengambil labu itu dan mulai memotong. Lelaki Kwegu itu berkata dia hendak buang hajat dan merunduk keluar dari naungan. Itulah sinyalnya. Kornan yang terfokus pada labu tidak menyadari hal itu.Dia tidak memerhatikan ada satu orang Nyangatom yang berdiri dan perlahan-lahan berjalan di belakangnya di luar naungan. Pria itu menembak punggung Kornan sekali, lalu melarikan diri sementara Kornan berdarah di atas tanah berdebu.
Tak lama kemudian berita tentang pembunuhan Kornan pun menyebar. Suku Kara yang marah membanjir menyeberangi sungai, menyerang suku Nyangatom
Teman-teman Kornan membawa mayatnya kembali ke seberang sungai. Malam itu mereka mencari Dunga di kota Dimeka, tetapi orang Kara tidak langsung menyampaikan kabar buruk. Ada masalah, demikian kata mereka berulang-ulang. Engkau harus pulang bersama kami sekarang. Keesokan paginya, ketika mereka mendekati desa Kornan, orang-orang akhirnya memberi tahu Dunga bahwa kakaknya sudah mati.
Mulai saat itu Dunga memikul tanggung jawab atas segalanya—tanah dan ternak keluarganya, kesejahteraan ibunya serta istri dan anak-anak Kornan. Dia bertanggung jawab untuk membalas dendam. Tekanan berat itu membuatnya tidak bisa tidur. Setiap ia kembali ke rumah, balas dendam selalu menunggu, melalui pertanyaan ibunya, melalui sejarah panjang sukunya. Membunuh orang Nyangatom mudah; belantara begitu luas. Tinggal menunggu untuk menyergap di tepi sungai, ketika ternak turun ke sungai untuk minum. Atau di salah satu jalan sepi pada malam hari, dan meninggalkan jasadnya untuk dimakan dubuk. Balas dendam hanya perlu satu peluru. Ya, Tuhan, mengapa Kautimpakan hal ini kepadaku? Dunga merenung.
Dia terpikir untuk putus sekolah tetapi memutuskan untuk tidak melakukannya. Dia sedang kuliah sekarang, dan setelah bertahun-tahun mengenyam pendidikan, yang sebagian besar didasarkan pada pemikiran Barat dan dipengaruhi oleh agama Kristen, Dunga telah berubah. Dalam pakaian dan sepatu kets Baratnya, ia sekarang lebih mirip orang dataran tinggi, anggota salah satu kelompok etnis yang menguasai pemerintahan. Pandangannya juga telah berubah. Ia mulai belajar tentang konsep Barat tentang hukum dan keadilan. Dia dibesarkan dalam budaya yang menganggap pembunuhan itu biasa, tetapi kini dia hidup dalam budaya yang menganggap hal itu tidak bermoral. Balas dendam semakin tidak penting baginya. Dunga menyadari bahwa dia akan selalu menjadi orang Kara, tetapi ia tidak lagi merasa terikat oleh otoritas suku itu.!break!
Orang yang mereka sebut raja duduk di balik pintu pondok besar berdinding lumpur, di atas karung plastik putih dengan lambang USAID pudar. Ini takhta yang tak biasa, yang disumbangkan oleh masyarakat yang jelas tidak menyadari keberadaan sang baginda dan jelas belum pernah mendengar kemampuannya mengendalikan cuaca, binatang, bahkan berkuasa atas kematian. Rambutnya, yang berminyak mentega dan berkilat oleh bubuk mineral, ditata sempurna.