Tapak yang Terlupakan

By , Senin, 26 April 2010 | 12:52 WIB

Di tengah di pegunungan Sichuan barat saya membabat hutan bambu, berusaha mencari jalur legendaris. Enam puluh tahun lalu, ketika kebanyakan orang di Asia masih berjalan kaki atau naik kuda, Jalur Kuda-Teh merupakan rute perdagangan yang ramai, penghubung utama antara China dan Tibet. Beberapa hari sebelumnya saya bertemu dengan seorang pria yang dulu membanting tulang mengangkut teh melalui jalur itu. Dia memperingatkan saya bahwa Jalur Kuda-Teh itu mungkin sudah hancur akibat waktu, cuaca, dan tanaman invasif.!break!

Kemudian, dengan sekali ayunan kapak, saya menebas bambu yang menghalangi. Di depan saya membentang jalan berlapis batu, lebarnya hanya satu meter lebih, berkelok masuk ke hutan, licin berlumut, dan nyaris tertutup semak. Beberapa batu tampak berlubang-lubang dan berisi air, bekas tongkat berujung besi yang digunakan ratusan ribu kuli angkut yang melewati jalan ini selama satu milenium.

Sisa jalan batu itu hanya sepanjang 15 meter, lalu menanjak dengan tangga rusak, kemudian hilang lagi, tersapu derasnya hujan selama bertahun-tahun. Saya terus maju, masuk ke jalur sempit yang dindingnya sangat curam dan licin sehingga harus berpegangan ke pohon agar tidak jatuh ke sungai berbatu jauh di bawah. Saya berharap, pada suatu saat, dapat melewati Maan Shan, celah gunung tinggi antara Yaan dan Kangding.

Malam itu saya berkemah jauh di atas sungai. Keesokan paginya saya menembus 500 meter lagi sebelum rimba yang tak dapat dilalui membuat saya berhenti, selamanya. Saya terpaksa mengakui bahwa, di sini setidaknya, Jalur Kuda-Teh telah lenyap.

Pada kenyataannya, sebagian besar Jalur Kuda-Teh yang asli sudah hilang. China yang bergegas menuju modernitas mengubur masa lalunya secepat mungkin. Sebelum jalur itu dibuldoser atau dilenyapkan, saya datang untuk menjelajahi sisa-sisa rute yang dulu terkenal tapi sekarang nyaris terlupakan itu.

Lintasan kuno itu dulu membentang hampir 2.250 kilometer melintasi bagian tengah Cathay, dari Yaan, di daerah perkebunan teh Provinsi Sichuan, hingga Lhasa, ibu kota Tibet yang hampir 3.650 meter tingginya. Jalur yang merupakan salah satu jalur tertinggi dan terberat di Asia itu mulai menanjak dari lembah subur di China, melintasi Dataran Tinggi Tibet yang didera angin dan salju. Lantas menyeberangi Sungai Yangtze, Mekong, dan Sungai Salween yang membekukan. Setelah itu, jalur ini masuk ke Pegunungan Nyainqentanglha yang misterius, menanjak melalui empat celah-gunung setinggi 5.000 meter yang mematikan, sebelum akhirnya turun ke Lhasa, kota suci Tibet.

Badai salju sering mengubur bagian barat jalur itu, sementara hujan lebat menghancurkan bagian timurnya. Ancaman bandit selalu menghantui. Namun, jalan ini tetap ramai digunakan orang selama berabad-abad, meskipun masyarakat di kedua ujungnya kadang saling membenci (sampai sekarang). Keinginan berdaganglah yang melahirkan jalur ini, bukan hal romantis seperti pertukaran gagasan, etika, budaya, dan kreativitas yang dinisbahkan pada Jalur Sutra yang legendaris di utara. China punya sesuatu yang diinginkan Tibet: teh. Tibet memiliki sesuatu yang sangat dibutuhkan China: kuda.!break!

Kini jalur itu masih hidup dalam kenangan orang-orang seperti Luo Yong Fu, pria 92 tahun yang saya temui di desa Changheba, di sebelah barat Yaan sejauh sepuluh hari perjalanan kuli teh. Ketika pertama kali tiba di Sichuan, saya diberi tahu tak ada lagi kuli teh yang masih hidup. Namun, ketika saya menyusuri sisa-sisa terakhir Chamagudao, nama China untuk rute perdagangan kuno itu, saya bukan saja bertemu dengan Luo, melainkan juga lima orang lainnya, semua bersemangat untuk berbagi kisah. Luo Yong Fu mengenakan baret hitam dan jaket Mao biru dengan pipa di saku. Dia dulu bekerja sebagai kuli angkut di Jalur Kuda-Teh, mengangkut teh ke Tibet dari 1935 sampai 1949. Berat teh yang diangkut Luo selalu sekurang-kurangnya 60 kilogram. Pada waktu itu, berat badannya kurang dari 51 kilogram.

"Sangat sulit dan sangat melelahkan," ujar Luo. "Pekerjaan yang mengerikan."

Luo telah bolak-balik menyeberangi Maan Shan, tempat yang ingin saya datangi. Pada musim dingin, salju mencapai tinggi satu meter dan es sepanjang dua meter menggantung di bebatuan. Dia mengatakan, terakhir kali celah itu diseberangi pada 1966, sehingga dia ragu apakah saya dapat melakukannya.

Tetapi, setidaknya saya mendapatkan gambaran samar bagaimana rasanya menempuh jalan itu. Di Xinkaitian, persinggahan pertama dalam perjalanan 20 hari kuli teh dari Yaan ke Kangding, Gan Shao Yu, 87 tahun, yang klimis dan Li Wen Liang, 78 tahun, yang berewok bersikeras memeragakan kehidupan mereka sebagai kuli.

Dengan punggung terbungkuk membawa beban teh berat yang imajiner, tangan berurat mereka menggenggam tongkat berbentuk T, kepala tertunduk dan mata menatap kaki mereka yang terentang, kedua orang tua itu menunjukkan bagaimana mereka beriringan berjalan terhuyung-huyung di sepanjang jalan batu yang basah. Kedua lelaki itu memutar tongkat ke belakang punggung untuk menopang ransel kayunya. Mereka menyanyikan lagu pengangkut teh dengan suara serak:

Tujuh langkah mendaki, harus beristirahat.Delapan langkah turun, harus beristirahat.Sebelas langkah datar, harus beristirahat.Kamu bodoh jika tidak beristirahat.!break!