Tapal Batas Terakhir Afrika

By , Senin, 22 Februari 2010 | 10:48 WIB

"Hai, orang Kara! Kalian pasti ingin damai! Jangan biarkan ada orang yang menghancurkan kedamaianmu!" teriak sang tetua."Jadikanlah!" jawab orang bernyanyi, suara kaum pria terdengar bak guntur menggelegar, kaum perempuan naik-turun bersama berkilo-kilo kalung yang melingkari pundak kurus mereka."Jadikanlah! "

Tak lama kemudian acara menari akan dimulai, dan lapangan itu akan bergetar oleh irama kaki yang menghentak tanah padat. Pada perayaan itu saya bertemu dengan seorang pemuda bernama Ekal, yang baru-baru ini terpilih sebagai pemimpin Nyangatom. Usianya belum 30 dan berpendidikan universitas, seperti Dunga. Ia mengenakan kaus polo kebesaran, celana panjang gombrang, dan topi bisbol yang agak miring. Sementara anggota sukunya menari, semuanya hampir telanjang, Ekal merekam dengan telepon genggamnya. Ia mirip bintang hip-hop yang sedang bersafari.!break!

Ekal mengatakan bahwa masa perang telah berakhir dan bahwa pemerintah sedang menancapkan kuku di sini. Bahkan orang yang berbicara hendak mengganggu keseimbangan baru itu bisa ditangkap, ujar Ekal, dan dia bercerita tentang seorang pria Nyangatom yang baru-baru ini membual bahwa ia akan menyeberangi sungai untuk mengamuk membunuh suku Kara. Ekal memanggil polisi. Pria itupun dijebloskan ke penjara.

Saat bertemu Dunga beberapa hari setelah perayaan, dia mengatakan pikirannya akhirnya terang. Dia tak ingin terlibat balas dendam. "Bagiku sama saja seperti ular beracun mematuk saudaraku di hutan. Seperti ayahku mati tertabrak mobil. Pembalasan bukanlah jalanku. "

Para tetua suku mendukung keputusannya. Mereka melihat perubahan melanda kawasan itu. Mereka telah mendengar tentang bendungan yang dibangun di hulu dan tentang program yang dilaksanakan pemerintah untuk mengendalikan kebiasaan tertentu. Mereka melihat perangkap tradisi yang menunggu Dunga, perangkap yang mencabut nyawa Kornan. Para tetua menyadari bahwa Dunga kini bukan hanya seorang lelaki yang terjebak dalam perseteruan berdarah—dia sosok berpendidikan yang mewakili rakyatnya, seorang pemimpin masa depan dan teladan. Tenangkan dirimu, ujar mereka kepadanya. Jangan memikirkan balas dendam.

Inilah jawaban yang selalu diharapkan Dunga: dunia lamanya mengakui kekuatan dunianya yang baru. Di samping mendekati pemimpin lama seperti Wangala Bankimaro, baru-baru ini pemerintah menerapkan program untuk menggalakkan hukum dan ketertiban, dengan mendudukkan profesional muda yang baru lulus sebagai pejabat daerah. Setelah lulus, Dunga akan menjadi pengacara yang pertama dari sukunya; ia kemungkinan akan dikirim kembali ke Lembah Omo sebagai hakim atau jaksa pemerintah. Dia sadar bahwa dia akan menjadi semacam misionaris, dan misi pribadinya adalah memodernkan suku Kara dan mempersiapkan mereka untuk masa depan sebagai bagian dari negara Etiopia.

"Harus ada perubahan," katanya. "Saya mengemban tanggung jawab besar untuk melakukan perubahan besar dalam suku saya. Balas dendam saya adalah menghentikan pembunuhan."!break!

Beberapa bulan kemudian saya kembali ke Dus dan menemukan kedamaian bertahan. Kekeringan melanda tanah itu, dan suatu hari saya menyaksikan beberapa orang Nyangatom bergalah ke seberang sungai dan meminta bantuan teman mereka dari suku Kara. Orang Kara segera memberi bekas musuh itu beberapa karung gandum.

Tetapi, tidak semua termaafkan. Di desa Kornan, jandanya yang masih muda, Bacha, masih terhantui. Setelah Kornan terbunuh, Bacha berkabung secara tradisional; ia melepas perhiasan, membiarkan rambutnya tumbuh liar, pakaiannya hanyalah kulit kasar. Bacha berkabung selama dua tahun—lebih lama daripada yang diharuskan adat—dia menolak keluar sampai para tetua dan temannya hampir menyeretnya keluar. Dia akhirnya memotong rambut dan mengenakan gelang dan kalungnya lagi, tapi dia belum sembuh. Ada yang hendak meminangnya; ditolaknya. Dia menyimpan banyak harta Kornan—pakaian, manik-manik. Dia menyimpan AK-47-nya.

Satu hari saya bertanya kepadanya tentang senapan. Wajah Bacha menarik, mulus, bentuk matanya seperti almond. Sebuah paku payung besar terpasang di bibir bawahnya. Dia tidak mau berbicara tentang senapan.

"Aku menyimpannya agar anak-anakku nanti melihatnya," akhirnya dia berkata, sambil memilin tangannya yang kapalan di pangkuannya. "Agar mereka tak asing dengan senapan itu selagi tumbuh dewasa."

Dia tampaknya tidak terkesan dengan Dunga. Secara teknis Dunga adalah kepala keluarga, tapi Bacha-lah yang menangani urusan sehari-hari, dengan bantuan kedua putranya yang masih kecil, keduanya belum sepuluh tahun."Putraku akan tahu bahwa ayahnya dibunuh orang Nyangatom," ujarnya.!break!

Sebelum meninggalkan Etiopia, aku berhasil menghubungi Dunga yang berada di Jinka, kota perbatasan yang ramai tempat dia belajar di sekolah asrama. Dia sedang memperkenalkan tempat itu kepada keponakannya, anak bungsu Bacha. Ia berencana menyekolahkan anak itu di sana, untuk mengikuti jejaknya. Aku menceritakan ucapan Bacha."Dia masih tak bisa melepaskan diri dari pemikiran itu," ujar Dunga. "Kadang-kadang ketika saya menjelaskan hal itu kepadanya, jawabnya 'Baiklah'. Tapi perkataan itu tidak keluar dari hatinya. Kadang-kadang tampaknya hanya pembalasan dendam yang akan membahagiakannya."Jika tidak dapat membujuk Bacha, ia akan membujuk anak-anaknya, menggunakan keterampilan pengacaranya, semangat misionarisnya.

Sebelum menutup telepon, Dunga berkata dia telah memutuskan bahwa anak sulung Bacha akan tetap di rumah, seperti Kornan dahulu, mengurus ternak, ladang dan urusan keluarga. Dia akan tinggal bersama Bacha dan dibesarkan di antara teman lama ayahnya. Tentu saja dia akan berada di bawah bayangan Kornan sementara waktu. Aku membayangkan wajah Bacha, bentuk rahangnya, ketenangan tatapannya. Ketika anaknya sudah cukup besar, Bacha akan bercerita tentang ayahnya. Kemudian, mungkin, dia akan memberi anaknya senapan ayahnya.