Tapak yang Terlupakan

By , Senin, 26 April 2010 | 12:52 WIB

Perjalanan 29 kilometer ke Tsachuka, kamp pengembara di kaki Celah Nubgang, memakan waktu lima jam. Setelah makan siang dendeng yak dan teh mentega yak, saya dan Sue berangkat dengan berjalan kaki menuju celah gunung legendaris itu.

Yang menyenangkan, jalur kuno itu cukup terlihat, berkelok-kelok ke atas padang rumput yang berhias bintik-bintik hitam yak tanduk panjang. Setelah dua jam bekerja keras mendaki bukit, kami melewati dua danau safir berkilau. Di balik danau ini, tak ada lagi kehijauan. Iring-iringan bagal pengangkut teh sudah berhenti melintasi celah ini setengah abad yang lalu, tapi jalur itu telah dirawat selama seribu tahun. Batu-batu besar sudah dipindahkan dan undakan batu dibangun, dan semuanya masih ada di sini. Saya dan Sue berjalan zigzag melalui landaian, mengikuti jalur berdinding, hingga sampai ke celah.

Celah Nubgang yang berbentuk pelana jelas telah terbengkalai. Beberapa bendera doa yang berkibar sudah compang-camping, tulang di atas tugu batu telah memutih. Saya melihat mata Sue menyusuri jejak abadi itu turun ke lembah berikutnya.

"Dapatkah kau melihatnya?" tanyanya.

Saya dapat melihatnya. Dalam bayangan, saya melihat iringan seratus keledai perlahan berjalan menuju kami, debu mengepul di kakinya, muatan teh bergoyang ke kiri ke kanan, para koboi waspada kalau-kalau ada bandit yang akan menghadang.

Koboi bermotor kami sudah menunggu ketika kami kembali dari celah itu keesokan paginya. Kami naik ke sadel dan memulai perjalanan kembali yang panjang.!break!

Pada tengah hari kami singgah di dua tenda hitam pengembara yang dikelilingi tumpukan rapi tahi yak. Sebuah panel surya besar tergantung di setiap tenda, dan sebuah truk, Land Cruiser, dan dua sepeda motor parkir di rumput. Para pengembara itu mengundang kami dan menawarkan teh mentega yak panas.

Di dalam tenda, seorang perempuan tua memutar roda doa dan menggumamkan mantra, dan beberapa pria paruh baya duduk di atas permadani Tibet tebal. Saya bertanya kepada mereka bagaimana dapat membeli kendaraan itu. Mereka tersenyum lebar, tetapi pembicaraan malah melantur. Setelah kami menumpuk mangkuk yang tadinya berisi nasi, sayuran, dan bongkahan daging yak, sang kepala keluarga mengeluarkan sebuah kotak besi biru. Setelah membuka kunci dan mencungkil tutupnya, dia mengajak kami melihat isinya. Di dalamnya terdapat ratusan ulat mati.

"Yartsa gompo," ujar tuan rumah kami dengan bangga. Setiap ulat kering itu, jelasnya, akan dijual seharga empat puluh hingga sembilan puluh ribu rupiah. Mungkin ulat mati dalam kotak biru bergembok itu bernilai hampir seratus juta rupiah. Yartsa gompo—disebut chong cao di China—adalah ulat terinfeksi parasit yang hanya hidup di padang rumput di atas 3.000 meter. Parasitnya, sejenis jamur, membunuh ulat itu kemudian memakan tubuhnya.

Setiap musim semi, pengembara Tibet berkeliaran di padang rumput yak untuk mencari ulat itu. Batang yartsa gompo yang berbentuk tusuk gigi keunguan itu mencuat tak sampai tiga sentimeter sehingga sangat sulit ditemukan—tapi ulat itu lebih berharga daripada semua yak mereka.

Di toko obat China di seluruh Asia, chong cao dijual sebagai obat mujarab, untuk masalah kesehatan mulai kelelahan hingga dahak bahkan kanker. Ulat kualitas tertinggi dijual seharga 700 ribu rupiah per gram, sekitar dua kali harga emas saat ini.

Dalam perjalanan pulang melintasi dataran tinggi itu, saya tak henti-hentinya memikirkan ironi perdagangan baru ini di sepanjang Jalur Kuda-Teh tua ini. Orang Tibet tidak lagi menunggang kuda, dan teh tidak lagi menjadi minuman utama di daerah perkotaan Tibet (Red Bull dan Budweiser di mana-mana). Namun, sama seperti teh masih berasal dari daerah tradisional China, chong cao juga hanya dapat ditemukan di Dataran Tinggi Tibet. Sepatu dan sampo, TV dan pemanggang roti memang diangkut ke barat di sepanjang rute perdagangan kuno itu yang beraspal, tapi ada juga yang diangkut kembali ke timur. Sekarang China bersedia membayar mahal untuk ulat ajaib seperti yang pernah mereka lakukan untuk kuda perkasa.