Gua Iman

By , Kamis, 27 Mei 2010 | 13:02 WIB

Kerangka manusia bertumpuk seperti rambu penunjuk arah di gurun pasir. Namun bagi Xuanzang, seorang biksu Budha yang menempuh Jalan Sutra pada 629 M, tulang-belulang yang sudah memutih itu menjadi pengingat tentang bahaya yang mengintai di jalur ramai paling penting di dunia yang berfungsi sebagai lalu lintas perdagangan, penaklukan, dan tempat munculnya berbagai pemikiran. Pusaran badai pasir di padang gurun yang terletak di balik tepi barat Kekaisaran Cina, membuat biksu itu kehilangan arah dan nyaris pingsan. Panas yang semakin menyengat mengecoh penglihatannya, menyiksanya dengan pemandangan seakan-akan ada pasukan tentara yang mengancam di bukit pasir di kejauhan. Bahaya yang lebih mengerikan adalah para bandit dengan pedang terhunus, yang mengincar para kafilah dan barang bawaan mereka—sutra, teh, dan keramik, yang melintasi jalur itu menuju ke barat menemui para penguasa Persia dan Mediterania. Sementara benda-benda seperti emas, batu permata, dan kuda, menuju ke timur ke ibukota Changan pada masa Dinasti Tang, salah satu kota terbesar di dunia.!break!

Adapun alasan yang membuat Xuanzang terus bertahan, yang ditulisnya dalam catatan perjalanannya yang terkenal, adalah benda berharga yang dibawanya sepanjang Jalan Sutra: ajaran Buddha itu sendiri. Beberapa agama lain juga menyeruak melalui rute yang sama—Manikeisme, Kristen, Zoroastrianisme, dan kemudian, Islam—namun tidak ada yang begitu mempengaruhi Cina sedemikian mendalamnya seperti ajaran Buddha, yang migrasinya dari India dimulai sekitar tiga abad pertama Masehi. Kitab agama Buddha yang dibawa kembali oleh Xuanzang dari India dan yang menyita waktu dua dasawarsa berikutnya untuk mempelajari dan menerjemahkannya telah menjadi dasar ajaran Buddha di Cina dan mengobarkan penyebaran agama tersebut.

Menjelang akhir perjalanannya yang menghabiskan waktu 16 tahun, biksu itu berhenti di Dunhuang, sebuah oasis Jalan Sutra yang sedang tumbuh berkembang. Di tempat inilah manusia dan kebudayaan yang berpapasan mencuatkan salah satu keajaiban besar dunia Buddha, gua-gua Mogao.

Dari gundukan bukit pasir yang terpahat oleh angin, sekitar 19 kilometer di tenggara Dunhuang, tampak lekukan tebing dengan kedalaman lebih dari tiga puluh meter ke dasar sungai yang dipagari oleh deretan pohon poplar. Pada pertengahan abad ketujuh, permukaan bebatuan sepanjang satu setengah kilometer itu dihiasi ratusan lubang gua. Di tempat itulah para peziarah berdatangan untuk memanjatkan doa agar dapat dengan aman melintasi bagian Gurun Taklimakan yang sangat ditakuti—atau dalam hal pengalaman Xuanzang, untuk bersyukur karena perjalanannya berlangsung dengan aman.

Di dalam gua, kegersangan gurun yang menjemukan digantikan oleh keceriaan warna dan gerakan. Ribuan sosok Buddha dengan berbagai rona memancar di semua dinding gua, jubah mereka berkilauan oleh emas impor. Apsara (dewi surga) dan musisi surgawi melayang di langit-langit, mengenakan gaun biru tipis dari lapis lazuli, yang kehalusan dan keindahannya tampak mustahil dihasilkan oleh goresan tangan manusia. Mengiringi gambaran nirwana yang ceria itu tampak perincian yang lebih membumi yang sudah sangat dikenal para musafir Jalan Sutra: para saudagar Asia Tengah berhidung mancung dan bertopi lembek, biksu India yang sudah keriput berjubah putih, petani Cina yang sedang mengolah lahan. Di dalam gua tertua dari masa 538 M, Xuanzang bahkan juga melihat para bandit itu lagi—hanya saja dalam tafsir tersebut, para penjahat itu sudah ditangkap, dibuat buta matanya, dan akhirnya dipaksa menganut agama Buddha. !break!

Ketika Xuanzang melewati Dunhuang, dia sama sekali tidak pernah mengira bahwa terjemahan kitab Buddha karyanya ternyata mengilhami para seniman Mogao selama berabad-abad kemudian. Dia juga sama sekali tidak mengira bahwa lebih dari 1.200 tahun kemudian, karyanya menyebabkan ditemukannya kembali dan dijarahnya, serta akhirnya dilindunginya gua-gua itu. Yang disadari biksu itu hanyalah bahwa di sini, di padang pasir di tepi kekaisaran, agama Buddha sudah mengalami perubahan, dipengaruhi oleh setiap sapuan cat para seniman dalam kegelapan gua.

Bagi sebuah agama yang mengajarkan tentang kefanaan dunia, pasir gurun barat Cina yang selalu berubah bentuk mungkin tampak seperti latar yang sempurna untuk ungkapan artistik yang mulia. Namun, kejaiban gua Mogao bukan terletak pada kefanaannya, melainkan pada usia panjangnya yang nyaris mustahil.

