Saya harus mencari cara untuk masuk ke pegunungan terlarang tersebut. Saya menelepon istri, Sue Ibarra, seorang pendaki gunung berpengalaman, dan memintanya menemui saya di Lhasa pada bulan Agustus.
Kami memulai perjalanan dari biara Drepung, yang terletak di ujung barat Jalur Kuda-Teh, tak sampai satu hari perjalanan berkuda dari Lhasa. Biara yang dibangun pada 1416 itu memiliki dapur teh atau gyakhang yang luas. Tujuh kuali besi yang berdiameter dua-tiga meter terpasang di atas tungku batu raksasa berbahan bakar kayu.
Phuntsok Drakpa yang berdiri di samping kuali mengiris bongkahan mentega yak sebesar cobek dan memasukkannya ke dalam rebusan teh. "Dulu di sini ada 7.700 biarawan yang minum teh dua kali sehari," katanya. "Lebih dari seratus biarawan bekerja di dapur teh ini."Drakpa telah menjadi guru teh di biara itu selama 14 tahun. "Bagi biarawan Tibet," ujarnya, "teh adalah kehidupan."
Sekarang hanya 400 biksu yang tinggal di biara itu, dan hanya dua belanga kecil yang digunakan. "Untuk satu belanga kecil, perlu 25 bata teh, 70 kilo mentega yak, 3 kilo garam," kata Drakpa, sambil mengaduk resep untuk 200 orang ini dengan pengaduk kayu setinggi manusia. "Untuk belanga terbesar, kami menggunakan tujuh kali lipat campuran tadi."
Dari biara itu, saya dan Sue berangkat menuju kota Nagqu, lima jam berkendara ke arah utara Lhasa, untuk menghadiri festival kuda tahunan. Kami ingin melihat kuda-kuda legendaris yang mengilhami nama Jalur Kuda-Teh. Acara selama seminggu itu dulu diselenggarakan di padang rumput, tapi sepuluh tahun yang lalu stadion beton dibangun sehingga para pejabat China memiliki tempat untuk duduk. Ketika kami tiba keesokan paginya, orang Tibet memenuhi tempat itu. Pelantam yang menggelegar mengumumkan semua peristiwa dalam bahasa Tibet dan Mandarin. Suasananya seperti di rodeo, kecuali polisi China yang ditempatkan setiap sepuluh meter di sepanjang bangku, berbaris di sekitar lapangan, dan menyamar dengan berpakaian preman.
Seorang kontestan mencongklang nyaris tak terkendali, bergelantungan ke samping seperti pemain akrobat untuk mengambil selendang sutra putih dari tanah. Sambil memegang selendang itu tinggi-tinggi, koboi Tibet itu memutar kudanya yang berjompak di tengah gemuruh sorakan penonton.!break!
Festival Kuda Nagqu merupakan salah satu dari sedikit perayaan yang masih tersisa yang memamerkan warisan penunggang kuda Tibet. Melalui pemuliaan selektif selama berabad-abad, orang Tibet menciptakan jenis kuda istimewa yang disebut Nangchen. Tingginya hanya sekitar 1,4 meter—lebih kecil daripada kebanyakan kuda Amerika), bertungkai ramping dan berparas gagah, dengan paru-paru lebih besar yang sesuai dengan kehidupan pada ketinggian 4.500 meter di Dataran Tinggi Tibet yang tipis oksigen. Kuda Nangchen dibiakkan sehingga memiliki daya tahan tinggi dan tak mudah tergelincir saat melalui celah bersalju. Inilah kuda yang diinginkan China berabad-abad yang lalu.
Kini Nagqu terletak di Jalan Raya 317 yang modern, cabang utara Jalur Kuda-Teh. Semua tanda rute perdagangan dahulu telah lenyap, tetapi hanya berjarak sehari berkendara ke tenggara, dekat sekali, terletak Pegunungan Nyainqentanglha, yang dulu dilalui jalur asli. Namun, mungkin pula jalur itu telah lenyap seperti yang terjadi di Sichuan.
Pada suatu pagi yang gelap dan hujan di tengah-tengah festival, saya dan Sue menyelinap pergi menaiki Land Cruiser untuk mencari tahu apa yang terjadi pada Jalur Kuda-Teh Tibet. Kami mengebut sepanjang hari di jalan tanah, hampir terbalik di lereng curam. Ketika malam tiba, kami sampai di Lharigo, sebuah desa di antara dua celah gunung raksasa yang pernah menjadi tempat berlindung di jalur Gyalam. Diam-diam, kami datang ke rumah-rumah penduduk mencari kuda untuk membawa kami ke Celah Nubgang di ketinggian 5.412 meter. Kami disarankan datang ke sebuah bar di pinggir kota. Di dalamnya, koboi Tibet sedang minum bir, bermain biliar, dan bertaruh dengan permainan dadu yang disebut sho. Mereka tertawa ketika kami bertanya soal kuda. Tak ada yang mengendarai kuda lagi.
Di luar bar, alih-alih kuda, yang ada malah kuda besi: motor kecil tangguh buatan?China, yang dihiasi seperti pendahulunya yang terbuat dari tulang dan darah—karpet wol Tibet berwarna merah-biru melapisi sadel, rumbai-rumbai menggantung di setang. Dengan bayaran tertentu, dua koboi menawarkan untuk membawa kami ke kaki celah gunung itu; dari sana kami harus berjalan.
Kami berangkat dalam gelap keesokan harinya, ransel diikat ke motor seperti kantong pelana. Kedua koboi itu sama ahlinya menunggangi sepeda motor dengan nenek moyang mereka menunggang kuda. Kami tergoncang-goncang melintasi rawa hitam yang lumpurnya lebih dari setengah meter dalamnya, lalu membelah kali biru dengan knalpot menggelegak dalam air.
Di atas lembah kami melewati tenda-tenda hitam pengembara Tibet. Di depan tenda bulu yak mereka, tampak terparkir truk-truk besar buatan China atau Land Cruiser. Dari mana para pengembara ini mendapatkan uang untuk membeli kendaraan tersebut? Jelas bukan dari perdagangan daging-dan-mentega yak yang biasa.!break!