Kuli angkut teh, baik laki-laki maupun perempuan, biasa membawa beban seberat 70-90 kilogram; yang paling kuat dapat membawa 135 kilogram. Semakin banyak yang dibawa, semakin besar bayarannya: Saat kembali ke rumah, mereka dibayar senilai satu kilogram beras untuk setiap kilogram teh. Kuli yang mengenakan kain dan sandal jerami itu menggunakan crampon, atau cakar sepatu, dari besi mentah untuk melalui celah bersalju.
"Tentu saja sebagian meninggal dalam perjalanan," kata Gan serius. "Jika terjebak dalam badai salju, mati. Jika jatuh dari jalan setapak, mati."
Pengangkutan teh berakhir tak lama setelah Mao berkuasa pada 1949 dan membangun jalan raya. Dengan membagikan tanah dari yang kaya kepada yang miskin, Mao membebaskan kuli teh dari perbudakan. "Itu hari terindah dalam hidupku," ujar Luo. Setelah menerima sebidang tanah, dia mulai menanam padi sendiri dan "masa sedih itu pun berakhir."
Menurut legenda, teh pertama kali dibawa ke Tibet ketika putri kerajaan Tang, Wen Cheng, menikah dengan Raja Tibet Songsten Gampo tahun 641. Bangsawan dan pengembara Tibet sama-sama menyukai teh karena alasan-alasan yang jelas. Teh merupakan minuman hangat di iklim dingin, pilihan yang lainnya cuma lelehan salju, susu yak atau kambing, susu barli, atau chang (bir gandum). Secangkir teh mentega yak—dengan rasa tajam, sedikit berminyak, dan asinnya yang khas—menjadi makanan ringan bagi penggembala yang berdiang api dari tahi yak kering.
Teh yang dibawa ke Tibet melalui Jalur Kuda-Teh merupakan bentuk minuman teh yang paling kasar. Teh terbuat dari Camellia sinensis, semak malar-hijau subtropis. Sementara teh hijau terbuat dari tunas dan daun muda tak teroksidasi, bata teh yang dibawa ke Tibet terbuat dari daun tua yang lebar, ranting, dan batang tanaman itu, hingga kini. Ini teh yang paling pahit dan kasar. Setelah berulang-ulang diuapi dan dikeringkan, teh dicampur dengan tajin, dimasukkan dalam cetakan, dan dikeringkan. Bata teh hitam berbobot mulai setengah hingga tiga kilogram dan masih dijual di seluruh Tibet modern.
Pada abad ke-11, bata teh menjadi alat jual beli di negeri itu. Dinasti Song menggunakannya untuk membeli kuda perkasa dari Tibet, yang digunakan untuk memerangi suku-suku pengembara yang ganas dari utara, pendahulu Jenghis Khan. Teh menjadi komoditas perdagangan utama antara China dan Tibet.!break!
Untuk 60 kilo bata teh, pihak China mendapatkan seekor kuda. Itulah kurs yang ditetapkan oleh Dinas Teh dan Kuda Sichuan yang didirikan pada 1074. Kuli angkut membawa teh dari pabrik dan perkebunan di sekitar Yaan hingga ke Kangding, dengan ketinggian 2.550 meter. Di sana teh dijahit dalam karung kulit yak tahan air dan dimuat ke atas karavan bagal dan yak untuk menempuh perjalanan tiga bulan ke Lhasa.
Pada abad ke-13 China mengekspor jutaan kilo teh yang ditukar dengan sekitar 25.000 ekor kuda setahun. Namun, sekalipun memiliki banyak kuda, sang kaisar tak bisa menyelamatkan kerajaan Song, yang jatuh ke cucu Jenghis Khan, Kubilai, pada 1279.
Meskipun demikian, barter teh dengan kuda terus berlangsung selama dinasti Ming (1368-1644) hingga pertengahan dinasti Qing (1645-1912). Ketika kebutuhan kuda China mulai berkurang pada abad ke-18, teh ditukar dengan barang lain: kulit dari dataran tinggi, wol, emas, dan perak, dan yang paling penting, obat tradisional China yang hanya ada di Tibet. Inilah komoditas yang dibawa kuli teh terakhir, seperti Luo, Gan, dan Li, dari Kangding.
Seperti halnya pemerintah kekaisaran China dulu mengatur perdagangan teh di Sichuan, biara juga memengaruhi perdagangan di Tibet yang teokratis. Jalur Kuda-Teh, dikenal orang Tibet sebagai Gyalam, menghubungkan biara-biara penting. Selama berabad-abad, perebutan kekuasaan di Tibet dan China mengubah rute Gyalam. Ada tiga jalur besar: satu dari selatan di Yunnan, tempat asal teh Puer; satu dari utara; dan satu dari timur melalui bagian tengah Tibet. Karena merupakan yang terpendek, rute tengah ini dilalui sebagian besar angkutan teh.
Kini rute utara, Jalan Raya 317, sudah menjadi jalan beraspal. Di dekat Lhasa, jalan itu sejajar dengan kereta api Qinghai-Tibet yang tertinggi di dunia. Rute selatan, Jalan Raya 318, juga sudah berlapis aspal. Kedua jalan raya itu merupakan urat nadi perdagangan, disesaki truk yang membawa berbagai macam barang. Hampir semuanya menuju satu arah—ke barat ke Tibet, untuk memenuhi kebutuhan penduduk China yang membengkak.
Bagian barat jalur tengah belum pernah diaspal. Ruas jalur inilah yang berkelok-kelok melalui Pegunungan Nyainqentanglha Tibet yang terpencil, area yang begitu terjal dan tandus sehingga penghuninya hengkang beberapa dasawarsa yang lalu. Kini seluruh wilayah itu ditutup bagi pelancong.!break!