Gua-gua itu, yang diukir antara abad ke-4 dan ke-14, menggunakan cat setipis kertas yang disapu dengan sangat indahnya, mampu bertahan menghadapi kerusakan akibat perang dan penjarahan, kekuatan alam, dan penelantaran. Setengah terkubur di dalam pasir selama berabad-abad, bongkahan batu yang terisolasi ini sekarang diakui sebagai salah satu tempat penyimpanan seni Buddha terbesar di dunia. Akan tetapi, gua-gua itu lebih dari sekadar monumen keimanan. Mural, patung, dan gulungan lukisan Budda ini juga menampilkan pandangan sekilas yang tak tertandingi, yang melukiskan masyarakat multibudaya yang tumbuh berkembang selama seribu tahun sepanjang koridor akbar antara Timur dan Barat.

Orang Cina menyebutnya Mogaoku, atau "gua yang tak ada bandingannya." Namun, tidak ada nama yang sepenuhnya dapat mengungkapkan keindahan atau kemegahannya. Dari hampir 800 gua yang dipahat ke permukaan tebing, 492 dihiasi mural elok yang menutupi lebih dari 46.000 meter persegi permukaan dinding, sekitar 40 kali bentangan Kapel Sistina. Bagian dalam gua juga dihiasi lebih dari 2.000 patung, beberapa di antaranya merupakan patung yang terindah dari zaman itu. Hingga sekitar satu abad yang lalu, ketika beberapa kelompok pemburu harta karun tiba di gurun itu, terkuaklah sebuah ruangan berisi puluhan ribu naskah kuno yang sebelumnya lama tersembunyi. !break!

Baik yang mengambil rute utara yang lebih panjang atau rute selatan yang lebih sulit, para wisatawan tetap memilih berkumpul di Dunhuang. Kafilah berdatangan, sarat dengan barang-barang eksotis yang berasal dari tanah jauh. Namun, komoditas yang terpenting adalah berbagai pemikiran mereka—yang serba indah dan bernuansa agama. Tidaklah mengherankan bahwa para pelukis Mogao, ketika melukiskan berbagai konsep impor paling menakjubkan yang dibawa melalui Jalan Sutera, menghiasi mural gua dengan berbagai unsur asing, mulai dari warna hingga metafisika.

"Semua gua itu ibarat kapsul waktu Jalan Sutera," kata Fan Jinshi, direktur Akademi Dunhuang, yang mengawasi penelitian, pelestarian, dan pariwisata di situs tersebut. Fan, ahli arkeologi dinamis berusia 71 tahun, telah menangani gua-gua itu selama 47 tahun, sejak dia tiba di tempat itu pada 1963 sebagai lulusan baru dari Universitas Peking. Menurutnya, kebanyakan situs lain di Jalan Sutra, dilahap oleh padang pasir atau dihancurkan oleh beberapa kekaisaran yang berturut-turut menguasainya. Namun, gua Mogao mampu bertahan dalam keadaan utuh, dimana kaleidoskop muralnya menampilkan pertemuan dunia Timur dan Barat. "Makna historis Mogao sangat meyakinkan," kata Fan. "Karena lokasi geografisnya pada titik transit di Jalan Sutra, kita dapat menyaksikan membaurnya unsur Cina dan unsur asing di hampir setiap dinding gua."

Dewasa ini dunia Timur dan Barat membaur lagi di Dunhuang. Kali ini untuk membantu menyelamatkan gua-gua itu dari ancaman yang mungkin merupakan bahaya terbesar dalam sejarah mereka yang sudah berusia 1600 tahun. Selama ini aneka mural Mogao sangat rapuh, hal ini dikarenakan lapisan cat yang sangat tipis terperangkap dalam pertempuran korosif antara batu dan udara. Selama beberapa tahun terakhir, aneka mural itu menghadapi serangan gabungan antara keganasan alam dan gelombang wisatawan. Dalam upaya untuk melestarikan mahakarya Jalan Sutra dan sekaligus membendung dampak membanjirnya wisatawan, Fan telah meminta bantuan sejumlah tim pakar dari seluruh Asia, Eropa, dan Amerika Serikat. Ini adalah kerja sama budaya yang menggemakan sejarah agung gua-gua itu—dan diharapkan dapat menjamin kelangsungan hidup mereka.

Kemunculan gua-gua itu awalnya seperti sebuah penampakan cahaya gaib. Pada suatu malam pada 366 M, seorang biksu pengembara bernama Yuezun melihat seribu Buddha emas berkilauan di sebuah tebing. Karena merasa terinspirasi, dia mencukil dan menatah sebuah ruangan meditasi kecil ke dalam tebing, dan gua lain dengan cepat bermunculan. Beberapa gua pertama tidak lebih besar dari ukuran peti mati. Tidak lama kemudian, komunitas yang sangat bersahaja mulai mengukir gua-gua yang lebih besar untuk tempat peribadatan umum, menghiasi kuil dengan lukisan Buddha. Gua-gua awal inilah yang mengilhami julukan Gua Seribu Buddha. !break!